BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Peraturan pemerintah yang khusus mengatur mengenai
masalah kesehatan mental tampaknya telah ada sejak zaman Hindia Belanda.
Undang-undang yang ditetapkan Pemerintah NKRI tentang kesehatan mental baru
diundangkan pada tahun 1966 untuk menggantikan Het Reglement op het
Krankzinnigenwezen (Stbl
1897 No 54). Undang-undang tersebut adalah UU no.3 tahun 1966 tentang Kesehatan
Jiwa yang belum dicabut atau diganti hingga sekarang. Hal kesehatan jiwa
sebenarnya telah disinggung dalam UU no.9 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Kesehatan. Di dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa kesehatan jiwa
merupakan bagian dari (disebut unsur) kesehatan. Ini menunjukkan telah adanya
pemahaman bahwa kesehatan jiwa merupakan bagian tidak terpisahkan dari
kesehatan.
Definisi kesehatan jiwa menurut UU no.3 1966 tersebut
adalah keadaan jiwa yang sehat. Mengenai usaha-usaha kesehatan jiwa dan
penanganan penyakit jiwa diusahakan oleh pemerintah atau badan swasta dengan
mengikutsertakan masyarakat. Ini menunjukkan telah adanya kesadaran mengenai
perlunya komunitas masyarakat dalam usaha-usaha kesehatan jiwa (promotif,
preventif, terapis, kuratif). Di Amerikapun pemahaman ini telah ada sejak tahun
1963 dengan diluluskannya Community Mental Health Act oleh kongres USA. UU tersebut menjamin
dukungan pemerintah terhadap usaha-usaha kesehatan mental yang dilakukan
komunitas. Di Amerika sendiri, UU mengenai kesehatan mental telah ada sejak
1946 dengan diundangkannya National Mental Health Act oleh Presiden Truman.
Di Britania Raya, Inggris dan Wales, undang-undang
kesehatan mental yang berlaku adalah Mental Health Act 2007 yang merupakan amandemen dari Mental Health Act 1983dan Mental Capacity Act 2005.
Undang-undang yang baru ini memiliki berapa perubahan signifikan dari
undang-undang sebelumnya, diantaranya pengetatan perawatan komunitas atas orang
dengan gangguan mental. Bahkan rumah sakit bisa membawa kembali pasien yang
dirawat komunitas jika dirasa perlu.
Dalam UU yang berlaku di NKRI, UU no.3 1966 disebutkan
usaha-usaha kesehatan jiwa yang dilakukan pemerintah (dengan mengikutsertakan
masyarakat) adalah pemeliharaan kesehatan jiwa, perawatan dan pengobatan
pendertia, serta pengembalian penderita yang telah selesai perawatan kepada
masyarakat. Usaha-usaha tersebut lebih berpusat kepada pemerintah dalam hal ini
menteri kesehatan. Satu ayat yang menyebut mengenai peran masyarakat adalah
dalam hal rehabilitasi. Masyarakat diharapkan membantu proses kembalinya
penderita yang telah selesai perawatan. Pemerintah diminta undang-undang untuk
menginisasi dan membimbing masyarakat dalam usaha melakukan hal tersebut.
Tetapi dalam Penjelasannya, disebutkan pula bahwa
undang-undang ini juga hendak memfasilitasi peran serta masyarakat dalam
pemeliharaan kesehatan mental. Namun tetap saja ditegaskan lagi, bahwa peran
utama terdapat pada pemerintah. Satu catatan untuk undang-undang ini adalah
tidak menyertakan bidang psikologi dalam pembahasannya. Dalam Penjelasan
disebutkan bahwa jiwa yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah jiwa dalam
pandangan kedokteran, dan tidak bidang lainnnya. Maka dari itu kami menyusun
masalah ini dengan tujuan agar para pembaca mengetahui upaya yang dilakukan
pemerintah dalam menangani kasus-kasus kesehatan jiwa tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana Situasi kesehatan jiwa yang ada di Indonesia?
2.
Apa isi dari Undang- undangnomor
18 tahun 2014tentang kesehatan jiwa?
3. Apakah program penanganan masalah kesehatan
jiwa yang dilakukan oleh pemerintah pada kasus-kasus kesehatan jiwa?
C. TUJUAN
1.
Untuk mengetahui situasi kesehatan jiwa yang ada di Indonesia
2.
Untuk mengetahui isi dari Undang- undang nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa
3.
Untuk mengetahui program penanganan masalah kesehatan jiwa yang
dilakukan oleh pemerintah pada kasus-kasus kesehatan jiwa
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
A.
Situasi Kesehatan JiwaDi Indonesia
Renstra Kemenkes 2010-2014 menjelaskan bahwa
visi pembangunan kesehatan Indonesia antara lain menggerakkan dan memberdayakan
masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan
yang berkualitas, meningkatkan surveyor, monitoring dan informasi kesehatan
serta meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Kesehatan jiwa merupakan salah satu
arah dari visi kesehatan tersebut. Masalah kesehatan jiwa terutama gangguan
jiwa secara tidak langsung dapat menurunkan produktifitas, apalagi jika onset
gangguan jiwa dimulai pada usia produktif.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka perlu
pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif, holistic, dan paripurna. Kegiatan
dapat dilakukan dengan menggerakkan dan memberdayakan seluruh potensi yang ada
di masyarakat, baik warga masyarakat sendiri, tokoh masyarakat, dan profesi
kesehatan. Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan kepada masyarakat
harus memiliki tenaga yang handal agar promosi, prevensi, kurasi, dan
rehabilitasi terhadap masyarakat yang menderita sakit, beresiko sakit, maupun
masyarakat yang sehat dapat dilakukan secara menyeluruh, termasuk didalamnya
adalah pelayanan kesehatan jiwa. Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan
yang ada di puskesmas diharapkan mampu memberikan pelayanan keperawatan secara
komprehensif, holistic, kontinyu dan paripurna kepada masyarakat yang mengalami
masalah psikososial dan gangguan jiwa di wilayah kerjanya. Masalah kesehatan
jiwa mempunyai lingkup yang sangat luas dan kompleks serta tidak terpisahkan
(integral) dari kesehatan terutama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia
yang utuh. Gangguan Jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan dan masih
banyak ditemukan di masyarakat demikian juga di kabupaten Pacitan. Masalah
gangguan jiwa secara tidak langsung akan menurunkan produktivitas apalagi jika
menderita gangguan jiwa dimulai pada usia produktif selain itu juga menambah
beban dari keluarga penderita. Menurut penelitian WHO beban akibat penyakit
gangguan jiwa yang diukur dengan hari-hari produktif yang hilang (DALY /
Dissability Adjusted Life years ) disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa tahun
tahun 2000 sebesar 12,3 % .
Dari Survei Kesehatan Mental Rumah
Tangga (SKMRT) tahun 1995, didapat bahwa 185 dari 1.000 anggota rumah tangga
mempunyai gejala gangguan jiwa.
•Suvei Kesehatan Rumah Tangga 1995, angka gangguan mental emosional penduduk usia > 15 tahun adalah 140 per 1.000 anggota rumah tangga (art). Anak usia 65 tahun) 4,53%. Pola usia penduduk semakin lanjut dengan angka harapan hidup 66,2 tahun . Hal ini memerlukan penyediaan sarana pelayanan yang baik termasuk pelayanan kesehatan mental.
•Suvei Kesehatan Rumah Tangga 1995, angka gangguan mental emosional penduduk usia > 15 tahun adalah 140 per 1.000 anggota rumah tangga (art). Anak usia 65 tahun) 4,53%. Pola usia penduduk semakin lanjut dengan angka harapan hidup 66,2 tahun . Hal ini memerlukan penyediaan sarana pelayanan yang baik termasuk pelayanan kesehatan mental.
Masalah kesehatan jiwa diIndonesia sangat besar. Diperkirakan ada 1 juta
kasus gangguan jiwa berat. Dari jumlah itu, sekitar 18.000
kasus “ditangani” dengan dipasung.
Terkait dengan itu, pemerintah – khususnya Kementerian Kesehatan –
telah mencanangkan Program Indonesia Bebas Pasung dengan berusaha menemukan
pasien yang dipasung di masyarakat. Namun, penemuan pasien pasung hanya fokus
pada pelayanan kuratif dan rehabilitatif, belum menyelesaikan masalahkesehatan jiwa.
Terkait dengan itu, pemerintah –
khususnya Kementerian Kesehatan – telah mencanangkan Program Indonesia Bebas
Pasung dengan berusaha menemukan pasien yang dipasung di masyarakat. Namun,
penemuan pasien pasung hanya fokus pada pelayanan kuratif dan rehabilitatif,
belum menyelesaikan masalahkesehatan jiwa.
Pelayanan Pasif
Pelayanan kesehatan
jiwa di Indonesia masih menyelesaikan masalah di hilir dan bersifat
pasif. Fokus pelayanan pun masih di institusi atau rumah sakit jiwa.
Kehadiran rumah sakit jiwa di Indonesia telah ada sejak tahun 1882, dan saat ini hampir
semua provinsi mempunyai satu atau lebih rumah sakit jiwa. Namun, pelayanan di
rumah sakit jiwa terkesan pasif. Artinya, menunggu masyarakat membawa orang
dengan masalah kejiwaan (ODMK) ke rumah sakit jiwa.
Pelayanan yang pasif
ini merugikan masyarakat, karena:
1. Masyarakat tidak tahu kapan memutuskan membawa pasien
ke rumah sakit jiwa, dan
2. Akses ke rumah sakit jiwa jauh karena umumnya berada
di ibu kota provinsi sehingga tidak jarang pasien
dibawa ke pelayanan kesehatan
jiwa sudah dalam
kondisi kronis.
Hal ini didukung hasil penelitian di Jakarta bahwa 45%
pasien yang mengalami gangguan jiwa pertama-tama mencari pelayanan ke alternatif,
dan setelah kronis (8,5 tahun) baru mencari pelayanan kesehatan
jiwa(Keliat dkk, 2011).
Apakah alasan pemerintah tidak menjadikan pelayanan kesehatan jiwa
menjadi pelayanan pokok dipuskesmas? Kejadian tsunami di Aceh merupakan momentum bagi
pelayanan keperawatan kesehatan
jiwamasyarakat (community mental health nursing). Apalagi semua puskesmas kecamatan di 29 kabupaten/kota sebetulnya telah
dilatih lebih kurang 600 perawat untuk merawat OMDK di masyarakat.
Sebenarnya dokterjuga telah dilatih, tetapi karena masa kerja mereka
yang singkat, pertukaran terjadi dengan cepat.
Hasilnya luar biasa dalam temuan kasus gangguan jiwa. Hal ini didukung dengan pembentukan desa siaga sehat jiwa dengan melatih kader kesehatan jiwa yang
sangat membantu dalam deteksi ODMK. Selama tujuh tahun pelayanan kesehatan jiwa
di Aceh, hasil pelayanannya sama dengan hasil pelayanan di rumah sakit jiwa
(Idaiani, 2013), bahkan biaya pelayanan di rumah sakit jiwa jauh lebih besar
dibandingkan pelayanan dipuskesmas.
ODMK yang dirawat di rumah sakit jiwa juga banyak yang
telah mampu dipulangkan ke rumah. Namun karena ketidaksaiapan puskesmas dalam melanjutkan perawatan di masyarakat,
menyebabkan mereka kembali di rawat di rumah sakit jiwa. Hal ini tidak baik
bagi ODMK karena makin lama di rumah sakit jiwa akan memundurkan fungsi sosial
mereka. Hasil penelitian menunjukkan 46% pasien yang dirawat di lima rumah
sakit jiwa di pulau Jawa mempunyai kemampuan tinggal di masyarakat (Keliat dkk,
2011), tetapi mereka tidak pulang karena tidak tersedianya pelayanan kesehatan
jiwa di masyarakat.
Sejak tahun 2001, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
telah merekomendasikan pelayanan kesehatan jiwa seharusnya dilakukan di
masyarakat. Namun, ironisnya, program pelayanan kesehatan jiwa di puskesmasbelum menjadi program pelayanan pokok di Indonesia.
Beberapa dinas kesehatan atau pemerintah provinsi (hampir 18 provinsi) telah berinisiatif
menjadikannya pelayanan kesehatan jiwa sebagai program pengembangan di beberapa
puskesmas. Namun, keberlanjutan program ini perlu kebijakan pemerintah pusat untuk menetapkannya sebagai program pokok
puskesmas puskesmas sehingga secara primer kesehatan jiwa dapat dilaksanakans
secara komprehensif dari hulu ke hilir. Pelayanan ini meliputi:
1.
Program
promosi kesehatan jiwa bagi kelompok masyarakat yang sehat jiwa sejak usia dini sampai lanjut,
2.
Program
pencegahan masalah kesehatan jiwa bagi kelompok masyarakat yang memiliki faktor
risiko, seperti penyakit kronis, serta
3.
Program
pemulihan dan rehabilitasi bagi kelompok masyarakat yang mengalami masalah
kesehatan jiwa agar mereka dapat mandiri dan produktif kembali.
Menyelesaikan masalah kesehatan jiwa bukan melalui
pembangunan rumah sakit jiwa yang baru, melainkan mengembangkan pelayanan
kesehatan jiwa berbasis masyarakat. Dengan cara ini, seluruh komponen bangsa
ikut berpartisipasi dalam mewujudkan Indonesia sehat jiwa.
Pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat sudah tidak
bisa ditunda lagi. Program
kesehatan jiwa wajib
menjadi program pokok puskesmas. Hal ini penting agar pelayanan kesehatan jiwa
di puskesmas yang telah berkembang di sejumlah provinsi sebagai program
pengembangan mendapat dukungan pasti untuk keberlanjutannya. Hal ini membantu
masyarakat mengakses dengan cepat pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat.
Di dunia, khususnya negara berkembang, pelayanan
kesehatan jiwa telah mencakup seluruh masyarakat dari kelompok usia ataupun
kebutuhan pelayanan. Pada Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun ini, yang jatuh
pada 10 Oktober 2013, telah ditetapkan tema terkait kesehatan jiwa lansia: “Mental Health and Older Adults”. Pelayanan kesehatan jiwa pada
lansia di Indoensia masih memerlukan penanganan yang komprehensif dan holistik.
Kita tunggu respons pemerintah dalam mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa
yang dapat diakses dengan cepat oleh seluruh warga Indonesia.
Penulis: Budi Anna Keliat, Guru Besar
Fakultas Ilmu Keberawatan Universitas
Indonesia, Team LeaderKeperawatan
Kesehatan Jiwa Komunitas
di Indonesia. Artikel ini pernah dimuat di Kompas Cetak pada kolom Opini di
halaman 7 pada tanggal 10 Oktober 2013
B. UUD Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana
seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual,
dan sosial sehingga individu tersebut
menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat
bekerja secara produktif, dan mampu
memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
2. Orang Dengan Masalah Kejiwaan yang
selanjutnya disingkat ODMK adalah orang yang mempunyai
masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan
dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki
risiko mengalami gangguan jiwa.
