Tuesday 3 February 2015

ASKEP TRAUMA INTRAKRANIAL




ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN
KLIEN TRAUMA INTRAKRANIAL

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah KMB II







Disusun oleh :
Kelompok 4 (2 Reguler B)
Annisa Resiana
P17420313050
Dea Fera Indikasari
P17420313053
Fitri Fauziah Apriliani
P17420313060
Joko Setiabudi
P17420313065
Loly Risqiyani
P17420313069
Nailatul Khikmah
P17420313073
Qonitalillah
P17420313079
Siti Nurrohmah Widhawati
P17420313084
Wiwik Nurhikmah
P17420313091

Dosen Pengampu
Ahmad Baequny S.Kep Ns M.Kes

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN PEKALONGAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Orang tidak akan hidup tanpa kepala, pernyataan tersebut menyatakan bahwa kepala adalah salah satu bagian tubuh terpenting dari semua bagian tubuh. Hal tersebut dikarenakan pada kepala terdapat otak yang memiliki peran yang sangat penting bagi sistem. Otak memiliki jutaan sistem saraf yang berfungi mengatur, mengendalikan dan memberikan perintah pada setiap sistim organ yang ada pada tubuh kita. Otak bekerja layaknya sistem operasi pada laptop/pc anda. Apabila terjadi eror pada sistem operasi tersebut maka akan berdampak pula pada bagian lainnya seperti contoh layar pada laptop/pc menjadi gelap/hang out. Sama halnya seperti otak contah kerusakan kecil yang di akibatkan karena trauma kranial yang berdampak pada kerusakan komponen sistem saraf yang ada pada otak dapat berakibat terjadinya kebutaan, kelumpuhan, sulit bicara, hilang ingatan atau bahkan dapat mengakibatkan kematian.
Trauma kranial adalah cedera yang terjadi dalam tempurung kepala. Trauma kranial atau cedera kepala dinyatakan sebagai pembunuh nomor satu di dunia dalam sistim persarafan. Karena rauma kepala dapat menyerang pada setiap umur, baik pada anak sampai lansia. Trauma kranial dapat terjadi karena akibat benturan keras baik pukulan, terjatuh, kecelakaan atau akibat tekanan darah yang sangat tinggi. Dalam kasusnya, Setiap tahun, sekitar 40.000 orang anak mengalami cedera kepala serius dan lebih dari 200 orang meninggal (www.parentsindonesia.com).
Trauma kranial harus mendapatkan penanganan yang segera. Dilihat dari besarnya kasus tersebut hal inilah yang melatarbelakangi pembuatan makalah ini.

B.       Tujuan
1.    Tujuan Umum
Tujuan umum dari penyusunan laporan ini adalah untuk mengupas dan membahas tuntas tentang asuhan keperawatan pada klien trauma kranial.
2.    Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penyusunan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas Keperawatan Medikal Bedah II

C.      Ruang Lingkup
Ruang lingkup pada laporan asuhan keperawatan pada klien trauma kranial meliputi definisi, pembahasan hingga asuhan keperawatan pada klien dengan trauma kranial.

D.      Sistematika
Sistematika pada laporan kasus ini diantaranya adalah sebagai berikut. BAB I berisi pendahuluan yang meliputi : latar belakang, tujuan, ruang lingkup, dan sistematika. Kemudian pada BAB II berisi tinjauan teori meliputi : definisi, klasifikasi trauma, etiologi, komplikasi, tanda dan gejala., implementasi keperawatan, dan evaluasi. BAB III berisi pengkajian, diagnose yang mungkin muncul, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi. Untuk BAB IV penutup yang berisi kesimpulan.



















BAB II
TINJAUAN TEORI

A.      DEFINISI
Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka (Cerney, dalam Pickett, 1998).
Trauma adalah cedera fisik atau emosional. Secara medis, “trauma” mengacu pada cedera serius atau kritis, luka, atau syok. Dalam psikiatri, “trauma” memiliki makna yang berbeda dan mengacu pada pengalaman emosional yang menyakitkan, menyedihkan, atau mengejutkan, yang sering menghasilkan efek mental dan fisik berkelanjutan.(http://kamuskesehatan.com/arti/trauma/)
Intra artinya di dalam; bagian dalam (http://kbbi.web.id/intra-)
Kranial atau bisa disebut tulang kranial adalah tulang yang membentuk tempurung kepala dan berfungsi melindungi organ di dalamnya, yaitu otak. (http://zidniklopedia.blogspot.com/2011/11/sistem-gerak-pada-manusia-rangka-dan.html)
Kesimpulanya trauma intrakranial adalah luka atau cedera fisik yang terjadi pada bagian dalam kranial (tempurung kepala).

