Wednesday 18 February 2015

PROGRAM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN


A.  LATAR BELAKANG

Peraturan pemerintah yang khusus mengatur mengenai masalah kesehatan mental tampaknya telah ada sejak zaman Hindia Belanda. Undang-undang yang ditetapkan Pemerintah NKRI tentang kesehatan mental baru diundangkan pada tahun 1966 untuk menggantikan Het Reglement op het Krankzinnigenwezen (Stbl 1897 No 54). Undang-undang tersebut adalah UU no.3 tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa yang belum dicabut atau diganti hingga sekarang. Hal kesehatan jiwa sebenarnya telah disinggung dalam UU no.9 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan. Di dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa kesehatan jiwa merupakan bagian dari (disebut unsur) kesehatan. Ini menunjukkan telah adanya pemahaman bahwa kesehatan jiwa merupakan bagian tidak terpisahkan dari kesehatan.
Definisi kesehatan jiwa menurut UU no.3 1966 tersebut adalah keadaan jiwa yang sehat. Mengenai usaha-usaha kesehatan jiwa dan penanganan penyakit jiwa diusahakan oleh pemerintah atau badan swasta dengan mengikutsertakan masyarakat. Ini menunjukkan telah adanya kesadaran mengenai perlunya komunitas masyarakat dalam usaha-usaha kesehatan jiwa (promotif, preventif, terapis, kuratif). Di Amerikapun pemahaman ini telah ada sejak tahun 1963 dengan diluluskannya Community Mental Health Act oleh kongres USA. UU tersebut menjamin dukungan pemerintah terhadap usaha-usaha kesehatan mental yang dilakukan komunitas. Di Amerika sendiri, UU mengenai kesehatan mental telah ada sejak 1946 dengan diundangkannya National Mental Health Act oleh Presiden Truman.
Di Britania Raya, Inggris dan Wales, undang-undang kesehatan mental yang berlaku adalah Mental Health Act 2007 yang merupakan amandemen dari Mental Health Act 1983dan Mental Capacity Act 2005. Undang-undang yang baru ini memiliki berapa perubahan signifikan dari undang-undang sebelumnya, diantaranya pengetatan perawatan komunitas atas orang dengan gangguan mental. Bahkan rumah sakit bisa membawa kembali pasien yang dirawat komunitas jika dirasa perlu.
Dalam UU yang berlaku di NKRI, UU no.3 1966 disebutkan usaha-usaha kesehatan jiwa yang dilakukan pemerintah (dengan mengikutsertakan masyarakat) adalah pemeliharaan kesehatan jiwa, perawatan dan pengobatan pendertia, serta pengembalian penderita yang telah selesai perawatan kepada masyarakat. Usaha-usaha tersebut lebih berpusat kepada pemerintah dalam hal ini menteri kesehatan. Satu ayat yang menyebut mengenai peran masyarakat adalah dalam hal rehabilitasi. Masyarakat diharapkan membantu proses kembalinya penderita yang telah selesai perawatan. Pemerintah diminta undang-undang untuk menginisasi dan membimbing masyarakat dalam usaha melakukan hal tersebut.
Tetapi dalam Penjelasannya, disebutkan pula bahwa undang-undang ini juga hendak memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pemeliharaan kesehatan mental. Namun tetap saja ditegaskan lagi, bahwa peran utama terdapat pada pemerintah. Satu catatan untuk undang-undang ini adalah tidak menyertakan bidang psikologi dalam pembahasannya. Dalam Penjelasan disebutkan bahwa jiwa yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah jiwa dalam pandangan kedokteran, dan tidak bidang lainnnya. Maka dari itu kami menyusun masalah ini dengan tujuan agar para pembaca mengetahui upaya yang dilakukan pemerintah dalam menangani kasus-kasus kesehatan jiwa tersebut.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Situasi kesehatan jiwa yang ada di Indonesia?
2.      Apa isi dari Undang- undangnomor 18 tahun 2014tentang kesehatan jiwa?
3.      Apakah program penanganan masalah kesehatan jiwa yang dilakukan oleh pemerintah pada kasus-kasus kesehatan jiwa?



C.  TUJUAN
1.      Untuk mengetahui situasi kesehatan jiwa yang ada di Indonesia
2.      Untuk mengetahui isi dari Undang- undang nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa
3.      Untuk mengetahui program penanganan masalah kesehatan jiwa yang dilakukan oleh pemerintah pada kasus-kasus kesehatan jiwa

























BAB II
TINJAUAN TEORI


A.   Situasi Kesehatan JiwaDi Indonesia
Renstra Kemenkes 2010-2014 menjelaskan bahwa visi pembangunan kesehatan Indonesia antara lain menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan yang berkualitas, meningkatkan surveyor, monitoring dan informasi kesehatan serta meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Kesehatan jiwa merupakan salah satu arah dari visi kesehatan tersebut. Masalah kesehatan jiwa terutama gangguan jiwa secara tidak langsung dapat menurunkan produktifitas, apalagi jika onset gangguan jiwa dimulai pada usia produktif.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka perlu pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif, holistic, dan paripurna. Kegiatan dapat dilakukan dengan menggerakkan dan memberdayakan seluruh potensi yang ada di masyarakat, baik warga masyarakat sendiri, tokoh masyarakat, dan profesi kesehatan. Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan kepada masyarakat harus memiliki tenaga yang handal agar promosi, prevensi, kurasi, dan rehabilitasi terhadap masyarakat yang menderita sakit, beresiko sakit, maupun masyarakat yang sehat dapat dilakukan secara menyeluruh, termasuk didalamnya adalah pelayanan kesehatan jiwa. Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan yang ada di puskesmas diharapkan mampu memberikan pelayanan keperawatan secara komprehensif, holistic, kontinyu dan paripurna kepada masyarakat yang mengalami masalah psikososial dan gangguan jiwa di wilayah kerjanya. Masalah kesehatan jiwa mempunyai lingkup yang sangat luas dan kompleks serta tidak terpisahkan (integral) dari kesehatan terutama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh. Gangguan Jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan dan masih banyak ditemukan di masyarakat demikian juga di kabupaten Pacitan. Masalah gangguan jiwa secara tidak langsung akan menurunkan produktivitas apalagi jika menderita gangguan jiwa dimulai pada usia produktif selain itu juga menambah beban dari keluarga penderita. Menurut penelitian WHO beban akibat penyakit gangguan jiwa yang diukur dengan hari-hari produktif yang hilang (DALY / Dissability Adjusted Life years ) disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa tahun tahun 2000 sebesar 12,3 % .
Dari Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun 1995, didapat bahwa 185 dari 1.000 anggota rumah tangga mempunyai gejala gangguan jiwa.
•Suvei Kesehatan Rumah Tangga 1995, angka gangguan mental emosional penduduk usia > 15 tahun adalah 140 per 1.000 anggota rumah tangga (art). Anak usia 65 tahun) 4,53%. Pola usia penduduk semakin lanjut dengan angka harapan hidup 66,2 tahun . Hal ini memerlukan penyediaan sarana pelayanan yang baik termasuk pelayanan kesehatan mental.
Masalah kesehatan jiwa diIndonesia sangat besar. Diperkirakan ada 1 juta kasus gangguan jiwa berat. Dari jumlah itu, sekitar 18.000 kasus “ditangani” dengan dipasung.
Terkait dengan itu, pemerintah – khususnya Kementerian Kesehatan – telah mencanangkan Program Indonesia Bebas Pasung dengan berusaha menemukan pasien yang dipasung di masyarakat. Namun, penemuan pasien pasung hanya fokus pada pelayanan kuratif dan rehabilitatif, belum menyelesaikan masalahkesehatan jiwa.
Terkait dengan itu, pemerintah – khususnya Kementerian Kesehatan – telah mencanangkan Program Indonesia Bebas Pasung dengan berusaha menemukan pasien yang dipasung di masyarakat. Namun, penemuan pasien pasung hanya fokus pada pelayanan kuratif dan rehabilitatif, belum menyelesaikan masalahkesehatan jiwa.

Pelayanan Pasif
Pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia masih menyelesaikan masalah di hilir dan bersifat pasif. Fokus pelayanan pun masih di institusi atau rumah sakit jiwa.
Kehadiran rumah sakit jiwa di Indonesia telah ada sejak tahun 1882, dan saat ini hampir semua provinsi mempunyai satu atau lebih rumah sakit jiwa. Namun, pelayanan di rumah sakit jiwa terkesan pasif. Artinya, menunggu masyarakat membawa orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) ke rumah sakit jiwa.
Pelayanan yang pasif ini merugikan masyarakat, karena:
1.      Masyarakat tidak tahu kapan memutuskan membawa pasien ke rumah sakit jiwa, dan
2.      Akses ke rumah sakit jiwa jauh karena umumnya berada di ibu kota provinsi sehingga tidak jarang pasien dibawa ke pelayanan kesehatan jiwa sudah dalam kondisi kronis.
Hal ini didukung hasil penelitian di Jakarta bahwa 45% pasien yang mengalami gangguan jiwa pertama-tama mencari pelayanan ke alternatif, dan setelah kronis (8,5 tahun) baru mencari pelayanan kesehatan jiwa(Keliat dkk, 2011).
Apakah alasan pemerintah tidak menjadikan pelayanan kesehatan jiwa menjadi pelayanan pokok dipuskesmas? Kejadian tsunami di Aceh merupakan momentum bagi pelayanan keperawatan kesehatan jiwamasyarakat (community mental health nursing). Apalagi semua puskesmas kecamatan di 29 kabupaten/kota sebetulnya telah dilatih lebih kurang 600 perawat untuk merawat OMDK di masyarakat. Sebenarnya dokterjuga telah dilatih, tetapi karena masa kerja mereka yang singkat, pertukaran terjadi dengan cepat.
Hasilnya luar biasa dalam temuan kasus gangguan jiwa. Hal ini didukung dengan pembentukan desa siaga sehat jiwa dengan melatih kader kesehatan jiwa yang sangat membantu dalam deteksi ODMK. Selama tujuh tahun pelayanan kesehatan jiwa di Aceh, hasil pelayanannya sama dengan hasil pelayanan di rumah sakit jiwa (Idaiani, 2013), bahkan biaya pelayanan di rumah sakit jiwa jauh lebih besar dibandingkan pelayanan dipuskesmas.
ODMK yang dirawat di rumah sakit jiwa juga banyak yang telah mampu dipulangkan ke rumah. Namun karena ketidaksaiapan puskesmas dalam melanjutkan perawatan di masyarakat, menyebabkan mereka kembali di rawat di rumah sakit jiwa. Hal ini tidak baik bagi ODMK karena makin lama di rumah sakit jiwa akan memundurkan fungsi sosial mereka. Hasil penelitian menunjukkan 46% pasien yang dirawat di lima rumah sakit jiwa di pulau Jawa mempunyai kemampuan tinggal di masyarakat (Keliat dkk, 2011), tetapi mereka tidak pulang karena tidak tersedianya pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat.
Sejak tahun 2001, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan pelayanan kesehatan jiwa seharusnya dilakukan di masyarakat. Namun, ironisnya, program pelayanan kesehatan jiwa di puskesmasbelum menjadi program pelayanan pokok di Indonesia.
Beberapa dinas kesehatan atau pemerintah provinsi (hampir 18 provinsi) telah berinisiatif menjadikannya pelayanan kesehatan jiwa sebagai program pengembangan di beberapa puskesmas. Namun, keberlanjutan program ini perlu kebijakan pemerintah pusat untuk menetapkannya sebagai program pokok puskesmas puskesmas sehingga secara primer kesehatan jiwa dapat dilaksanakans secara komprehensif dari hulu ke hilir. Pelayanan ini meliputi:
1.      Program promosi kesehatan jiwa bagi kelompok masyarakat yang sehat jiwa sejak usia dini sampai lanjut,
2.      Program pencegahan masalah kesehatan jiwa bagi kelompok masyarakat yang memiliki faktor risiko, seperti penyakit kronis, serta
3.      Program pemulihan dan rehabilitasi bagi kelompok masyarakat yang mengalami masalah kesehatan jiwa agar mereka dapat mandiri dan produktif kembali.
Menyelesaikan masalah kesehatan jiwa bukan melalui pembangunan rumah sakit jiwa yang baru, melainkan mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat. Dengan cara ini, seluruh komponen bangsa ikut berpartisipasi dalam mewujudkan Indonesia sehat jiwa.
Pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat sudah tidak bisa ditunda lagi. Program kesehatan jiwa wajib menjadi program pokok puskesmas. Hal ini penting agar pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas yang telah berkembang di sejumlah provinsi sebagai program pengembangan mendapat dukungan pasti untuk keberlanjutannya. Hal ini membantu masyarakat mengakses dengan cepat pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat.
Di dunia, khususnya negara berkembang, pelayanan kesehatan jiwa telah mencakup seluruh masyarakat dari kelompok usia ataupun kebutuhan pelayanan. Pada Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun ini, yang jatuh pada 10 Oktober 2013, telah ditetapkan tema terkait kesehatan jiwa lansia: “Mental Health and Older Adults”. Pelayanan kesehatan jiwa pada lansia di Indoensia masih memerlukan penanganan yang komprehensif dan holistik.
Kita tunggu respons pemerintah dalam mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa yang dapat diakses dengan cepat oleh seluruh warga Indonesia.

Penulis: Budi Anna Keliat, Guru Besar Fakultas Ilmu Keberawatan Universitas IndonesiaTeam LeaderKeperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas di Indonesia. Artikel ini pernah dimuat di Kompas Cetak pada kolom Opini di halaman 7 pada tanggal 10 Oktober 2013

B.     UUD Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual,
dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat
bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
2. Orang Dengan Masalah Kejiwaan yang selanjutnya disingkat ODMK adalah orang yang mempunyai
masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki
risiko mengalami gangguan jiwa.
3. Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami
gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala
dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam
menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
4. Upaya Kesehatan Jiwa adalah setiap kegiatan untuk mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang optimal
bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
5. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
7. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

Pasal 2

Upaya Kesehatan Jiwa berasaskan:
a. keadilan;
b. perikemanusiaan;
c. manfaat;
d. transparansi;
e. akuntabilitas;
f. komprehensif;
g. pelindungan; dan
h. nondiskriminasi

Pasal 3

Upaya Kesehatan Jiwa bertujuan:
a. menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang
sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu Kesehatan Jiwa;
b. menjamin setiap orang dapat mengembangkan berbagai potensi kecerdasan;
c. memberikan pelindungan dan menjamin pelayanan Kesehatan Jiwa bagi ODMK dan ODGJ berdasarkan
hak asasi manusia;
d. memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui
upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi ODMK dan ODGJ;
e. menjamin ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya dalam Upaya Kesehatan Jiwa;
f. meningkatkan mutu Upaya Kesehatan Jiwa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi; dan
g. memberikan kesempatan kepada ODMK dan ODGJ untuk dapat memperoleh haknya sebagai WargaNegara Indonesia.








BAB II
UPAYA KESEHATAN JIWA
Bagian Kesatu
Umum

(1) Upaya Kesehatan Jiwa dilakukan melalui kegiatan:
a. promotif;
b. preventif;
c. kuratif; dan
d. rehabilitatif.
(2) Upaya Kesehatan Jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat.

C.     Program Penanganan Masalah Kesehatan Jiwa
Berdasar Survey Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun 1995 yang dilakukan oleh Balitbang Depkes menunjukkan bahwa prevalensi gangguan jiw a adalah sebesar 264 per 1000 anggota rumah tangga. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa kabupaten Pacitan dengan Jumlah penduduk sebanyak 540.510 jiwa terdapat kira-kira 142.694 orang mengalami gangguan jiwa baik gangguan jiwa berat maupun ringan.
Berdasarkan Riskesdes tahun 2007 pada tabel 3.62 Prevalensi Gangguan Mental Emosional Pada Penduduk 15 Tahun (Berdasarkan Self Report ing Questionaire - 20)* Menurut Kabupaten/ Kota Di Provinsi Jaw a Timur dengan hasil
sebagai berikut :
No Kabupaten Gangguan mental emosional (%)
1 Kab. Pacitan 18.6
3 Kab. Trenggalek 11.9
4 Kab. Tulungagung 14.2
5 Kab. Blitar 10.9
7 Kab. Malang 23.7
8 Kab. Lumajang 22.7
9 Kab. Jember 8.2
10 Kab. Banyuwangi 19.2

