ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN
KLIEN TRAUMA INTRAKRANIAL
KLIEN TRAUMA INTRAKRANIAL
Diajukan untuk
memenuhi tugas mata kuliah KMB II
Disusun oleh :
Kelompok 4 (2 Reguler B)
|
|
Annisa Resiana
|
P17420313050
|
Dea Fera Indikasari
|
P17420313053
|
Fitri Fauziah Apriliani
|
P17420313060
|
Joko Setiabudi
|
P17420313065
|
Loly Risqiyani
|
P17420313069
|
Nailatul Khikmah
|
P17420313073
|
Qonitalillah
|
P17420313079
|
Siti Nurrohmah Widhawati
|
P17420313084
|
Wiwik Nurhikmah
|
P17420313091
|
Dosen Pengampu
Ahmad Baequny
S.Kep Ns M.Kes
POLITEKNIK
KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
PROGRAM
STUDI DIII KEPERAWATAN PEKALONGAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Orang tidak akan hidup tanpa kepala, pernyataan
tersebut menyatakan bahwa kepala adalah salah satu bagian tubuh terpenting dari
semua bagian tubuh. Hal tersebut dikarenakan pada kepala terdapat otak yang
memiliki peran yang sangat penting bagi sistem. Otak memiliki jutaan sistem
saraf yang berfungi mengatur, mengendalikan dan memberikan perintah pada setiap
sistim organ yang ada pada tubuh kita. Otak bekerja layaknya sistem operasi
pada laptop/pc anda. Apabila terjadi eror pada sistem operasi tersebut maka
akan berdampak pula pada bagian lainnya seperti contoh layar pada laptop/pc
menjadi gelap/hang out. Sama halnya seperti otak contah kerusakan kecil yang di
akibatkan karena trauma kranial yang berdampak pada kerusakan komponen sistem
saraf yang ada pada otak dapat berakibat terjadinya kebutaan, kelumpuhan, sulit
bicara, hilang ingatan atau bahkan dapat mengakibatkan kematian.
Trauma
kranial adalah cedera yang terjadi dalam tempurung kepala. Trauma kranial atau
cedera kepala dinyatakan sebagai pembunuh nomor satu di dunia dalam sistim
persarafan. Karena rauma kepala dapat menyerang pada setiap umur, baik pada
anak sampai lansia. Trauma kranial dapat terjadi karena akibat benturan keras
baik pukulan, terjatuh, kecelakaan atau akibat tekanan darah yang sangat
tinggi. Dalam kasusnya, Setiap tahun, sekitar 40.000 orang anak mengalami
cedera kepala serius dan lebih dari 200 orang meninggal (www.parentsindonesia.com).
Trauma kranial harus mendapatkan penanganan yang
segera. Dilihat dari besarnya kasus tersebut hal inilah yang
melatarbelakangi pembuatan makalah ini.
B.
Tujuan
1.
Tujuan Umum
Tujuan umum dari
penyusunan laporan ini adalah untuk mengupas dan membahas tuntas tentang asuhan
keperawatan pada klien trauma kranial.
2.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus
dari penyusunan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas Keperawatan Medikal
Bedah II
C.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup
pada laporan asuhan keperawatan pada klien trauma kranial meliputi definisi,
pembahasan hingga asuhan keperawatan pada klien dengan trauma kranial.
D.
Sistematika
Sistematika pada
laporan kasus ini diantaranya adalah sebagai berikut. BAB I berisi pendahuluan
yang meliputi : latar belakang, tujuan, ruang lingkup, dan sistematika.
Kemudian pada BAB II berisi tinjauan teori meliputi : definisi, klasifikasi
trauma, etiologi, komplikasi, tanda dan gejala., implementasi keperawatan, dan evaluasi.
BAB III berisi pengkajian, diagnose yang mungkin muncul, intervensi
keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi. Untuk BAB IV penutup yang
berisi kesimpulan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
DEFINISI
Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka
(Cerney, dalam Pickett, 1998).