B.       ETIOLOGI
1.    Trauma tajam
Kerusakan sistem saraf terjadi hanya terbatas pada daerah dimana terjadinya robekan pada otak, misalnya tertusuk bambu, tertembak.
2.    Trauma tumpul
Kerusakan sistem saraf yang menyebar akibat benturan yang sangat keras misalnya terbentur, pukulan, jatuh, kecelakaan dll.

C.      KLASIFIKASI TRAUMA KRANIAL
1.    Trauma Ringan : bila GCS 14-15 (kelompok resiko rendah)
2.    Trauma Sedang : bila GCS 9-13 (kelompok resiko sedang)
3.    Trauma Berat    :  bila GCS 3-8 (kelompok resiko berat)

D.      GEJALA
-       Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
-       Muntah proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)
-       Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori). Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam penglihatan,seperti ketajamannya,  diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia, gangguan pengecapan dan penciuman.
-       Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
-       Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
-       Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
-       Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
-       Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang – ulang.
-       Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
-       Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
-       Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
-       Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.

E.       PATOFISIOLOGI
Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan terjadinya peningkatan TIK, akibat yang ditimbulkan  yaitu sakit kepala hebat dan menekan pusat reflek muntah di medulla yang mengakibatkan terjadinya muntah proyektil sehingga tidak terjadi keseimbangan antara intake dengan output. Selain itu peningkatan TIK juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran dan aliran darah otak menurun. Jika aliran darah otak menurun maka akan terjadi hipoksia yang menyebabkan disfungsi serebral sehingga koordinasi motorik terganggu. Disamping  itu hipoksia juga dapat menyebabkan terjadinya sesak nafas.

F.       PATHWAYS































G.      KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi akibat trauma intrakranial :
1.         Perdarahan intrakranial
2.         Peningkatan tekanan intrakranial
3.         Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata atau cedera kepala tertutup yang ditandai oleh hilangnya kesadaran. Konkusio menyebabkan periode apnu yang singkat.
4.         Hematoma Epidural adalah penimbunan darah di atas durameter. Hemotoma epidural terjadi secara akut dan biasanya terjadi karena pendarahan arteri yang mengancam jiwa.
5.         Hematoma subdura adalah penimbunan darah dibawah durameter tetapi diatas membrane abaknoid. Hematoma ini biasanya disebabkan oleh pendarahan vena, tetapi kadang-kadang dapat terjadi perdarahan arteri subdura.
6.         Pendarahan subaraknoid adalah akumulasi darah di bawah membran araknoid tetapi diatas diameter, ruang ini hanya mengandung cairan serebraspinalis bila dalam keadaan normal.
7.         Hematoma intraserebrum adalah pendarahan di dalam otak itu sendiri, hal ini dapat timbul pada cedera kepala tertutup yang berat ataupun pada cedera kepala terbuka.
8.         Infark
9.         Iskemi
10.     Kematian

H.      PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pertama pada klien dengan trauma sebagai berikut :
1.    Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera kepala orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus diintubasi.
2.    Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak berikan oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi, jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95%. Jika pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat (PaO2 >95 mmHg dan PaCO2 > 95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestesi.
3.    Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intrabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena ynag besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan dara perifer lengkap ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan laruta kristaloid (dekstrosa dan dekstrosa salan salin) menimbulkan eksaserbasi edema otak pasca cedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia dan hiperkapnia memburuk cedera kepala.

