Monday 23 November 2015

GADAR MATERNITAS - ATONIA UTERI




“ATONIA UTERI”

Tugas ini disusun untuk memenuhi nilai tugas semester lima mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat III



Dosen Pengampu : Hartati, SKM, Mkes

Disusun Oleh :
1.      Annisa Resiana                             P17420313050
2.      Hidayatul Kosidah                        P17420313061
3.      Nur Huda Al fauzi                        P17420313076
4.      Siti Nurrohmah Widhawati           P17420313084

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
PRODI D III KEPERAWATAN PEKALONGAN
TAHUN 2015
 

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Menurut data WHO, sebanyak 99% kematian ibu akibat masalah persalinan atau kelahiran terjadi di negara–negara berkembang. Rasio kematian ibu di negara berkembang merupakan yang tertinggi, dengan 450 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan rasio kematian ibu di sembilan negara maju dan 51 negara berkembang (saptandari P,2009).
Di Amerika Serikat sejak 1979 sampai 1992, menganalisis 4915 kematian ibu hamil yang tidak terkait abortus. Mereka mendapatkan bahwa perdarahan merupakan kasus langsung pada sekitar 30 % kasus kematian tersebut. Menurut Bonar 2000, perdarahan adalah faktor utama pada kematian ibu hamil di Inggris antara tahun 1985 dan 1996, tidak diragukan lagi bahwa telah terjadi kemajuan besar dalam kematian akibat perdarahan dengan modernisasi bidang obstetri di Amerika Serikat (Chunningham, 2006).
Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya paling sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai meninggal. Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam setelah melahirkan. Di Inggris pada tahun 2000, separuh kematian ibu hamil akibat perdarahan disebabkan oleh perdarahan post partum (Nizam,2010).
Angka Kematian Ibu (AKI) menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2002-2003 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup, angka ini masih jauh dengan target yang ingin dicapai secara nasional di tahun 2010 yaitu 125 per 100.000 kelahiran hidup (Dep.Kes RI, 2005).
Di Indonesia, sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit, sehingga sering pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan post partum terlambat sampai ke rumah sakit, saat datang keadaan umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya mortalitas tinggi. kematian ibu di Indonesia adalah 650 ibu tiap 100.000 kelahiran hidup dan 43% dari angka tersebut disebabkan oleh  perdarahan  post partum (Depkes RI, 2002).
Sampai saat ini Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan belum dapat turun seperti yang diharapkan pemerintah. Menurut laporan BKKBN pada bulan Juli 2005, AKI masih berkisar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Pemerintah sebenarnya telah bertekad untuk menurunkan AKI dari 390 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 1994) menjadi 225 per 100.000 pada tahun 1999, dan menurunkan nya lagi menjadi 125 per 100.000 pada tahun 2010 (Prahardina, 2009).
Karena tingginya angka kematian ibu melahirkan dan kegawat daruratannya untuk itu kami mengangkat kasus tersebut sebagai alasan dibentuknya makalah ini.

B.       Rumusan Masalah
1.    Menjelaskan tentang pengertian atonia uteri
2.    Menjelaskan factor penyebab terjadinya atonia uteri
3.    menjelaskan tanda dan gejala terjadinya atonia uteri
4.    Menjelaskan cara penanganan atau penatalaksanaan atonia uteri

C.      Tujuan
1.    Mengetahui dan memahami tentang atonia uteri
2.    Menambah pengetahuan tentang atonia uteri
3.    Dapat mengetahui mengenai pengertian, etiologi, factor penyebab, dan juga penatalaksanaan   atonia uteri.






BAB II
TINJAUAN TEORI

A.      Definisi
Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR, Asuhan Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002).
Atonia Uteri merupakan perdarahan pasca persalinan yang dapat terjadi karena terlepasnya sebagian plasennta dari uterus dan sebagian lagi belum terlepas sehingga tidak ada terjadinya kontraksi (Anik dan Yulianingsih, 2009).
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus / kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Prawirohardjo, 2008).
Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot miometrium uterus untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan post partum yang paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan hebat dan dapat mengarah pada terjadinya syok hipovolemik (Admin, 2009).
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa defenisi atonia uteri merupakan perdarahan pasca persalinan dimana akibat dari kegagalan serabut – serabut otot uterus terjadi perdarahan post partum dimana terjadi setelah plasenta lahir atau 4 jam setelah plasenta lahir (Anik dan Yulianigsih, 2009).