Trauma adalah cedera fisik atau emosional. Secara
medis, “trauma” mengacu pada cedera serius atau kritis, luka, atau syok. Dalam
psikiatri, “trauma” memiliki makna yang berbeda dan mengacu pada pengalaman
emosional yang menyakitkan, menyedihkan, atau mengejutkan, yang sering
menghasilkan efek mental dan fisik
berkelanjutan.(http://kamuskesehatan.com/arti/trauma/)
Intra
artinya di dalam; bagian dalam (http://kbbi.web.id/intra-)
Kranial atau bisa disebut tulang kranial adalah
tulang yang membentuk tempurung kepala dan berfungsi melindungi organ di
dalamnya, yaitu otak. (http://zidniklopedia.blogspot.com/2011/11/sistem-gerak-pada-manusia-rangka-dan.html)
Kesimpulanya trauma intrakranial adalah luka atau
cedera fisik yang terjadi pada bagian dalam kranial (tempurung kepala).
B.
ETIOLOGI
1. Trauma tajam
Kerusakan
sistem saraf terjadi hanya terbatas pada daerah dimana terjadinya robekan pada
otak, misalnya tertusuk bambu, tertembak.
2. Trauma tumpul
Kerusakan
sistem saraf yang menyebar akibat benturan yang sangat keras misalnya
terbentur, pukulan, jatuh, kecelakaan dll.
C.
KLASIFIKASI TRAUMA KRANIAL
1. Trauma Ringan :
bila GCS 14-15 (kelompok resiko rendah)
2. Trauma Sedang :
bila GCS 9-13 (kelompok resiko sedang)
3. Trauma Berat
: bila GCS 3-8 (kelompok resiko berat)
D.
GEJALA
- Perubahan tekanan darah atau normal
(hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi
dengan bradikardia disritmia).
- Muntah proyektil, gangguan menelan
(batuk, air liur, disfagia)
- Perubahan kesadaran bisa sampai
koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori). Kehilangan
kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam penglihatan,seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia,
gangguan pengecapan dan penciuman.
- Perubahan pupil
(respon terhadap cahaya simetris) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti.
Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah
tidak simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif
terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan
dalam menentukan posisi tubuh.
- Wajah
menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih.
- Perubahan pola
nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor,
terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
- Fraktur atau
dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna,
adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung (CSS), gangguan
kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
- Afasia motorik
atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang – ulang.
- Merasa lemah,
lelah, kaku, hilang keseimbangan.
- Cemas, mudah tersinggung, delirium,
agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
- Mual, muntah,
mengalami perubahan selera.
- Sakit kepala dengan intensitas dan
lokasi yang berbeda, biasanya lama.
E.
PATOFISIOLOGI
Perdarahan intrakranial
dapat menyebabkan terjadinya peningkatan TIK, akibat yang ditimbulkan
yaitu sakit kepala hebat dan menekan pusat reflek muntah di medulla yang
mengakibatkan terjadinya muntah proyektil sehingga tidak terjadi keseimbangan
antara intake dengan output. Selain itu peningkatan TIK juga dapat menyebabkan
terjadinya penurunan kesadaran dan aliran darah otak menurun. Jika aliran darah
otak menurun maka akan terjadi hipoksia yang menyebabkan disfungsi serebral
sehingga koordinasi motorik terganggu. Disamping itu hipoksia juga dapat
menyebabkan terjadinya sesak nafas.
F.
PATHWAYS
G.
KOMPLIKASI
Komplikasi
yang terjadi akibat trauma intrakranial :
1.
Perdarahan
intrakranial
2.
Peningkatan
tekanan intrakranial
3.
Konkusio adalah hilangnya kesadaran
(dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak
menyebabkan kerusakan fisik yang nyata atau cedera kepala tertutup yang
ditandai oleh hilangnya kesadaran. Konkusio menyebabkan periode apnu yang singkat.
4.
Hematoma Epidural adalah penimbunan
darah di atas durameter. Hemotoma epidural terjadi secara akut dan biasanya
terjadi karena pendarahan arteri yang mengancam jiwa.
5.
Hematoma subdura adalah penimbunan
darah dibawah durameter tetapi diatas membrane abaknoid. Hematoma ini biasanya
disebabkan oleh pendarahan vena, tetapi kadang-kadang dapat terjadi perdarahan
arteri subdura.
6.