3. Orang Dengan Gangguan Jiwa yang
selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami
gangguan dalam pikiran, perilaku, dan
perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala
dan/atau perubahan perilaku yang bermakna,
serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam
menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
4. Upaya Kesehatan Jiwa adalah setiap
kegiatan untuk mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang optimal
bagi setiap individu, keluarga, dan
masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif yang diselenggarakan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
5. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan Pemerintahan Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati,
atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
7. Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasal 2
Upaya Kesehatan Jiwa berasaskan:
a. keadilan;
b. perikemanusiaan;
c. manfaat;
d. transparansi;
e. akuntabilitas;
f. komprehensif;
g. pelindungan; dan
h. nondiskriminasi
Pasal 3
Upaya Kesehatan Jiwa bertujuan:
a. menjamin setiap orang dapat mencapai
kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang
sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan
gangguan lain yang dapat mengganggu Kesehatan Jiwa;
b. menjamin setiap orang dapat mengembangkan
berbagai potensi kecerdasan;
c. memberikan pelindungan dan menjamin
pelayanan Kesehatan Jiwa bagi ODMK dan ODGJ berdasarkan
hak asasi manusia;
d. memberikan pelayanan kesehatan secara
terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui
upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
bagi ODMK dan ODGJ;
e. menjamin ketersediaan dan keterjangkauan
sumber daya dalam Upaya Kesehatan Jiwa;
f. meningkatkan mutu Upaya Kesehatan Jiwa
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi; dan
g. memberikan kesempatan kepada ODMK dan ODGJ
untuk dapat memperoleh haknya sebagai WargaNegara Indonesia.
BAB II
UPAYA KESEHATAN
JIWA
Bagian Kesatu
Umum
(1) Upaya Kesehatan
Jiwa dilakukan melalui kegiatan:
a. promotif;
b. preventif;
c. kuratif; dan
d. rehabilitatif.
(2) Upaya Kesehatan
Jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah,
Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat.
C. Program Penanganan Masalah Kesehatan Jiwa
Berdasar Survey Kesehatan Mental Rumah Tangga
(SKMRT) tahun 1995 yang dilakukan oleh Balitbang Depkes menunjukkan bahwa
prevalensi gangguan jiw a adalah sebesar 264 per 1000 anggota rumah tangga.
Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa kabupaten Pacitan dengan Jumlah
penduduk sebanyak 540.510 jiwa terdapat kira-kira 142.694 orang mengalami
gangguan jiwa baik gangguan jiwa berat maupun ringan.
Berdasarkan
Riskesdes tahun 2007 pada tabel 3.62 Prevalensi Gangguan Mental Emosional Pada
Penduduk 15 Tahun (Berdasarkan Self Report ing Questionaire - 20)* Menurut
Kabupaten/ Kota Di Provinsi Jaw a Timur dengan hasil
sebagai berikut :
No Kabupaten Gangguan mental emosional (%)
1 Kab. Pacitan 18.6
3 Kab. Trenggalek 11.9
4 Kab. Tulungagung 14.2
5 Kab. Blitar 10.9
7 Kab. Malang 23.7
8 Kab. Lumajang 22.7
9 Kab. Jember 8.2
10 Kab. Banyuwangi 19.2
Nampak bahwa kabupaten Pacitan menduduki
rangking pertama dalam Prevalensigangguan mental. Ini berarti gangguan mental
di kabupaten merupakan masalahserius yang harus mendapat perhatian.
Pada
survey awal pada awal bulan Desember 2011 di kabupaten Pacitan ditemukan
penderita jiwa yang dipasung sebanyak 64 orang yang tersebar di 12kecamatan.
Melalui surveilans dan pelaksanaan program kesehatan jiwa yang berbasismasyarakat
maka gangguan jiwa pasung dapat diobati dan ditangani yang selanjutnyaapabila
sudah sembuh dapat dilepas kembali kepada masyarakat, disamping itudeteksi dini
terus ditingkatkan sehingga pasien yang mengalami gangguan jiw a ringantidak
jatuh pada tingkat yang lebih berat.
Dengan
sistem pelayanan kesehatan jiwa yang berbasis masyarakat dan ditunjangdengan
profesionalisme kerja tenaga kesehatan upaya-upaya yang sudah dilakukanoleh
berbagai pihak maka sampai dengan bulan Mei 2012 sudah dapat dilepassebanyak 23
penderita pasung sehingga sampai bulan Mei Jumlah penderita jiwa yangdipasung
masih 41 penderita.
Meskipun
sudah dapat dilepas dari pasung bukan berarti penderita gangguan jiwatersebut sudah
bebas sama sekali karena mereka akan dapat kambuh lagi apabila adalingkungan
sekitarnya tidak mendukung. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka perlupelayanan
kesehatan jiwa yang komprehensif, continuity care, holistic, dan
paripurna.Kegiatan dapat dilakukan dengan menggerakkan dan memberdayakan
seluruh potensi yang ada di masyarakat, baik warga masyarakat sendiri, tokoh
masyarakat, dan profesikesehatan serta didukung pemangku jabatan.
Mengingat
penderita jiwa wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan difasilitas kesehatan
yang dilakukan pemerintah, Tanggung jaw ab penanganan penderita gangguan jiwa
tidak hanya dari sector kesehatan tetapi membutuhkan kerjasama lintassector
yang melibatkan berbagai instansi dan peran serta masyarakat serta
kemitraanswasta.
Sehubungan
dengan Pacitan mempunyai angka nilai gangguan mental yang tertinggi di Jawa
Timur, maka pemerintah kabupaten Pacitan sangat memperhatikan sehingga
dilaksankan fasilitasi pembentukan TP-KJM kabuapten Pacitan yang dilaksanakan
pada tanggal 16 Mei 2012 yang dibuka dan disampaikan arahan Bupati salah satu
point yang sangat penting dan ditekankan adalah diharapkan tahun 2012
Pacitan Bebas Pasung,
Selaian
itu Bupati Pacitan telah mendatangani Keputusan Bupati Pacitan nomor
188.45/12/KPTS/408.21/2012 tentang TIM PELAKSANA KESEHATAN JIWA MASYARAKAT (
TP- KJM) KABUPATEN PACITAN, dengan maksud semua SKPD ikut
serta dalam gerakan pembebasan Pasung.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Program
kesehatan jiwa di Indonesia diatur dalam UU no.3 1966 adalah pemeliharaan
kesehatan jiwa, perawatan dan pengobatan penderita, serta pengembalian
penderita yang telah selesai perawatan kepada masyarakat.
Renstra
Kemenkes 2010-2014 menjelaskan bahwa visi pembangunan kesehatan Indonesia
antara lain menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat,
meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan yang berkualitas, meningkatkan
surveyor, monitoring dan informasi kesehatan serta meningkatkan pemberdayaan
masyarakat. Kemudian untuk lebih lanjut dalam UUD Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa
yang berisikan dua sub-bab dan empat pasal.
Kabupaten
Pacitan menduduki rangking pertama dalam Prevalensi gangguan mental menurut
balitbang kemenkes tahun 2011 dan dihakan tahun 2012 pacitan bebas pasung.
B. SARAN
·
Untuk masyarakat
Masyarakat diharapkan membantu proses
pemeliharaan kesehatan jiwa, perawatan dan pengobatan dan kembalinya pendrita
yang telah selesai perawatan jangan hanya atas inisiatif individu dan keluarga
yang tidak berperi-kemanusiaan untuk menutupi dengan dipasung karena dianggap
“aib keluarga”.
·
Untuk pemrintah
Pemerintah melalui tanaga ahlinya diharap tidak hanya
membuat aturan dan programnya tetapi harus ada realisasi yang benar-benar
nyata, transparan, dan tepat sasaran.
DAFTAR PUSTAKA
kak kok blognya materinya gak bisa dicopy sih ???
ReplyDelete