Nampak bahwa kabupaten Pacitan menduduki rangking pertama dalam Prevalensigangguan mental. Ini berarti gangguan mental di kabupaten merupakan masalahserius yang harus mendapat perhatian.
Pada survey awal pada awal bulan Desember 2011 di kabupaten Pacitan ditemukan penderita jiwa yang dipasung sebanyak 64 orang yang tersebar di 12kecamatan. Melalui surveilans dan pelaksanaan program kesehatan jiwa yang berbasismasyarakat maka gangguan jiwa pasung dapat diobati dan ditangani yang selanjutnyaapabila sudah sembuh dapat dilepas kembali kepada masyarakat, disamping itudeteksi dini terus ditingkatkan sehingga pasien yang mengalami gangguan jiw a ringantidak jatuh pada tingkat yang lebih berat.
Dengan sistem pelayanan kesehatan jiwa yang berbasis masyarakat dan ditunjangdengan profesionalisme kerja tenaga kesehatan upaya-upaya yang sudah dilakukanoleh berbagai pihak maka sampai dengan bulan Mei 2012 sudah dapat dilepassebanyak 23 penderita pasung sehingga sampai bulan Mei Jumlah penderita jiwa yangdipasung masih 41 penderita.
Meskipun sudah dapat dilepas dari pasung bukan berarti penderita gangguan jiwatersebut sudah bebas sama sekali karena mereka akan dapat kambuh lagi apabila adalingkungan sekitarnya tidak mendukung. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka perlupelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif, continuity care, holistic, dan paripurna.Kegiatan dapat dilakukan dengan menggerakkan dan memberdayakan seluruh potensi yang ada di masyarakat, baik warga masyarakat sendiri, tokoh masyarakat, dan profesikesehatan serta didukung pemangku jabatan.
Mengingat penderita jiwa wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan difasilitas kesehatan yang dilakukan pemerintah, Tanggung jaw ab penanganan penderita gangguan jiwa tidak hanya dari sector kesehatan tetapi membutuhkan kerjasama lintassector yang melibatkan berbagai instansi dan peran serta masyarakat serta kemitraanswasta.
Sehubungan dengan Pacitan mempunyai angka nilai gangguan mental yang tertinggi di Jawa Timur, maka pemerintah kabupaten Pacitan sangat memperhatikan sehingga dilaksankan fasilitasi pembentukan TP-KJM kabuapten Pacitan yang dilaksanakan pada tanggal 16 Mei 2012 yang dibuka dan disampaikan arahan Bupati salah satu point yang sangat penting dan ditekankan adalah diharapkan tahun 2012 Pacitan Bebas Pasung,
Selaian itu Bupati Pacitan telah mendatangani Keputusan Bupati Pacitan nomor 188.45/12/KPTS/408.21/2012 tentang TIM PELAKSANA KESEHATAN JIWA MASYARAKAT ( TP- KJM) KABUPATEN PACITAN, dengan maksud semua SKPD ikut
serta dalam gerakan pembebasan Pasung.













BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN

            Program kesehatan jiwa di Indonesia diatur dalam UU no.3 1966 adalah pemeliharaan kesehatan jiwa, perawatan dan pengobatan penderita, serta pengembalian penderita yang telah selesai perawatan kepada masyarakat.
            Renstra Kemenkes 2010-2014 menjelaskan bahwa visi pembangunan kesehatan Indonesia antara lain menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan yang berkualitas, meningkatkan surveyor, monitoring dan informasi kesehatan serta meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Kemudian untuk lebih lanjut dalam UUD Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa yang berisikan dua sub-bab dan empat pasal.
            Kabupaten Pacitan menduduki rangking pertama dalam Prevalensi gangguan mental menurut balitbang kemenkes tahun 2011 dan dihakan tahun 2012 pacitan bebas pasung.

B.  SARAN
·      Untuk masyarakat
Masyarakat diharapkan membantu proses pemeliharaan kesehatan jiwa, perawatan dan pengobatan dan kembalinya pendrita yang telah selesai perawatan jangan hanya atas inisiatif individu dan keluarga yang tidak berperi-kemanusiaan untuk menutupi dengan dipasung karena dianggap “aib keluarga”.
·      Untuk pemrintah
       Pemerintah melalui tanaga ahlinya diharap tidak hanya membuat aturan dan programnya tetapi harus ada realisasi yang benar-benar nyata, transparan, dan tepat sasaran.
DAFTAR PUSTAKA


1 comment: