Monday, 2 February 2015

IMUNISASI DAN KIPI


IMUNISASI DAN KIPI

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak


 










Disusun oleh :
Kelompok 4 (2 Reguler B)
Annisa Resiana
P17420313050
Ike Kusuma R
P17420313063
Nur Huda Alfauzi
P17420313076
Wiji Astuti
P17420313090


Dosen Pengampu
RR. Sri Sedjati SST


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN PEKALONGAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Pendahuluan
Imunisasi telah diakui sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif dan berdampak terhadap peningkatan kesehatan masyarakat. Sehubungan dengan itu maka kebutuhan akan vaksin makin meningkat seiring dengan keinginan dunia untuk mencegah berbagai penyakit yang dapat menimbulkan kecacatan dan kematian. Peningkatan kebutuhan vaksin telah ditunjang pula oleh upaya perbaikan produksi vaksin dengan meningkatkan efektivitas dan keamanan vaksin.
Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam upaya pembuatan vaksin adalah keseimbangan antara imunogenisitas (daya pembentuk kekebalan) dengan reaktogenisitas (reaksi simpang vaksin). Vaksin harus berisi antigen yang efektif untuk merangsang respons imun penerima sehingga tercapai nilai antibody di atas ambang pencegahan untuk jangka waktu yang cukup panjang. Vaksin harus diupayakan untuk tidak menimbulkan efek simpang yang berat, dan jauh lebih ringan dibandingkan gejala klinis penyakit secara alami. 
Penanggulangan KIPI dilaksanakan secara komprehensif meliputi penanganan medik terhadap kasus KIPI hingga memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat, keamanan dan risiko imunisasi. Untuk menanggulangi hal-hal yang berhubungan dengan KIPI tersebut dibentuk Komite Nasional Penanganan dan Penanggulangan KIPI (Komnas PP-KIPI). Komnas PP-KIPI merupakan suatu komite independen di tingkat nasional yang terdiri dari unsure-unsur klinisi, pakar dalam bidang mikrobiologi, virology, vaksin, farmakologi, ahli epidemiologi, ahli forensic, pakar hukum, yang berada dalam organisasi profesi (IDAI, POGI, PAPD, ISFI), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan cq. Sub Direktorat Imunisasi dan Sub Direktorat Surveilans dan Badan POM. Komnas PP-KIPI bertugas menganalisis informasi hasil telaah kasus KIPI, meninjau keseluruhan pola dari laporan dan pelacakan, membuat penilaian kausalitas KIPI pada kasus yang belum dan sudah disimpulkan oleh Komda PP-KIPI dan melakukan umpan balik kepada Komda PP-KIPI yang terkait. Komnas PP-KIPI dapat melakukan peninjauan lapangan (pelacakan menggunakan otopsi verbal), serta menjelaskan manfaat, keamanan dan risiko imunisasi pada masyarakat. Komnas PP-KIPI yang bertanggungjawab kepada Menteri Kesehatan cq. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan ini juga mempunyai wewenang memberikan nasehat, saran, dan pendapat ahli kepada pihak-pihak yang memerlukan dalam rangka penjernihan masalah kasus KIPI dan diduga KIPI. Sementara itu, di tingkat propinsi terdapat Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (KOMDA PP-KIPI) yang terdiri dari unsur-unsur profesi terkait yang akan bertanggungjawab kepada Gubernur cq. Dinas Kesehatan Propinsi terkait penatalaksanaan analisis KIPI secara teratur dan memberikan umpan balik ke sistem di bawahnya serta masyarakat di daerah tersebut.

B.       Tujuan
1.      Mahasiswa dapat mengetahui definisi imunisasi
2.      Mahasiswa dapat mengetahui definisi KIPI
3.      Mahasiswa dapat mengetahui penanganan KIPI
4.      Mahasiswa dapat mengerti manfaat imunisasi
5.      Mahasiswa dapat mengerti tujuan dari imunisasi

C.      Sistematika
Sistematika pada makalah ini diantaranya adalah sebagai berikut. BAB I berisi pendahuluan yang meliputi : latar belakang/pendahuluan, tujuan, dan sistematika. Kemudian pada BAB II berisi tinjauan teori meliputi : definisi imunisasi dan KIPI, manfaat tujuan dan sasaran imunisasi dll. Untuk BAB III berisi kesimpulan.











BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      IMUNISASI
1.      Definisi
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terkena antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit (Ranuh,2008,p.10).
Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja memasukkan antigen lemah agar merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten terhadap penyakit tertentu. Sistem imun tubuh mempunyai suatu sistem memori (daya ingat), ketika vaksin masuk kedalam tubuh, maka akan dibentuk antibodi untuk melawan vaksin tersebut dan sistem memori akan menyimpannya sebagai suatu pengalaman. Jika nantinya tubuh terpapar dua atau tiga kali oleh antigen yang sama dengan vaksin maka antibodi akan tercipta lebih kuat dari vaksin yang pernah dihadapi sebelumnya (Atikah,2010,p.8).
 Imunisasi merupakan salah satu cara pencegahan penyakit serius yang paling efektif untuk bayi dari segi biaya (Wahab, 2000).
Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal pada bayi yang baru lahir sampai usia satu tahun untuk mencapai kadar kekebalan diatas ambang perlindungan. (Depkes RI, 2005).


2.    Tujuan
Umum
yakni untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi akibat Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Penyakit dimaksud antara lain, Difteri, Tetanus, Pertusis (batuk rejam), Measles (campak), Polio dan Tuberculosis.
Tujuan Khusus, antara lain :
a.    Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI), yaitu cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di 100% desa Kelurahan pada tahun 2010.
b.    Tercapainya ERAPO (Eradiksi Polio), yaitu tidak adanya virus polio liar di Indonesia yang dibuktikan dengan tidak ditemukannya virus polio liar pada tahun 2008.
c.    Tercapainya ETN (Eliminasi Tetanus Neonatorum), artinya menurunkan kasus TN sampai tingkat 1 per 1000 kelahiran hidup dalam 1 tahun pada tahun 2008.
d.   Tercapainya RECAM (Reduksi Campak), artinya angka kesakitan campak turun pada tahun 2006

3.    Sasaran
Sasaran program imunisasi yang meliputi sebagai berikut :
a.    Mencakup bayi usia 0-1 tahun untuk mendapatkan vaksinasi BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis-B.
b.    Mencakup ibu hamil dan wanita usia subur dan calon pengantin (catin) untuk mendapatkan imunisasi TT.
c.    Mencakup anak-anak SD (Sekolah Dasar) kelas 1, untuk mendapatkan imunisasi DPT.
d.   Mencakup anak-anak SD (Sekolah Dasar) kelas II s/d kelas VI untuk mendapatkan imunisasi TT (dimulai tahun 2001 s/d tahun 2003), anak-anak SD kelas II dan kelas III mendapatkan vaksinasi TT (Depkes RI, 2005).

4.    Manfaat
Pemberian imunisasi memberikan manfaat sebagai berikut :
a.    Untuk anak, bermanfaat mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit menular yang sering berjangkit;
b.    Untuk keluarga, bermanfaat menghilangkan kecemasan serta biaya pengobatan jika anak sakit;
c.    Untuk negara, bermanfaat memperbaiki derajat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara (Depkes RI, 2001).

5.    Jenis – jenis imunisasi
a.       Imunisasi aktif
Merupakan suatu pemberian bibit penyakit yang telah dilemahkan (vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan memberikan suatu ingatan terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat mengenali dan merespon.
b.      Imunisasi pasif
Merupakan suatu proses peningkatan kekebalan tubuh dengan cara pemberian zat immunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang didapat bayi dari ibu melalui placenta) atau binatang yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi (Atikah,2010,pp.10-11).

B.       KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi)
1.      Definisi
KIPI atau Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imuniasi dan diduga karena imunisasi (Depkes RI, 2009).
Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI/adverse event following immunization) adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi, baik berupa reaksi vaksin ataupun efek simpang, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis; atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan (Ditjen P2PL dan Pusdiklat SDM kesehatan Depkes RI, 2006).
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi (KN PP KIPI, 2005).
Menurut Komite Nasional Pengajian dan Penanggulangan KIPI (KN PP KIPI), KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi ) adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi. Umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin merupakan reaksi simpang (adverse events), merupakan kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi samping vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping, interaksi obat dan reaksi alergi.

2.    Klasifikasi menurut WHO (1999) yaitu klasifikasi lapangan untuk petugas sebagai berikut:
a.    Kesalahan program / teknik pelaksanaan (programmatic errors)
Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi. Contoh kesalahan program : dosis antigen (terlalu banyak), lokasi dan cara penyuntikan, sterilisasi semprit dan jarum, jarum bekas pakai, tindakan aseptik dan anti septic, kontaminasi vaksin dan alat suntik, penyimpanan vaksin, pemakaian sisa vaksin, jenis dan jumlah pelarut vaksin, serta tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi kontra, dll). Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama. Kecenderungan lain adalah apabila suatu kelompok populasi mendapat vaksin dengan batch yang sama tetapi tidak terdapat masalah, atau apabila sebagian populasi setempat dengan karakteristik serupa yang tidak diimunisasi tetapi justru menunjukkan masalah tersebut.
b.    Reaksi suntikan (Injection reaction)
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak, dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope (KN PP KIPI, 2005: hal 6)
c.    Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Menurut KN PP KIPI, 2005 menyatakan gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian terrtulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain.
d.   Faktor kebetulan (Coincidental)
Kejadian terjadi setelah imunisasi tapi tidak disebabkan oleh vaksin. Indikator faktor kebetulan ditemukannya kejadian yang sama di saat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakter serupa tetapi tidak mendapat imunisasi.
e.    Penyebab tidak diketahui
Menurut KN PP-KIPI, 2005: hal 7 menyatakan bila kejadian atau malah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke dalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1991 melalui Expanded programme immunisastion (EPI=PPI) telah menganjurkan agar pelaporan KIPI dibuat oleh setiap negara. Untuk negara berkembang yang paling penting adalah bagaimana mengontrol vaksin dan mengurangi programmatic errors, termasuk cara menggunakan alat suntik dengan baik, alat yang sekali pakai atau alat suntik reusable, dan cara penyuntikan yang benar sehingga transmisi pathogen melalui darah dapat dihindarkan. Ditekankan pula bahwa untuk memperkecil terjadinya KIPI harus selalu diupayakan peningkatan ketelitian pemberian imunisasi selama program imunisasi dilaksanakan.

3.    Kasus KIPI yang harus dilaporkan
Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan nomor 26/MENKES/SK/XII/2005 tanggal 2 Desember 2005 tentang datar kasus KIPI yang perlu dilaporkan (Depkes, 2005) terdapat pada tabel 2.1 yaitu :
Kurun Waktu Kejadian KIPI
GEJALA KLINIS
Dalam 24 jam
·         Reaksi anafilaktoid (reaksi akut hipersensitif)
·         Syok anafilaktid
·         Menangis keras terus lebih dari 3 jam (persistent inconsolable screaming)
·         Episode hipotonik-hiporesponsif
·         Toxic shock syndrome (TSS)
Dalam 5 hari
·       Reaksi lokal yang berat
·       Sepsis
·       Abses di tempat suntikan (bakterial/steril)
Dalam 15 hari
·         Kejang, termasuk kejang demam (6-12hari untuk campak/MMR; 0-2 hari untuk DPT)
·         Ensefalopati (6-12 hari untuk campak/MMR; 0-2 hari untuk DPT)
Dalam 3 bulan
·         Acute flaccid paralysis = lumpuh layu (4-30 hari untuk penerima OPV; 4-75 hari untuk kontak)
·         Neuritis brakialis (2-28 hari sesudah imunisasi tetanus)
·         Trombositopenia (15-35 hari sesudah imunisasi campak/MMR)
Antara 1 hingga 12 bulan sesudah
imunisasi BCG
·         Limfadenitis
·         Infeksi BCG menyeluruh (Disseminated BCG infection)
·         Osteitis/osteomielitis
Tidak ada batas waktu
Setiap kematian, rawat inap, atau kejadian lain yang berat, dan kejadian yang tidak biasa, yang dianggap oleh tenaga kesehatan atau masyarakat ada hubungannya dengan imunisasi.

4.    Penanganan KIPI
Beberapa tindakan dan petunjuk rujukan yang dapat dilakukan oleh pelaksana imunisasi bila terjadi KIPI (KN PP-KIPI, 2005) sebagai berikut:
No
KIPI
Gejala
Tindakan
Keterangan
1.
Vaksin
Reaksi lokal
ringan
·    Nyeri, eritema, bengkak di daerah bekas suntikan < 1cm

·     Timbul < 48 jam setelah imunisasi
·    Kompres hangat

·    Jika nyeri mengganggu dapat diberikan parasetamol ½-1 tablet
·  Pengobatan dapat dilaku-kan oleh guru UKS atau orang tua

·  Berikan pengertian kepada ibu/keluarga bahwa hal ini dapat sembuh sendiri walaupun tanpa obat
2.
Tata laksana program
Abses dingin
Bengkak & keras, nyeri daerah bekas
suntikan. Terjadi
karena vaksin
yang dsuntikkan
masih dingin
·      Kompres hangat

·      Parasetamol ½-1 tablet
Jika tidak ada
perubahan,
hubungi
Puskesmas
terdekat
Pembengkakan
·    Bengkak di sekitar suntikan

·    Terjadi karena
Penyuntikan kurang dalam
Kompres hangat
Jika tidak ada
perubahan,
hubungi
Puskesmas
terdekat
















BAB III
PEMBAHASAN

KESIMPULAN
Imunisasi adalah memasukan sistem imunitas tambahan yang dibuat dari tangan manusia, tujuannya agar manusia tersebut dapat memiliki kekebalan tubuh dari berbagai penyakit. Namun dalam tatalaksana imunisasi masih terdapat suatu masalah seperti KIPI. KIPI atau yang bisa disebut dengan kejadian ikutan pasca imunisasi ini masih sering di jumpai di beberapa rumah sakit ataupun dipuskesmas.

SARAN
Untuk puskesmas atau pelayanan kesehatan
1.    Untuk selalu tanggap dengan peristiwa KIPI
2.    Memberikan penyuluhan tentang penanganan KIPI
3.    Mengontrol obat layak pakai
4.    Cermat teliti dalam bertindak, baik dalam pengambilan obat ataupun dalam cara penyuntikan
5.    Selalu dengan prinsip 5 Benar

No comments:

Post a Comment