Pendarahan subaraknoid adalah akumulasi
darah di bawah membran araknoid tetapi diatas diameter, ruang ini hanya
mengandung cairan serebraspinalis bila dalam keadaan normal.
7.
Hematoma intraserebrum adalah
pendarahan di dalam otak itu sendiri, hal ini dapat timbul pada cedera kepala
tertutup yang berat ataupun pada cedera kepala terbuka.
8.
Infark
9.
Iskemi
10. Kematian
H.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan
pertama pada klien dengan trauma sebagai berikut :
1. Menilai jalan
nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan,
lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan
memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera kepala
orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus diintubasi.
2. Menilai
pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak.
Jika tidak berikan oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas
spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif,
hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi, jika tersedia, dengan tujuan menjaga
saturasi oksigen minimum 95%. Jika pasien tidak terlindung bahkan terancam atau
memperoleh oksigen yang adekuat (PaO2 >95 mmHg dan PaCO2 >
95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli
anestesi.
3. Menilai
sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan
semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya
cedera intrabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan
tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur
intravena ynag besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan dara perifer lengkap
ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan
koloid. Sedangkan laruta kristaloid (dekstrosa dan dekstrosa salan salin)
menimbulkan eksaserbasi edema otak pasca cedera kepala. Keadaan hipotensi,
hipoksia dan hiperkapnia memburuk cedera kepala.
I.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan
penunjang yang biasa dilakukan klien dengan trauma kranial sebagai penunjang
dan bukti fisik dalam menentukan diagnosis sebagai berikut :
1.
CT
Scan (tanpa / dengan kontras) mengidentifikasi adanya sol, hemoragik,
menentukan ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2.
MRI
(Magnetic Resonance Imaging): sama dengan CT Scan dengan / tanpa kontras.
Menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio dan bila bercampur frelmensi
radio radio yang dilepaskan oleh jaringan tubuh akan menghasilkan citra MRI
yang berguna. dalam mendiagnosis tumor, infark dan kelainan pada. pembuhih darah.
3.
Angiografi
serebral: Menunjukkan kelainan sirkula.si serebral, seperti pergeseran jaringan
otak akibat edema., pendarahan trauma. Digunakan untuk mengidentifikasi dan
menentukan kela.inan serebral vaskuler.
4.
Angiografi
Substraksi Digital Suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi dengan
teknik komputerisa.si untuk mempelihatkan pembuluh darah tanpa. gangguan dari
tulang dan jaringan lunak di sekitamya.
5.
EEG:
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis. EEG
(elektroensefalogram) mengukur aktifitas listrik lapisansuperfisial korteks
serebri melalui elekroda yang dipasang di luar tengkorak pasien.
6.
ENG
(Elektronistagmogram) merupakan pemeriksaan elekro fisiologis vestibularis yang
dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan sistem saraf pusat.
7.
Sinar
X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur). Pergeseran struktur
dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen tulang.
8.
BAEK
(Brain Auditon Euoked Tomografi) : Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
9.
PET
(Positron Emmision Tomografi): Menunjukkan perubahan aktifitas metabolisme
batang otak. 10. Fungsi lumba1,
10. CSS: Dapat menduga kemungkinan adanya
perubahan subaraknoid.
11. GDA (Gas Darah Arteri): Mengetahui
adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan meningkatkan TIK.
12. Kimia / elekrolit darah: Mengetahui
ketidakseimbangan yang belperan dalam peningkatan TIK / perubahan mental.
13. Pemeriksaan toksilogi: Mendeteksi
obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap pentuunan kesadaran.
14. Kadar anti konvulsan darah: Dapat
dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi
kejang.
(Doenges 2000; Price & Wilson 2006)
BAB III
KONSEP
DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A.
Pengkajian Fokus Menurut Doenges
(2000) Dan Engram (1998) :
1.
Aktifitas
dan Istirahat
Gejala
: merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan, perubahan kesadaran,
letarghi, hemiparesis, quadreplagia, ataksia, cara berjalan tak tegap, masalah
dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot dan spastik
otot.
2.
Sirkulasi
Gejala:
Perubahan tekanan darah (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi,
takikardi yang diselingi dengan bradikardi dan distritmia).
3.