B.       Etiologi
Faktor – faktor predisposisi Atonia uteri meliputi :
1.         Regangan rahim yang berlebihan dikarenakan Polihidramnion, kehamilan kembar, makrosemia atau janin besar
2.         Persalinan yang lama
Persalinan yang lama dimaksud merupakan persalinan yang memanjang pada kala satu dan kala dua yang terlalu lama (prawirahardjo, 2008).
3.         Persalinan yang terlalu cepat atau persalinan spontan
4.         Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
5.         Multiparitas yang sangat tinggi
6.         Ibu dengan usia yang terlalu muda dan terlalu tua serta keadaan umum ibu yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun. Terjadinya peningkatan kejadian atonia uteri sejalan dengan meningkatnya umur ibu yang diatas 35 tahun dan usia yang seharusnya belum siap untuk dibuahi. Hal ini dapat diterangkan karena makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi perdarahan yang terjadi (Prawirihardjo, 2006).
7.         Jarak kehamilan yang dekat (kurang dari dua tahun).
8.          Bekas operasi Caesar.
9.         Pernah abortus (keguguran) sebelumnya. Bila terjadi riwayat persalinan kurang baik, ibu sebaiknya melahirkan dirumah sakit, dan jangan di rumah sendiri.
10.     Dapat terjadi akibat melahirkan plasenta dengan memijat dan mendorong uterus kebawah sementara uterus belum terlepas dari tempat implannya atau uterus.
Perdarahan yang banyak dalam waktu singkat dapat diketahui. Tetapi, bila perdarahan sedikit dalam waktu banyak tanpa disadari, pasien (ibu) telah kehilangan banyak darah sebelum ibu tanpak pucat dan gejala lainnya. Perdarahan karena atonia uteri, uterus tanpak lembek membesar (Anik-Yulianingsih 2009).

C.      Tanda dan gejala
Tanda dan gejala yang selalu ada pada perdarahan postpartum akibat Atonia Uteri adalah :
o  Perdarahan segera setelah anak lahir
o  Pada palpasi, meraba Fundus Uteri disertai perdarahan yang memancur dari jalan lahir.
o  Perut terasa lembek atau tidak adanya kontraksi
o  Perut terlihat membesar
(Saifudin, Abdul Bahri. 2002).

D.      Patofisiologi
Perdarahan postpartum bisa dikendalikan melalui kontraksi dan retraksi serat-serat myometrium. kontraksi dan retraksi ini menyebabkan terlipatnya pembuluh-pembuluh darah sehingga aliran darah ke tempat plasenta menjadi terhenti. Kegagalan mekanisme akibat gangguan fungsi myometrium dinamakan atonia uteri dan keadaan ini menjadi penyebab utama  perdarahan postpartum. Sekalipun pada kasus perdarahan postpartum kadang-kadang sama sekalitidak disangka atonia uteri sebagai penyebabnya, namun adanya faktor predisposisi dalam  banyak hal harus menimbulkan kewaspadaan perawat terhadap gangguan tersebut.

E.       Komplikasi
Komplikasi pada atoia uteri yaitu perdarahan post partum primer yang dapat mengakibatkan syok. Bila terjadi syok yang berat dan pasien selamat, dapat terjadi komplikasi lanjutan yaitu anemia dan infeksi dalam masa nifas. Infeksi dalam keadaan anemia bisa berlangsung berat sampai sepsis. Pada perdarahan yang disertai oleh pembekuan intravaskuler merata dapat terjadi kegagalan fungsi organ-organ seperti gagal ginjal mendadak (Khairi,2011).

F.       Pencegahan
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Manejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah (Hidayat, Juni 2009).
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam (Hidayat, Juni 2009).
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin

G.      Penatalaksanaan
Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis atau bahkan sampai syok berat hipovolemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan klinisnya (Prawirohardjo, 2008).
Pada umumnya dilakukan simultan bila pasien syok, dapat dilakukan :
1.         Sikap trendelenburg, memasang venous line dan memasang oksigen
2.         Merangsang uterus dengan cara :
a.         Merangsang fundus uteri dengan merangsang puting susu
b.        Pemberian misoprosol 800 – 1000 µg per – rectal
c.         Kompresi bimanual interna minimal selama 7 menit. Apabila tidak berhasil lakukan tindakan selanjutnya yaitu kompresi bimanual eksternal selama 7 menit.lakukan kompresi aorta abdominalis
d.        Bila semua tindakan gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif laparatomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus)atau malakukan histerekomi. Alternatifnya berupa :
·      Ligasi arteria uterine atau arteria ovarika
·      Histerektommi total abdominal (Prawirohardjo, 2008)

Langkah-langkah rinci penatalaksanaan Atonia uteri pasca persalinan :
1.    Lakukan massage pundus uteri segera setelah plasenta dilahirkan : massage merangsang kontraksi uterus. Sambil melakukan massage sekaligus dapat dilakukan penilaian kontraksi uterus.
2.    Bersihkan kavum uteri dari selaput ketuban dan gumpalan darah : selaput ketuban atau gumpalan darah dalam kavum uteri akan dapat menghalangi kontraksi uterus secara baik.
3.    Mulai melakukan kompresi bimanual interna. Jika uterus berkontraksi keluarkan tangan setelah 1-2 menit. Jika uterus tetap tidak berkontraksi teruskan kompresi bimanual interna hingga 5 menit : sebagian besar atonia uteri akan teratasi dengan tindakan ini. Jika kompresi bimannual tidak berhasil setelah 5 menit, dilakukan tindakan lain
4.    Minta keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksterna : Bila penolong hanya seorang diri, keluarga dapat meneruskan proses kompresi bimanual secara eksternal selama anda melakukan langkah-langkah selanjutnya.
5.    Berikan metal ergometrin 0,2 mg intra muskuler / intravena : metilergometrin yang diberikan secara intramuskuler akan mulai bekerja dalam 5-7 menit dan akan menyebabkan kontraksi uterus. Pemberian intravena bila sudah terpasang infuse sebelumnya.
6.    Berikan infuse cairan larutan ringer laktat dan oksitoksin 20 IU/500 ml : anda telah memberikan oksitoksin pada waktu penatalaksanaan aktif kala tiga dan metil ergometrin intramuskuler. Oksitoksin intravena akan bekerja segera untuk menyebabkan uterus berkontraksi. Ringer laktat akan membantu memulihkan volume cairan yang hilang selama atoni.
7.    Mulai lagi kompresi bimanual interna atau pasang tampon uterovagina.
8.    Teruskan cairan intravena hingga ruang operasi siap.
9.    Lakukan laparotomi : pertimbangkan antara tindakan mempertahankan uterus dengan ligasi arteri uterine/hipogastrika atau histerektomi. : pertimbangan antaralain paritas, kondisi ibu, jumlah perdarahan (Diro, 2009).

MANAJEMEN ATONIA UTERI

1.         Resusitasi

Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah

2.         Masase dan kompresi bimanual

Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan perdarahan.

Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik)

·      Jika uterus berkontraksi

Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera

·      Jika uterus tidak berkontraksi maka :

Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lobang serviks

·      Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong

·      Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.

·      Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.


·      ika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI

·      Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat

·      Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera

3.         Uterotonika

Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyababkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.

4.         Uterine Lavage
Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air panas ke dalam cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia uteri. Pemberian 1-2 liter salin 47°C-50°C langsung ke dalam cavum uteri menggunakan pipa infus. Tangan operator tidak boleh menghalangi vagina untuk memberi jalan salin keluar.
Penggunaan uterine packing saat ini tidak disukai dan masih kontroversial. Efeknya adalah hiperdistended uterus dan sebagai tampon uterus.
Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan maksimum pada dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi sekuat mungkin, anestesi dibutuhkan dalam penanganan ini dan antibiotika broad-spectrum harus diberikan. Uterine packing dipasang selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan dan transfusi darah masuk. Uterine packing diberikan jika tidak tersedia fasilitas operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi
5.         Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.
·      Ligasi arteri Iliaka Interna
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.
Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
·      Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri.
·      Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.

