BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penyakit
hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan pergerakan
usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang
yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit hisprung adalah
penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia akan
tetapi yang paling sering pada neonatus.
Penyakit
hisprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak
terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon, keadaan
abnormal tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan
evakuasi usus secara spontan, spingter rektum tidak dapat berelaksasi, tidak
mampu mencegah keluarnya feses secara spontan, kemudian dapat menyebabkan isi
usus terdorong ke bagian segmen yang tidak adalion dan akhirnya feses dapat
terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat menyebabkan dilatasi usus
proksimal.
Pasien
dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada
tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang
mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863.Namun patofisiologi
terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas.Hingga tahun 1938, dimana
Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan
ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi
ganglion.
B. Tujuan
1.
Tujuan umum : untuk meningkatkan
pengetahuan dan sumber daya manusia (SDM)
2.
Tujuan khusus :
a.
Untuk meningkatkan keterampilan/kemampuan
dalam mengerjakan tugas
b.
Pengalaman belajar dan mengerjakan
tugas atau melalui perilaku pembelajaran yang diikuti.
C. Manfaat
Kita dapat mengetahui tentang
penyakit hisprung dan cara penanganan, gejala, komplikasi dan sebagainya yang
mengenai penyakit tersebut, dan cara atau apa saja yang akan kita lakukan ke
pada pasien dengan menggunakan asuhan keperawatan
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
A.
Definisi
Penyakit Hisprung disebut juga
kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon)
yang tidak mempunyai persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari
usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan
(ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan fungsinya
sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena
berbeda-beda untuk setiap individu.
Penyakit
hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada
usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus. (Ngastiyah, 1997 : 138).
Penyakit hirschsprung adalah anomali
kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidak adekuatan
motilitas sebagian dari usus. (Donna L. Wong, 2003 : 507).
Macam-macam
Penyakit Hirschprung
Berdasarkan
panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :
1. Penyakit
Hirschprung segmen pendek
Segmen
aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70% dari kasus
penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding
anak perempuan.
2. Penyakit
Hirschprung segmen panjang
Kelainan
dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus halus.
Ditemukan sama banyak pada anak laki maupun prempuan.(Ngastiyah, 1997 : 138)
B.
Etiologi
Penyebab dari Hirschprung yang
sebenarnya belum diketahui, tetapi Hirschsprung atau Mega Colon diduga terjadi
karena :
1. Faktor
genetik dan lingkungan, sering terjadi pada anak dengan Down syndrom.
2. Kegagalan
sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal
pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.
3. Aganglionis
parasimpatis yang disebabkan oleh lesi primer, sehingga terdapat
ketidakseimbangan autonomik.
C.
Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega
Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion
pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada
dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan
keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan
tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat
berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan
adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal
sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden).
Semua ganglion pada intramural
plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik
secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul
didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal
terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon
tersebut melebar ( Price, S & Wilson ).
D.
Pathway
Tidak adanya
aganglionik
Kelumpuhan usus besar
(kolon)
Tidak ada peristaltik
usus
Akumulasi feses
Mual,
muntah Distensi
abdomen konstipasi, obstipasi,
tidak ada
mekonium
Intake tidak adekuat
E.
Manifestasi
Klinis
Bayi baru
lahir tidak bisa mengeluarkan Meconium dalam 24 – 28 jam pertama setelah lahir.
Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan empedu dan
distensi abdomen. (Nelson, 2000 : 317).
Gejala
Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan Penyakit
Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi total
saat lahir dengan muntaah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium.
Keterlambatan evakuasi meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan
dehidrasi. Gejala rigan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan
yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan
diare, distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok
dubur merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans
terjadi distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dapat
berdarah. ( Nelson, 2002 : 317 ).
1. Neonatal
a.
Kegagalan pengeluaran mekonium
(lebih dari 24 jam)
b.
Distensi abdomen
c.
Karena adanya obstruksi usus letak
rendah
d.
Obstipasi
e.
Muntah yang berwarna hijau
2. Infant
a.
Kegagalan dalam pertumbuhan berat
badan
b.
Konstipasi
c.
Distensi abdomen
d.
Adanya suatu periode diare dan
muntah
e.
Kadang muncul tanda enterokolitis
seperti diare, demam berdarah, letargi
3. Childhood
a.
Konstipasi
b.
Fases berbau menyengat seperti
karbon
c.
Distensi abdomen
d.
Masa feses teraba
e.
Anak biasanya punya nafsu makan yang
buruk
F.
Komplikasi
1.
Kebocoran Anastomose
Kebocoran
anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang berlebihan pada
garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan
ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi
pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.
Manifestasi
klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam. Kebocoran
anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh, terdapat
infiltrat atau abses rongga pelvik, kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi,
pelvioperitonitis atau peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila dijumpai
tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen proksimal.