Integritas
Ego
Gejala:
Perubahan tingkah laku / kepribadian (demam). Tanda.: Cemas, mudah tersinggung,
delrium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
4.
Eliminasi
Gejala:
Inkontinensia kandung kemih.
5.
Makanan
/ Cairan
Gejala
: Mual, muntah dan mengalami penurunan selera. makan. Tanda.: Muntah (mimgkin
proyektif), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, dan disfagia).
6.
Neurosensorik
Gejala:
Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus, kehilangan pendengaran, rasa baal dan ekstremitas. Perubahan dalam
penglihatan seperti ketajamamiya, displopia, kehilangan sebagian lapang
pandang, fotofotobia, gangguan pengecapan dan penciuman. Tanda. Perubahan
kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,
perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi tingkah laku dan
emosi). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya., simetri) deviasi pada. mata,
ketidakmampuan mengikuti cahaya, kehilangan pengindraan seperti: pengecapan,
penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, lemah dan tidak seimbang.
Reflek tendon dalam tidak ada / lemah, apiaksia, hemiparesis, quadreplagia,
postur (dekortikasi deselerasi), kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan
gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh dan kesulitan menentukan posisi
tubuh.
7.
Nyeri
/ kenyamanan
Gejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang
berbeda dan biasanya lama. Tanda : wajah menyeringai, respon menarik ada
rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat dan merintih.
8.
Pernafasan
Tanda : perubahan pola nafas (apneu yang diselingi oleh
hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronchi, menghi positif
(kemungkinan karena aspirasi)
9.
Keamanan
Gejala
: trauma karena kecelakaan. Tanda : fraktur / dislokasi dan gangguan
penglihatan gangguan rentang gerak, kekuatan secara umum mengalami paralisis.
10. Interaksi sosial
Tanda
: bicara tanpa arti, disorientasi, amnesia / lupa sesaat.
B.
Diagnosa Keperawatan yang Dapat
Terjadi
1.
Perubahan
perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia dan edema serebral
ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, perubahan respon motorik atau
sensorik, gelisah, perubahan tanda-tanda vital. (Doenges, 1999).
2.
Pola. nafas
tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi dan kerusakan neurovaskuler
ditandai dengan kelemahan atau paralisis otot pernafasan. (Doenges, 1999).
3.
Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan ADH dan
aldosteron, retensi cairan dan natrium ditandai dengan edema, dehidrasi,
sindrom kompartemen dan hemoragi. (Carpenito, 2006).
4.
Perubahan nuhisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan asam lambung, mual,
muntah dan anoreksia ditandai dengan penumnan BB. peniuunan masa atau tonus
otot buruk. (Carpenito, 2006).
5.
Gangguan rasa
nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan vaskuler serebral dan edema otak
ditandai dengan tengangan maskuler, wajah menahan nyeri dan perubahan tanda-tanda
vital. (Engram, 1998).
6.
Resiko infeksi
berhubmgan dengan perdarahan serebral ditandai dengan respon inflamasi
tertekan, hipertemia. (Doenges, 1999).
7.
Gangguan
mobilitas fisik berhubungan dengan penunman tonus otot dan pemu-unan kesadaran
ditandai dengan ketidalanampuan bergerak, kerusakan koordinasi, keterbatasan
rentang gerak, penurunan kekuatan otot atau control otot. (Doenges, 1999).
8.
Gangguan
persepsi sensorik berhubungan dengan penurunan kesadaran ditandai dengan
disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, pembahan terhadap respon rangsang.
(Doenges, 1999)
9.
Gangguan
komunikasi verbal berhubungan dengan cedera. otak dan penumnan kesadaran
ditandai dengan ketidakmampuan untuk bicara. dan menyebutkan kata-kata.
(Caipenito, 2006).
C.
Fokus Intervensi
1.
Perubahan perfusi
jaringan berhubungan dengan hipoksia dan edema serebral ditandai dengan
perubahan tingkat kesadaran, pembahan respon motorik / sensorik, gelisah,
perubahan tanda vital. (Doenges, 2001).
Tujuan
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan tingkat kesadaran membaik.