KOMPRESI BIMANUAL UTERUS ATONI
Peralatan : sarung tangan steril; dalam keadaan sangat gawat; lakukan dengan tangan telanjang yang telah dicuci
Teknik :
Basuh genetalia eksterna dengan larutan disinfektan; dalam kedaruratan tidak diperlukan
1.        Eksplorasi dengan tangan kiri
Sisipkan tinju kedalam forniks anterior vagina
2.        Tangan kanan (luar) menekan dinding abdomen diatas fundus uteri dan menangkap uterus dari belakang atas
3.        Tangan dalam menekan uterus keatas terhadap tangan luar
Ia tidak hanya menekan uterus, tetapi juga meregang pembuluh darah aferen sehingga menyempitkan lumennya.
Kompresi uterus bimanual dapat ditangani tanpa kesulitan dalam waktu 10-15 menit.
Biasanya ia sangat baik mengontrol bahaya sementara dan sering menghentikan perdarahan secara sempurna.
Bila uterus refrakter oksitosin, dan perdarahan tidak berhenti setelah kompresi bimanual, maka histerektomi tetap merupakan tindakan terakhir!

















H.      Pathways





























BAB III
KONSEP KEPERAWATAN

A.      Pengkajian
1.    Identitas Klien
nama, usia, pekerjaan, agama, alamat
2.    Keluhan Utama
Perdarahan dari jalan laahir, badan lemah, keringat dingin, perubahan kesadaran
3.    Riwayat Kesehatan
a)         RKD
Yang perlu dikaji pada klien, apakah klien pernah mengalami obstetric operatif sebelumnya, atau ada penyulit persalinan sebelumnya seperti hipertensi, kelainan uterus spt mioma uteri ,dll.
b)        RKS
atonia uteri sering di jumpai pada multi para dan grademulti para kala 1 atau kala 2 yang memenjang persalinan cepat dll.
c)         RKK
Apakah dalamkeluarga ada yang menderita penyakit kelainan darah, eklamsi dan pre eklamsi.
4.    Pemeriksaan Fisik
Tanda vital, fundus uteri, kulit, pervaginam, kandung kemih
a)         Kepala
rambut tidak rontok, kulit kepala bersihtidak ada ketombe
b)        Mata
Biasanya konjungtiva anemis
c)         Thorak
Inpeksi pernafasan : Frekuensi, kedalam, jenis pernafasan
Denyut jantung : frekuensi, karakteristik, ( nadi biasanya cepat, TD cenderung     menurun)
d)        Abdomen
Kaji kontraksi uterus (kekuatan, frekuensi, lama), biasanya his kurang semenjak awal persalinan atau menurun saat persalinan, lakukan perabaab pada simpisis biasanya blas penuh/ tidak untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih.
e)         Vulva dan Vagina
Biasanya terdapat perdarahan pervagina dan biasanya darah berwarna merah tua
f)         Integument / kulit
Kemungkinan akral teraba dingin, turgor kulit > 1 detik, CRT > 2 detik

B.       Diagnosa
1.    Gangguan perfusi jaringan b/d perdarahanpervaginam
2.    Risiko shock hipovolemik b/d perdarahan
3.    Risiko infeksi b/d perdarahan

C.      Intervensi
1.    Gangguan perfusi jaringan b/d perdarahan pervagina
Tujuan : perfusi jaringan kembali adekuat
Kreteria hasil :
-            Kesadaran normal
-            TTV stabil
-            Denyut nadi perifer kuat
-            Kulit hangat, turgor < 1 dtik, CRT < 2 dtik
Intervensi:
o    Pantau tanda tanda vital dan tingkat kesadaran klien
R/ mengetahui status kesadaran dan keadaan klien
o    Lakukan Kompresi bimanual
R/ langkah awal untuk menghentikan perdarahan
o    Kolaborasi dengan tim medis dalm pemberian cairan IV/produk-produk darah
R/ mempertahankan volume sirkulasi, mendukung terjadinya perfusi jaringan yang adekuat
o    Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian uterotonika (ergometrin/oksitosin)
R/ miningkatkan kontraksi uterus

2.    Resiko syok hipovolemik b/d perdarahan
Tujuan : menurunkan resiko syok hipovolemik
Kriteria hasil :
-            Kesadaran normal
-            TTV stabil
-            Denyut nadi perifer kuat
-            CRT < 2 detik
Intervensi:
o    Pantau tanda tanda vital dan tingkat kesadaran klien
R/ mengetahui status kesadaran dan keadaan klien
o    Lakukan Kompresi bimanual
R/ langkah awal untuk menghentikan perdarahan
o    Kolaborasi dengan tim medis dalm pemberian cairan IV/produk-produk darah
R/ mempertahankan volume sirkulasi, mendukung terjadinya perfusi jaringan yang adekuat
o    Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian uterotonika (ergometrin/oksitosin)
R/ miningkatkan kontraksi uterus