2.
Stenosis
Stenosis
yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan penyembuhan luka di
daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis,
serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan
komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval
akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat
prosedur Soave.
Manifestasi
yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit, distensi abdomen,
enterokolitis hingga fistula perianal.Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi,
tergantung penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga sfinkterektomi
posterior.
3.
Enterokolitis
Enterocolitis
terjadi karena proses peradangan mukosa kolon dan usus halus. Semakin
berkembang penyakit hirschprung maka lumen usus halus makin dipenuhi eksudat
fibrin yang dapat meningkatkan resiko perforasi. Proses ini dapat terjadi pada
usus yang aganglionik maupun ganglionik. Enterokolitis terjadi pada 10-30%
pasien penyakit Hirschprung terutama jika segmen usus yang terkena panjang
Tindakan
yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda enterokolitis adalah :
a.
Segera melakukan resusitasi cairan
dan elektrolit.
b.
Pemasangan pipa rektal untuk
dekompresi.
c.
Melakukan wash out dengan
cairan fisiologis 2-3 kali perhari.
d.
Pemberian antibiotika yang tepat.
Enterokolitis
dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada pasien dengan
endorektal pullthrough.Enterokolitis merupakan penyebab kecacatan dan kematian
pada megakolon kongenital, mekanisme timbulnya enterokolitis menurut Swenson
adalah karena obtruksi parsial.Obtruksi usus pasca bedah disebabkan oleh
stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon aganlionik yang tersisa masih
spastik.Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda
obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan
berbau busuk.Enetrokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling parah dapat
terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi.Hal yang sulit pada megakolon
kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca pullthrough, kadang ahli
bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan enterokolitis berulang pasca
bedah.
4.
Gangguan Fungsi Sfinkter
Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala
yang diterima universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling atau
kecipirit merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk
menilai fungsi anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis hal tersebut
tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa
dapat dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan sering.
5.
Inkontensitas (jangka panjang).
G. Penatalaksanaan
1.
Medis
Penatalaksaan
operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus besar untuk
membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar sehingga
normal dan juga fungsi spinkter ani internal.
Ada dua
tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :
a.
Temporari ostomy dibuat proksimal
terhadap segmen aganglionik untuk melepaskan obstruksi dan secara normal
melemah dan terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan ukuran normalnya.
b.
Pembedahan koreksi diselesaikan atau
dilakukan lagi biasanya saat berat anak mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds )
atau sekitar 3 bulan setelah operasi pertama.
Ada beberapa
prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson, Duhamel, Boley & Soave.
Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang paling sering dilakukan terdiri
dari penarikan usus besar yang normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik
telah diubah.
2. Perawatan
Perhatikan
perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila ketidakmampuan
terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :
a.
Membantu orang tua untuk mengetahui
adanya kelainan kongenital pada anak secara dini
b.
Membantu perkembangan ikatan antara
orang tua dan anak
c.
Mempersiapkan orang tua akan adanya
intervensi medis ( pembedahan )
d.
Mendampingi orang tua pada perawatan
colostomy setelah rencana pulang.
Pada
perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak dengan
malnutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya
meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema.
Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein
serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total ( NPT )
3. Pengobatan
Untuk
mencegah terjadinya komplikasi akibat penyumbatan usus, segera dilakukan
kolostomi sementara. Kolostomi adalah pembuatan lubang pada dinding perut yang
disambungkan dengan ujung usus besar. Pengangkatan bagian usus yang terkena dan
penyambungan kembali usus besar biasanya dilakukan pada saat anak berusia 6
bulan atau lebih.
Jika terjadi
perforasi (perlubangan usus) atau enterokolitis, diberikan antibiotik.
BAB III
ASUHAN
KEPERAWATAN HYSPRUNG
A.
Pengkajian
1.
Identitas
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup
bulan dan merupakan kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan
dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid
lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus
ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan (Ngastiyah, 1997).
2.
Riwayat Keperawatan
a.
Keluhan utama
Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu
pada saat dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB,
distensi abdomen, kembung, muntah. Obstipasi merupakan tanda utama dan pada
bayi baru lahir. Perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah
muntah dan diare.
b.
Riwayat penyakit sekarang
Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan
tanyakan bagaimana upaya klien mengatasi masalah tersebut. Bayi sering
mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi
selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut.
Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi
abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat terjadi.
c.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit yang diderita, riwayat pemberian
imunisasi.
d.
Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga
lain yang menderita Hirschsprung. Walaupun hysprung bukanlah suatu penyakit
keturunan.
e.
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Ada /tidaknya kelainan pertumbuhan dan perkembangan
yang dialami sejak lahir.
f.
Nutrisi
Pemenuhan nutrisi ibu saat hamil, asi eksklusif.
3.
Pemeriksaan fisik
a.
Sistem kardiovaskuler
Ad tidaknya kelainan akibat hysprung atau kelainan
bawaan sejak lahir.
b.
Sistem pernapasan
Sesak napas, distres pernapasan karena distensi abdomen.
c.
Sistem pencernaan
Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang, muntah
berwarna hijau. Pada anak yang lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok
anus jari akan merasakan jepitan dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan
keluarnya udara dan mekonium atau tinja yang menyemprot.
d.
Sistem muskuloskeletal
Gangguan rasa nyaman,
e.
Sistem integumen
Turgor kulit, capillary refill < 3 detik
f.
Sistem penglihatan
Konjungtiva anemis/tidak, ikterik/anikterik
g.
Sistem pendengaran
Fungsi pendengaran, kondisi telinga, ada tidaknya
serumen.
4.
Pemeriksaan diagnostik
a.
Foto polos abdomen tegak akan
terlihat usus-usus melebar atau terdapat gambaran obstruksi usus rendah.
b.
Pemeriksaan dengan barium enema
ditemukan daerah transisi, gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian
menyempit, enterokolitis pada segmen yang melebar dan terdapat retensi barium
setelah 24-48 jam.
c.
Biopsi isap, mencari sel ganglion
pada daerah sub mukosa.
d.
Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan
lapisan otot rektum.
e.
Pemeriksaan aktivitas enzim
asetilkolin esterase dimana terdapat peningkatan aktivitas enzim asetilkolin
eseterase.
B.
Diagnosa Keperawatan
1.
Defisit volume cairan tubuh berhubungan
dengan mual, muntah
2.
Gangguan eliminasi BAB : konstipasi/obstipasi berhubungan dengan tidak adanya peristaltik
usus, akumulasi feses
3.
Ketidakseimbangan nutrisi kurangdari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan Intake yang tidak adekuat
4.
Nyeri akut berhubungan dengan adanya
distensi abdomen
C.
Intervensi
No
|
Diagnosa
|
Tujuan dan
Kriteria hasil
|
Intervensi
|
Defisit volume cairan tubuh berhubungan
dengan mual, muntah
|
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam
resiko kekurangan cairan dapat diatasi
NOC :
Fluid balance
Kriteria Hasil :
1.
Keseimbangan intake dan out put 24
jam
2.
Berat badan stabil
3.
Mata tidak cekung
4.
Membran mukosa lembab
5.
Kelembaban kulit normal
|
NIC :
1.
Pertahankan catatan intake dan
output yang akurat
R/ memberikan pedoman untuk penggantian cairan
2.
Monitor status hidrasi (kelembaban
membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik), jika diperlukan
R/Menunjukkan status volume sirkulasi,
terjadinya/ perbaikan perpindahan
cairan, dan respon terhadap terapi. Keseimbangan positif/ peningkatan berat badan sering menunjukkan retensi cairan lanjut.
3.
Monitor hasil lab yang sesuai
dengan retensi cairan (BUN, Hmt, osmolalitas urin, albumin, total protein)
R/ Penurunan albumin serum mempengaruhi tekanan
osmotik koloid plasma, mengakibatkan pembentukan edema. Penurunan aliran
darah ginjal menyertai peningkatan ADH dan kadar aldosteron dan penggunaan
deuretik (untuk menurunkan air total tubuh) dapat menyebabkan berbagai
perpindahan/ketidakseimbangan elektrolit
4.
Monitor vital sign setiap 15menit
– 1 jam
R/ mengetahui keadaan umum pasien
5.
Kolaborasi pemberian
cairan IV
R/ membantu pemasukan cairan lewat intra vena
6.
Berikan cairan oral
R/ menurunkan rasa haus pada pasien
7.
Berikan prosedur nasogastrik jika diperlukan
R/ memungkinkan dukungan nutrisi melalui saluran GI, mengevakuasi isi
lambung dan dapat menghilangkan mual
8.
Atur kemungkinan tranfusi
R/ kemungkinan albumin rendah yang mengakibatkan penumpukan cairan
berlebih, dsb
9.
Pasang kateter jika perlu
R/ untuk membantu pengukuran output dari pasien
|
|
2.
|
Gangguan
eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan tidak adanya peristaltik usus,
akumulasi feses
|
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam
konstipasi berangsur teratasi
NOC :
Bowel Elimination
Kriteria Hasil :
1.
Pola eliminasi dalam batas normal
2.
Warna feses dalam batas normal
3.
Bau feses tidak menyengat
4.
Konstipasi tidak terjadi
5.
Ada peningkatan pola eliminasi
yang lebih baik
|
Bowel Irigation (pembersihan Colon)
1.
Pilih pemberian enema (prosedur pemasukan cairan kedalam kolon melalui anus) yang
tepat
R/ merangsanng peristaltic kolon agar dapat defekasi.
2.