Kriteria
Hasil :
Mempertahankan
tingkat kesadaran biasa atau perbiakan, tanda-tanda vital (TTV) kembali normal
dan tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial (TIK).
Intervensi:
a.
Tentukan
faktor-faktor yang menyebabkan koma atau penurunan perfusi jaringan otak dan
potensial peningkatan TIK.
Rasional
: Untuk mengetahui penyebab cedera, untuk memantau tekanan TIK dan atau
pembedahan.
b.
Pantau status
neurologik secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar
Rasional
: Untuk mengetahui perubahan nilai GCS, mengkaji adanya kecenderungan pada
tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan
lokasi.
c.
Pantau TTV
Rasional
: Ketidakstabilan TTV mempengaruhi tingkat kesadaran.
d.
Pertahankan
kepala pada posisi tengah atau pada posisi netral
Rasional : Kepala yang miring pada salah satu sisi
menekan vena jogularis dan menghambat aliran darah vena
e. Perhatikan adanya gelisah yang meningkat.
Rasional : Petunjuk nonverbal ini mengidentifikasi
adanya peningkatan TIK atau menandakan adanya nyeri.
f. Kolaborasi pemberian cairan sesuai indikasi.
Rasional : Pembatasan cairan dapat menurunkan edema
cerebral.
g. Berikan obat sesuai indikasi.
Rasional : Dapat menurunkan komplikasi.
2.
Pola nafas tidak
efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, kerusakan persepsi dan
obstruksi trakeobronkial ditandai dengan kelemahan atau paralisis otot
pernafasan. (Doenges, 1999).
Tujuan
:
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali normal.
Kriteria
Hasil :
Mempertahankan
pola pernafasan efektif, bebas sanasis, Nafas normal (16-24 x / mnt), irama
regular, bunyi nafas normal, GDA normal, PH darah normal (7,35-7,45). Pa02
(80-100 mmHg), PaCO2 (35-40 mmHg), HCO2 (22-26). Saturasi oksigen (95- 98%).
Intervensi:
a.
Pantau frekuensi
pernafasan, irama dan kedalaman pernafasan.
Rasional
: Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi, pulmonal atau menandakan lokasi
/ luasnya keterlibatan otak.
b.
Angkat kepala
tempat tidur sesuai aturan, posisi miring sesuai indikasi
Rasional
: Untuk memudahkan ekspansi pans dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh
dan menyumbat jalan nafas
c.
Lakukan
penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik
Rasional
: Untuk membersihkan jalan nafas, penghisapan dibutuhkan jika pasien koma atau
dalam keadaan imobilisasi, dan tidak dapat membersihkan jalan nafas sendiri.
d.
Auskultasi bunyi
nafas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak
normal
Rasional
: Untuk mengidentifikasi adanya masalah pans seperti atelektasis kongesti atau
obstruksi jalan nafas.
e.
Kolaborasi
pemberian oksigen.
Rasional
: Menentukan kecukupan pernafasan, memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan
membantu dalam pencegahan hipoksia.
3. Perubahan nutrisi kebutuhan kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan peningkatan asam lambung, mual, muntah dan anoreksia
ditandai dengan penurunan BB, penurunan masa otot, tonus otot buruk.
(Carpenito, 2006).
Tujuan :
Kebutuhan akan nutrisi tidak terganggu.
Kriteria Hasil :
BB meningkat, tidak mengalami tanda-tanda mal
nutrisi, nilai laboratorium dalam batas normal.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan klien untuk mengunyah, menelan, batuk
dan mengatasi sekresi.
Rasional : Faktor ini dapat menentukan pemilihan
terhadap jenis makanan.
b. Auskultasi bising usus
Rasional : Fungsi saluran pencernaan biasanya baik
pada kasus cedera kepala.
c. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien
lewat NGT
Rasional : Menurunkan resiko regurgitasi / terjadi
aspirasi.
d. Tingkatkan kenyamanan
Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat meningkatkan
nafsu makan.
e. Kolaborasi pemberian makan lewat NGT
Rasional
: Makan lewat NGT diperlukan pada awal pemberian.
4.
Gangguan rasa
nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan vaskuler serebral dan edema otak
ditandai dengan tengangan maskuler, wajah menahan nyeri dan perubahan TTV.
(Engram, 1998).
Tujuan
:
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria
Hasil :
Nyeri
berkurang atau hilang, TTV dalam batas normal.
Intervensi:
a.
Kaji
karakteristik nyeri (P, Q, R, S, T)
Rasional
: Untuk mengetahui letak dan cara mengatasinya.
b.
Buat posisi
senyaman mungkin
Rasional
: Menurunkan tingkat nyeri
c.
Pertahankan
tirah baring
Rasional
: Tirah baring dapat mengurangi pemakaian oksigen jaringan dan menurunkan
resiko meningkatnya TIK.
d.
Kurangi stimulus
yang dapat merangsang nyeri
Rasional
: Stress dapat menyebabkan sakit kepala dan menyebabkan kejang.
e.
Kolaborasi
pemberian obat analgetik
Rasional
: Menurunkan rasa nyeri.
5.
Resiko tinggi
infeksi berhubungan dengan perdarahan serebral ditandai dengan respon inflamasi
tertekan, hipertemia. (Doenges, 1999).
Tujuan
:
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan tidak ada tanda-tanda infeksi.
Kriteria
Hasil :
Tidak
terdapat tanda-tanda infeksi dan mencapai penyembuhan luka tepat waktu
Intervensi
a.
Lakukan cuci
tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan
Rasional
untuk menurunkan terjadinya infeksi nosokomial
b.
Observasi daerah
yang mengalami luka/kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi
Rasional
: deteksi dini terjadinya perkembangan infeksi, kemungkinan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan mencegah komplikasi
c.
Monitor suhu
tubuh dan penurunan kesadaran
Rasional
: suhu yang tinggi dapat mengidentifikasi terjadinya infeksi yang selanjutnya
memerlukan tindakan dengan segera.
d.
Kolaborasi
pemberian obat antibiotik
Rasional
: menurunkan terjadinya infeksi nasokomial
e.
Kolaborasi
pemeriksaan laboraturium
Rasional
: untuk mengetahui adanya resiko infeksi melalui hasil laboraturium darah
6.
Gangguan
mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri kepala ditandai dengan ketidakmampuan
bergerak, kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan
atau kontrol otak
Tujuan :
Mempertahankan posisi yang optimal
Kriteria hasil :
-
Mempertahankan
kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit
-
Mendemonstrasikan
teknik yang mungkin dilakukan aktifitas
Intervensi
a.
Kaji derajat
imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4)
Rasional : untuk
mengetahui tingkat imobilisasi pasien
b.
Ubah posisi
pasien secara teratur dan buat sedikit perubahan posisi
Rasional :
perubahan posisi dapat meningkatkan sirkulasi pada seluruh tubuh
c.
Bantu pasien
untuk melakukan latihan rentang gerak
Rasional :
mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi / posisi normal ekstrimitas dan
menurunkan terjadinya vena yang statis
d.
Sokong kepala
dan badan, tangan dan lengan, kaki dan paha ketika berada pada kursi roda
Rasional :
mempertahankan kenyamanan, keamanan dan postur tubuh yang normal
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Trauma intrakranial adalah luka atau cedera fisik
yang terjadi pada bagian dalam kranial (tempurung kepala). Memiliki gejala
adanya muntah proyektil, hilangnya kesadaran, panik atau disorientasi, peka
terhadap cahaya dan lain-lain.
Trauma kepala
apabila tidak segera ditangani akan membahayakan korban karena dapat
menyebabkan atau kerusakan sistem saraf.
DAFTAR
PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3. Jakarta : EGC
Carpenito LD.1995.Diagnosa
Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta : EGC
Doengoes, M.E.,2000. Penerapan
Proses Kperawatan dan Diagnosa Keperawatan, Jakarta : EGC.
Donna, D.Et Al.1991. Medical
Surgical Nursing : A. Nursing Prosess Approch. St. Louis : The
C.V. Mosby Co.
NANDA, 2007. Nursing Diagnoses :
Definition and Clssification 2007 – 2008, NANDA
International, Philadephia.
Mansjoer, Arif. Dkk. 2000. Kapita
Selekta Kedokteran. Jakarata : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar
Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta :
Salemba Medika
No comments:
Post a Comment