3.    Resiko tinggi terhadap infeksi b/d perdarahan
Tujuan : menurunkan/meminimalkan resiko infeksi
Kriteria hasil :
-            TTV stabil
-            SDP normal
-            Tidak ada tanda tanda infeksi spt (panas, kemerahan, bengkak, nyeri, penurunan fungsi, pus dan bau)
Intervensi:
o    Pertahankan pada fasilitas control infeksi, sterilisasi prosedur/kebijakan aseptic dan antiseptic
R/ tetapkan mekanisme yang dirancang untuk mencegah infeksi, meminimalisir kontaminasi dan infeksi
o    Pantau TTV dan tanda-tanda infeksi (panas, nyeri, kemerahan, bengkak, penurunan fungsi, pus dan bau)
R/ mengetahui status keadaan klien dan diagnosis dini infeksi
o    Kolaborasi dengan tim laboratorium untuk kemungkinan infeksi sistemik
R/ peningkatan SDP akan mengindikasikan adanya infeksi
o    Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian antibiotic
R/ pemberian antibiotic yang tepat akan penurunkan resiko perluasan infeksi

D.      Implementasi
Setelah rencana tindakan keperawatan disusun secara sistemik. Selanjutnya rencana tindakan tersebut diterapkan dalam bentuk kegiatan yang nyata dan terpadu guna memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan yang diharapkan

E.       Evaluasi
Akhir dari proses keperawatan adalah ketentuan hasil yang diharapkan terhadap perilaku dan sejauh mana masalah klien dapat teratasi. Disamping itu perawat juga melakukan umpan balik atau pengkajian ulang jika tujuan ditetapkan belum berhasil/ teratasi.





























BAB IV
PENUTUP


A.      Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan beberapa hal yaitu sebagai  berikut atonia uteri adalah kegagalan mekanisme akibat gangguan miometrium atau uterus tidak  berkontraksi secara terkoordinasi sehingga ujung pembuluh darah ditempat implantasi placenta tidak dapat dihentikan sehingga perdarahan menjadi tidak terkendali.
Beberapa faktor penyebab atonia uteri yaitu:
-            Faktor yang menyebabkan uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan termasuk  polihydramnion, kehamilan gemeli dan janin besar /makrosomia1
-            Kala 1 dan atau 2 persalinan yang memanjang.
-            Persalinan cepat
-            Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosyn /augmentasi
-            infeksi intra partum
-            Multiparitas tinggi atau grandemultipara.












DAFTAR PUSTAKA

Anik, Yulianingsih. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan Dalam Kebidanan. Jakarta : CV. Trans Info Media
Cunningham, F. G. 2006. Wiliam Obstetrics 21th edition. Jakarta : EGC.
Depkes, RI. 2002. Atonia Uteri. http://www.litbang.depkes.go.id/lanjut/ibu/atonia.htm. Diakses oleh Asmayarni Panjaitan tanggal 16 Mei 2010 Pukul 13.56 wib
Diro, As. 2009. Pengelolaan Khusus Atonia Uteri. http//ww.uteri.go//sax.10Prh//al. Diakses Oleh Asmayarni Panjaitan Pada Tanggal 14 Maret 2010 Pukul 10.25 wib
Fika, Esti. 2009. Asuhan Kebidanan Pathologis. Yogyakarta : Pustaka Rihama.
Khairuddin, dr. Bahar. 2010. Asuhan Kebidanan 4 Pathologis. Jakarta : Trans Info Media
Madjid, Omo Abdul. 2007. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta : JNPK-KR
Nijam. 2010. Pengaruh Atonia Uteri Pada Ibu Perdarahan Postpartum. http://depkominfo.go.id. Diakses Oleh Asmayarni Panjaitan tanggal 16 Mei 2010 Pukul 13.00 wib
Notoadmodjo, Soekidjo. 2005. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta : CV. Sagung Seto.
Prahardina, dr. 2009. Buku Pintar Kehamilan & Persalinan. Jakarta : GM.
Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Saifuddin, abdul Bari. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Saptandari, P. 2009. Tindakan Yang Diberikan Pada Ibu Atonia Uteri. http://dady.blogspirit.com/archive/2006/04/11/perdarahan-pasca-persalinan-1.htm. Diakses oleh Asmayarni Panjaitan pada tanggal 13 maret 2010 Pukul 13.47 wib

No comments:

Post a Comment