I.         PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan klien dengan trauma kranial sebagai penunjang dan bukti fisik dalam menentukan diagnosis sebagai berikut :
1.         CT Scan (tanpa / dengan kontras) mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2.         MRI (Magnetic Resonance Imaging): sama dengan CT Scan dengan / tanpa kontras. Menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio dan bila bercampur frelmensi radio radio yang dilepaskan oleh jaringan tubuh akan menghasilkan citra MRI yang berguna. dalam mendiagnosis tumor, infark dan kelainan pada. pembuhih darah.
3.         Angiografi serebral: Menunjukkan kelainan sirkula.si serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema., pendarahan trauma. Digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan kela.inan serebral vaskuler.
4.         Angiografi Substraksi Digital Suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik komputerisa.si untuk mempelihatkan pembuluh darah tanpa. gangguan dari tulang dan jaringan lunak di sekitamya.
5.         EEG: Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis. EEG (elektroensefalogram) mengukur aktifitas listrik lapisansuperfisial korteks serebri melalui elekroda yang dipasang di luar tengkorak pasien.
6.         ENG (Elektronistagmogram) merupakan pemeriksaan elekro fisiologis vestibularis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan sistem saraf pusat.
7.         Sinar X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur). Pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen tulang.
8.         BAEK (Brain Auditon Euoked Tomografi) : Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
9.         PET (Positron Emmision Tomografi): Menunjukkan perubahan aktifitas metabolisme batang otak. 10. Fungsi lumba1,
10.     CSS: Dapat menduga kemungkinan adanya perubahan subaraknoid.
11.     GDA (Gas Darah Arteri): Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan meningkatkan TIK.
12.     Kimia / elekrolit darah: Mengetahui ketidakseimbangan yang belperan dalam peningkatan TIK / perubahan mental.
13.     Pemeriksaan toksilogi: Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap pentuunan kesadaran.
14.     Kadar anti konvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
(Doenges 2000; Price & Wilson 2006)















BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A.      Pengkajian Fokus Menurut Doenges (2000) Dan Engram (1998) :
1.         Aktifitas dan Istirahat
Gejala : merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan, perubahan kesadaran, letarghi, hemiparesis, quadreplagia, ataksia, cara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot dan spastik otot.
2.         Sirkulasi
Gejala: Perubahan tekanan darah (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi dan distritmia).
3.         Integritas Ego
Gejala: Perubahan tingkah laku / kepribadian (demam). Tanda.: Cemas, mudah tersinggung, delrium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
4.         Eliminasi
Gejala: Inkontinensia kandung kemih.
5.         Makanan / Cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami penurunan selera. makan. Tanda.: Muntah (mimgkin proyektif), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, dan disfagia).
6.         Neurosensorik
Gejala: Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, rasa baal dan ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamamiya, displopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofotobia, gangguan pengecapan dan penciuman. Tanda. Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi tingkah laku dan emosi). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya., simetri) deviasi pada. mata, ketidakmampuan mengikuti cahaya, kehilangan pengindraan seperti: pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, lemah dan tidak seimbang. Reflek tendon dalam tidak ada / lemah, apiaksia, hemiparesis, quadreplagia, postur (dekortikasi deselerasi), kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh dan kesulitan menentukan posisi tubuh.
7.         Nyeri / kenyamanan
Gejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda dan biasanya lama. Tanda : wajah menyeringai, respon menarik ada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat dan merintih.
8.         Pernafasan
Tanda : perubahan pola nafas (apneu yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronchi, menghi positif (kemungkinan karena aspirasi)
9.         Keamanan
Gejala : trauma karena kecelakaan. Tanda : fraktur / dislokasi dan gangguan penglihatan gangguan rentang gerak, kekuatan secara umum mengalami paralisis.
10.     Interaksi sosial
Tanda : bicara tanpa arti, disorientasi, amnesia / lupa sesaat.

B.       Diagnosa Keperawatan yang Dapat Terjadi
1.    Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia dan edema serebral ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, perubahan respon motorik atau sensorik, gelisah, perubahan tanda-tanda vital. (Doenges, 1999).
2.    Pola. nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi dan kerusakan neurovaskuler ditandai dengan kelemahan atau paralisis otot pernafasan. (Doenges, 1999).
3.    Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan ADH dan aldosteron, retensi cairan dan natrium ditandai dengan edema, dehidrasi, sindrom kompartemen dan hemoragi. (Carpenito, 2006).
4.    Perubahan nuhisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan asam lambung, mual, muntah dan anoreksia ditandai dengan penumnan BB. peniuunan masa atau tonus otot buruk. (Carpenito, 2006).
5.    Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan vaskuler serebral dan edema otak ditandai dengan tengangan maskuler, wajah menahan nyeri dan perubahan tanda-tanda vital. (Engram, 1998).
6.    Resiko infeksi berhubmgan dengan perdarahan serebral ditandai dengan respon inflamasi tertekan, hipertemia. (Doenges, 1999).
7.    Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penunman tonus otot dan pemu-unan kesadaran ditandai dengan ketidalanampuan bergerak, kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot atau control otot. (Doenges, 1999).
8.    Gangguan persepsi sensorik berhubungan dengan penurunan kesadaran ditandai dengan disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, pembahan terhadap respon rangsang. (Doenges, 1999)
9.    Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera. otak dan penumnan kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan untuk bicara. dan menyebutkan kata-kata. (Caipenito, 2006).

C.      Fokus Intervensi
1.    Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia dan edema serebral ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, pembahan respon motorik / sensorik, gelisah, perubahan tanda vital. (Doenges, 2001).
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan tingkat kesadaran membaik.
Kriteria Hasil :
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbiakan, tanda-tanda vital (TTV) kembali normal dan tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial (TIK).
Intervensi:
a.    Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan koma atau penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
Rasional : Untuk mengetahui penyebab cedera, untuk memantau tekanan TIK dan atau pembedahan.
b.    Pantau status neurologik secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar
Rasional : Untuk mengetahui perubahan nilai GCS, mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi.
c.    Pantau TTV
Rasional : Ketidakstabilan TTV mempengaruhi tingkat kesadaran.
d.   Pertahankan kepala pada posisi tengah atau pada posisi netral
Rasional : Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jogularis dan menghambat aliran darah vena
e.    Perhatikan adanya gelisah yang meningkat.
Rasional : Petunjuk nonverbal ini mengidentifikasi adanya peningkatan TIK atau menandakan adanya nyeri.
f.     Kolaborasi pemberian cairan sesuai indikasi.
Rasional : Pembatasan cairan dapat menurunkan edema cerebral.
g.    Berikan obat sesuai indikasi.
Rasional : Dapat menurunkan komplikasi.
2.    Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, kerusakan persepsi dan obstruksi trakeobronkial ditandai dengan kelemahan atau paralisis otot pernafasan. (Doenges, 1999).
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali normal.
Kriteria Hasil :
Mempertahankan pola pernafasan efektif, bebas sanasis, Nafas normal (16-24 x / mnt), irama regular, bunyi nafas normal, GDA normal, PH darah normal (7,35-7,45). Pa02 (80-100 mmHg), PaCO2 (35-40 mmHg), HCO2 (22-26). Saturasi oksigen (95- 98%).
Intervensi:
a.    Pantau frekuensi pernafasan, irama dan kedalaman pernafasan.
Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi, pulmonal atau menandakan lokasi / luasnya keterlibatan otak.
b.    Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan, posisi miring sesuai indikasi
Rasional : Untuk memudahkan ekspansi pans dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
c.    Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik
Rasional : Untuk membersihkan jalan nafas, penghisapan dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi, dan tidak dapat membersihkan jalan nafas sendiri.
d.   Auskultasi bunyi nafas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal
Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah pans seperti atelektasis kongesti atau obstruksi jalan nafas.
e.    Kolaborasi pemberian oksigen.
Rasional : Menentukan kecukupan pernafasan, memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia.
3.    Perubahan nutrisi kebutuhan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan asam lambung, mual, muntah dan anoreksia ditandai dengan penurunan BB, penurunan masa otot, tonus otot buruk. (Carpenito, 2006).
Tujuan :
Kebutuhan akan nutrisi tidak terganggu.
Kriteria Hasil :
BB meningkat, tidak mengalami tanda-tanda mal nutrisi, nilai laboratorium dalam batas normal.
Intervensi:
a.    Kaji kemampuan klien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi.
Rasional : Faktor ini dapat menentukan pemilihan terhadap jenis makanan.
b.    Auskultasi bising usus
Rasional : Fungsi saluran pencernaan biasanya baik pada kasus cedera kepala.
c.    Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien lewat NGT
Rasional : Menurunkan resiko regurgitasi / terjadi aspirasi.
d.   Tingkatkan kenyamanan
Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat meningkatkan nafsu makan.
e.    Kolaborasi pemberian makan lewat NGT
Rasional : Makan lewat NGT diperlukan pada awal pemberian.
4.    Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan vaskuler serebral dan edema otak ditandai dengan tengangan maskuler, wajah menahan nyeri dan perubahan TTV. (Engram, 1998).
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
Nyeri berkurang atau hilang, TTV dalam batas normal.
Intervensi:
a.    Kaji karakteristik nyeri (P, Q, R, S, T)
Rasional : Untuk mengetahui letak dan cara mengatasinya.
b.    Buat posisi senyaman mungkin
Rasional : Menurunkan tingkat nyeri
c.    Pertahankan tirah baring
Rasional : Tirah baring dapat mengurangi pemakaian oksigen jaringan dan menurunkan resiko meningkatnya TIK.
d.   Kurangi stimulus yang dapat merangsang nyeri
Rasional : Stress dapat menyebabkan sakit kepala dan menyebabkan kejang.
e.    Kolaborasi pemberian obat analgetik
Rasional : Menurunkan rasa nyeri.
5.    Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan perdarahan serebral ditandai dengan respon inflamasi tertekan, hipertemia. (Doenges, 1999).
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak ada tanda-tanda infeksi.
Kriteria Hasil :
Tidak terdapat tanda-tanda infeksi dan mencapai penyembuhan luka tepat waktu
Intervensi
a.       Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan
Rasional untuk menurunkan terjadinya infeksi nosokomial
b.      Observasi daerah yang mengalami luka/kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi
Rasional : deteksi dini terjadinya perkembangan infeksi, kemungkinan untuk melakukan tindakan dengan segera dan mencegah komplikasi
c.       Monitor suhu tubuh dan penurunan kesadaran
Rasional : suhu yang tinggi dapat mengidentifikasi terjadinya infeksi yang selanjutnya memerlukan tindakan dengan segera.
d.      Kolaborasi pemberian obat antibiotik
Rasional : menurunkan terjadinya infeksi nasokomial
e.       Kolaborasi pemeriksaan laboraturium
Rasional : untuk mengetahui adanya resiko infeksi melalui hasil laboraturium darah

6.      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri kepala ditandai dengan ketidakmampuan bergerak, kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan atau kontrol otak
Tujuan :
Mempertahankan posisi yang optimal
Kriteria hasil :
-       Mempertahankan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit
-       Mendemonstrasikan teknik yang mungkin dilakukan aktifitas
Intervensi
a.       Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4)
Rasional : untuk mengetahui tingkat imobilisasi pasien
b.      Ubah posisi pasien secara teratur dan buat sedikit perubahan posisi
Rasional : perubahan posisi dapat meningkatkan sirkulasi pada seluruh tubuh
c.       Bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak
Rasional : mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi / posisi normal ekstrimitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis
d.      Sokong kepala dan badan, tangan dan lengan, kaki dan paha ketika berada pada kursi roda
Rasional : mempertahankan kenyamanan, keamanan dan postur tubuh yang normal









BAB IV
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Trauma intrakranial adalah luka atau cedera fisik yang terjadi pada bagian dalam kranial (tempurung kepala). Memiliki gejala adanya muntah proyektil, hilangnya kesadaran, panik atau disorientasi, peka terhadap cahaya dan lain-lain.
Trauma kepala apabila tidak segera ditangani akan membahayakan korban karena dapat menyebabkan atau kerusakan sistem saraf.

























DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3. Jakarta : EGC
Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta : EGC
Doengoes, M.E.,2000. Penerapan Proses Kperawatan dan Diagnosa Keperawatan, Jakarta : EGC.
Donna, D.Et Al.1991. Medical Surgical Nursing : A. Nursing Prosess Approch. St. Louis : The
C.V. Mosby Co.
NANDA, 2007. Nursing Diagnoses : Definition and Clssification 2007 – 2008, NANDA
International, Philadephia.
Mansjoer, Arif. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarata : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

No comments:

Post a Comment