Jelaskan prosedur pada pasien dan keluarga
R/ menciptakan lingkungan saling percaya dan mengurangi rasa khawatir
3.
Monitor efek samping dari tindakan
pengobatan
R/ memonitor untuk memastikan tidak adanya komplikasi lanjutan
4.
Catat perkembangan baik maupun buruk
R/ memastikan tidak adanya komplikasi lanjutan
5.
Observasi tanda vital dan bising
usus setiap 2 jam sekali
R/ mengetahui keadaan umum pasien sebelum dan sesudah dilakukan prosedur
6.
Observasi pengeluaran feces per
rektal – bentuk, konsistensi, jumlah
R/ memastikan tidak adanya komplikasi dan untuk menetapkan intervensi
lanjutan
7.
Konsultasikan dengan dokter
rencana pembedahan
R/ jika terjadi komplikasi, dapat segera di tangani dengan pembedahan
|
3.
|
Ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Intake yang tidak adekuat
|
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam,
diharapkan :
NOC :
Status Nutrisi
Kriteria Hasil :
1.
Berat badan pasien sesuai umur
2.
Stamina
3.
Tenaga
4.
Kekuatan menggenggam
5.
Penyembuhan jaringan
6.
Daya tahan tubuh
7.
Konjungtiva tidak anemis
8.
Pertumbuhan
|
Management Nutrisi
1.
Kaji riwayat jumlah makanan/ masukan
nutrisi yang biasa dimakan dan kebiasaan makan
R/ member informasi tentang kebutuhan pemasukan/ difisiensi
2.
Timbang berat badan. Bandingkan perubahan status cairan, riwayat berat badan, ukuran kulit
trisep
R/ sebagai indicator langsung dalam mengkaji perubahan status nutrisi
3.
Anjurkan ibu untuk tetap
memberikan asi rutin
R/ untuk mempertahankan masukan nutrisi pada pasien
4.
Kolaborasikan dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan
R/ untuk menambah masukan nutrisi yang baik bagi klien
Monitoring Nutrisi
1.
Monitor turgor kulit
R/ mengkaji pasokan nutrisi adekuat
2.
Monitor mual dan muntah
R/ mengkaji adanya pengeluaran output berlebih
3.
Monitor intake nutrisi
R/ mengkaji pemasokan nutrisi yang adekuat
4.
Monitor pertumbuhan dan
perkembangan anak
R/ observasi adanya penurunan perkembangan anak karena pasokan nutrisi
tak adekuat atau pengeluaran output yang berlebih
|
4.
|
Nyeri akut berhubungan dengan adanya distensi
abdomen
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam,
diharapkan :
Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan
kriteria tenang, tidak menangis, tidak mengalami gangguan pola tidur.
|
NIC :
1.
Lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
faktor presipitasi
R/ mengobservasi untuk
membantu menemukan intervensi lanjutan yang tepat
2.
Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan
R/ memantau untuk menemukan
intervensi lanjutan yang tepat
3.
Bantu pasien dan keluarga untuk
mencari dan menemukan dukungan
R/ partisipasi dalam
intervensi dapat membangun rasa percaya keluarga pasien dengan tim medis, mengurangi rasa cemas
keluarga pasien dan membantu keluarga mengerti dengan keadaan pasien
4.
Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
R/ menurunkan rangsangan
stress pada rasa nyeri
5.
Kaji tipe dan sumber nyeri
R/ untuk menentukan intervensi yang tepat
6.
Tingkatkan istirahat
R/ menurunkan rangsangan
stress pada rasa nyeri
7.
Berikan informasi tentang nyeri
seperti penyebab nyeri kepada keluarga pasien, berapa
lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
R/ mengurangi rasa cemas
keluarga pasien dan membantu keluarga mengerti dengan keadaan pasien
8.
Monitor vital sign
R/ mengetahui keadaan umum
pasien
|
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan masalah. Baik
masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah pertumbuhan dan
perkembangan anak dengan penyakit hisprung yaitu terletak pada kebiasaan buang
air besar. Orang tua yang mengusahakan agar anaknya bisa buang air besar dengan
cara yang awam akan menimbulkan masalah baru bagi bayi/anak. Penatalaksanaan
yang benar mengenai penyakit hisprung harus difahami dengan benar oleh seluruh
pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk tecapainya tujuan yang
diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang baik antara pasien,
keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya dalam mengantisipasi
kemungkinan yang terjadi.
B.
SARAN
Kami berharap setiap mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang
penyakit hysprung. Walaupun dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis
Keperawatan edisi 9. Jakarta : EGC
Dermawan, Deden dkk. 2010. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan. Yogyakarta: Goysen
Publishing
Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto
Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien
edisi 3. Jakarta: EGC
mau nanya
ReplyDeletekenapa penyakit hisprung ini banyak terjadi pada anak laki" apa alasan ?
terima kasih
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete