Monday, 23 February 2015

PPDGJ II 00 - 100



F00 DIMENSIA PADA PENYAKIT ALZHEIMER

PENGERTIAN
Penyakit degenerative pada otak yang progresif dengan etiologi tidak diketahui ditandai atrofi difus di seluruh korteks serebri dengan lesi senile plaque dan neurofibrillary tangles
Pengkajian Diagnostik
·         Terdapat gejala dimensia
·         Onset bertahap (insidious onset) dengan deteriorasi lambat.
Onset biasanya sulit di tentukan waktunya yang persis, tiba-tiba orang lain sudah menyadari Adanya kelainan tersebut. Dalam perjalanan penyakitnya dapat terjadi suatu taraf yang stabil (plateau) secara nyata.
·         Tidak adanya bukti klinis, atau temuan dari pemeriksaan khusus, yang menyatakan bahwa Kondisi mental itu dapat disebabkan oleh penyakit otak atau sistemik lain yang menimbulkan Demensia (misalnya hipotiroidisme, hiperkalsemia, defisiensi vitamin B12, defisiensi niasin, neurosifilis, hidrosefalus bertekanan normal, atau hematoma sudural)
·         Tidak adanya serangan apoplektik mendadak, atau gejala neurologik kerusakan otak fokal seperti hemiparesis, hilangnya daya sensorik, defek lapang pandang mata, dan inkoordinasi yang terjadi dalam masa dini dari gangguan itu (walaupun fenomena ini di kemudian hari dapat bertumpang tindih).          
Diagnosa Banding :
-          Gangguan Depresif (F30-F39)
-          Delirium (F05)
-          Sindrom Amnestik Organik (F04)
-          Demensia penyakit lain YDK (F02.-)
-          Demensia sekunder penyakit lain YDK (F02.8)
-          Retardasi Mental (F70-F72)
-          Demensia Alzheimer + Vaskuler (F00.2)
F00.0 Demensia pada Penyakit Alzheimer Onset Dini
Pedoman Diagnostik
·         Demensia yang onsetnya sebelum usia 65 tahun.
·         Perkembangan gejala cepat dan progresif (deteriorasi).
·         Adanya riwayat keluarga yang berpenyakit Alzheimer merupakan faktor yang menyokong diagnosis tetapi tidak harus dipenuhi.
F00.1 Demensia pada Penyakit Alzheimer Onset Lambat
·         Sama tersebut diatas, hanya onset sesudah usia 65 tahun dan perjalanan penyakit yang lamban dan biasanya dengan gangguan daya ingat sebagai gambaran utamanya
F00.2 Demensia pada Penyakit Alzheimer, Tipe Tak Khas atau Tipe Campuran (atypical or mixed type)
·         Yang tidak cocok dengan pedoman untuk F00.0 atau F00.1, Tipe Campuran adalah demensia alzheimer + vaskuler

F00.9 Demensia pada Penyakit Alzheimer YTT (unspecified)







DEMENSIA VASKULER (F 01)
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menurut WHO, demensia adalah sindrom neurodegeneratif yang timbul karena adanya kelainan yang bersifat kronis dan progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur multipel seperti kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan mengambil keputusan. Kesadaran pada demensia tidak terganggu. Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi, perilaku dan motivasi.
Demensia vaskular adalah bentuk demensia kedua terbanyak setelah penyakit Alzheimer. Ia merupakan sindrom yang berhubungan dengan mekanisme vaskular yang berbeda. Demensia vaskular dapat dicegah dengan deteksi dini dan diagnosis yang tepat adalah penting.
Pasien yang pernah mengalami stroke mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk demensia vaskular. Baru-baru ini, lesi vaskular diduga telah memainkan peran dalam penyakit Alzheimer.
Pada 1899, arterosklerosis dan demensia senilis telah dinyatakan sebagai sindrom yang berbeda. Pada 1969, Mayer-Gross dkk melaporkan bahwa hipertensi adalah penyebab demensia pada 50% pasien. Pada 1974, Hachinski dkk menemukan istilah demensia multi-infark. Pada 1985, Lob menggunakan istilah yang lebih luas yaitu demensia vaskular.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    DEFINISI
Demensia vaskular adalah penurunan kognitif dan kemunduran fungsional yang disebabkan oleh penyakit serebrovaskuler, biasanya stroke hemoragik dan iskemik, juga disebabkan oleh penyakit substansia alba iskemik atau sekuale dari hipotensi atau hipoksia.
Baru-baru ini terdapat kontroversi dalam diagnosis demensia vaskuler. Pada abad ke 20, demensia pada orang lanjut usia diduga berasal dari vaskular tetapi penelitian autopsi dan neuroimaging modern menunjukkan banyak kasus demensia pada orang lanjut usia di Eropa dan Amerika Utara adalah dampak dari penyakit Alzheimer. Walaupun begitu, beberapa individu mengalami gangguan kognitif sebagai akibat dari stroke. Kebanyakan dari pasien ini menunjukkan tanda klinis seperti afasia atau disfungsi visual dan defisit neurologis ini jarang dikelirukan dengan penurunan kognitif karena demensia.
Banyak orang lanjut usia dengan penurunan kognitif yang progresif mempunyai vaskular yang patologi dan perubahan yang berhubungan dengan Alzheimer secara bersamaan. Pada pasien ini, terdapat kombinasi patologi penyakit Alzheimer dan vaskular sehingga sukar untuk menentukan penyebab prinsip dari demensia.

B.     EPIDEMIOLOGI
1.    Internasional
-   Demensia vaskular merupakan penyebab demensia yang kedua tertinggi di Amerika Serikat dan Eropa, tetapi merupakan penyebab utama di beberapa bagian di Asia.
-   Kadar prevalensi demensia vaskular 1,5% di negara Barat dan kurang lebih 2,2% di Jepang
-   Di Jepang, 50% dari semua jenis demensia pada individu berumur lebih dari 65 tahun adalah demensia vaskular.
-   Di Eropa, demensia vaskular dan demensia kombinasi masing-masing 20% dan 40% dari kasus. Di Amerika Latin, 15% dari semua demensia adalah demensia vaskular
-   Kadar prevalensi demensia adalah 9 kali lebih besar pada pasien yang telah mengalami stroke berbanding yang terkontrol. Setahun pasca stroke, 25% pasien mengalami demensia awitan baru. Dalam waktu 4 tahun berikutnya, resiko relatif kejadian demensia adalah 5,5%.
2.    Jenis kelamin
Demensia vaskular paling sering pada laki-laki, khususnya pada mereka dengan hipertensi yang telah ada sebelumnya atau faktor risiko kardiovaskular lainnya.
3.    Umur
Insiden meningkat sesuai dengan peningkatan umur.

C.     ETIOLOGI
Penyebab utama dari demensia vaskular adalah penyakit serebrovaskular yang multipel, yang menyebabkan suatu pola gejala demensia. Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang, yang mengalami infark menghasilkan lesi parenkim multipel yang menyebar pada daerah otak yang luas. Penyebab infark termasuklah oklusi pembuluh darah oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal yang jauh seperti katup jantung. Pada pemeriksaan, ditemukan bruit karotis, kelainan funduskopi, atau pembesaran kamar jantung.Selain itu, faktor resiko demensia vaskular adalah :
1.    Usia lanjut
2.    Hipertensi
3.    Merokok
4.    Penggunaan alkohol kronis
5.    Aterosklerosis
6.    Hiperkolesterolemia
7.    Homosistein plasma
8.    Diabetes melitus
9.    Penyakit kardiovaskular
10.    Penyakit infeksi SSP kronis (meningitis, sifilis dan HIV)
11.    Pajanan kronis terhadap logam (keracunan merkuri, arsenik dan aluminium.
12.    Penggunaan obat-obatan (termasuklah obat sedatif dan analgetik) jangka panjang
13.    Tingkat pendidikan yang rendah
14.    Riwayat keluarga mengalami demensia
Sindrom genetik yang jarang juga dapat menyebabkan demensia vaskular.
Penyakit
Kromosom
Gen
Arteriopati autosomal dominant serebral dengan infark subkortikal dan leukoencephalopathy (CADASIL)
19
Notch3
Angiopati amiloid serebral (CAA)
21
Protein prekursor
β-amyloid (βAPP)
Ensefalomiopati mitokondrial dengan asidosis laktat dan episod seperti stroke (MELAS)
Mitokondrial (mtDNA)
tRNA Leu(UUR)

D.    KLASIFIKASI
Berbagai subtipe demensia vaskular yaitu:
1.    Demensia vaskular onset akut (F 01.0)
Biasanya terjadi secara cepat sesudah serangkaian “stroke” akibat trombosis serebrovaskuler, embolisme, atau perdarahan. Pada kasus-kasus yang jarang, satu infark yang besar dapat sebagai penyebabnya.
2.    Demensia multi-infark (F 01.1)
Onsetnya lebih lambat, bisanya stelah serangkaian episode iskemik minor yang menimbulkan akumulasi dari infark pada parenkim otak.
3.    Demensia vaskular subkortikal (F 01.2)
Fokus kerusakan akibat iskemia pada substansia albadi hemisfer serebral, yang dapat diduga secara klinis dan dibuktikan dengan CT-Scan. Korteks serebri biasanya tetap baik, walaupun demikian gambaran klinis masih mirip dengan demensia pada penyakit Alzheimer.
4.    Demensia vaskular campuran kortikal dan subkortikal (F 01.3)
Komponen campuran kortikal dan subkortikal dapat diduga dari gambaran klinis, hasil pemeriksaan (termasuk autopsi) atau keduanya.
5.    Demensia vaskular lainnya.
6.    Demensia vaskular YTT (yang tidak tergolongkan).

E.     PATOFISIOLOGI
Semua bentuk demensia adalah dampak dari kematian sel saraf dan/atau hilangnya komunikasi antara sel-sel ini. Otak manusia sangat kompleks dan banyak faktor yang dapat mengganggu fungsinya. Beberapa penelitian telah menemukan faktor-faktor ini namun tidak dapat menggabungkan faktor ini untuk mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana demensia terjadi.
Pada demensia vaskular, penyakit vaskular menghasilkan efek fokal atau difus pada otak dan menyebabkan penurunan kognitif. Penyakit serebrovaskular fokal terjadi sekunder dari oklusi vaskular emboli atau trombotik. Area otak yang berhubungan dengan penurunan kognitif adalah substansia alba dari hemisfera serebral dan nuklei abu-abu dalam, terutama striatum dan thalamus.
Mekanisme demensia vaskular yang paling banyak adalah infark kortikal multipel, infark single strategi dan penyakit pembuluh darah kecil.
1.      Demensia multi-infark: kombinasi efek dari infark yang berbeda menghasilkan penurunan kognitif dengan menggangu jaringan neural.
2.      Demensia infark single: lesi area otak yang berbeda menyebabkan gangguan kognitif yang signifikan. Ini dapat diperhatikan pada kasus infark arteri serebral anterior, lobus parietal, thalamus dan satu girus.
3.      Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan 2 sindrom major, penyakit Binswanger dan status lakunar. Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan dinding arteri, pengembangan ruangan Virchow-Robin dan gliosis parenkim perivaskular.
4.      Penyakit lakunar disebabkan oleh oklusi pembuluh darah kecil dan menghasilkan lesi kavitas kecil di otak akibat dari oklusi cabang arteri penetrasi yang kecil. Lakunae ini ditemukan lebih sering di kapsula interna, nuklei abu-abu dalam, dan substansia alba. Status lakunar adalah kondisi dengan lakunae yang banyak, mengindikasikan adanya penyakit pembuluh darah kecil yang berat dan menyebar.
5.      Penyakit Binswanger (juga dikenal sebagai leukoencephalopati subkortikal) disebabkan oleh penyakit substansia alba difus. Pada penyakit ini, perubahan vaskular yang terjadi adalah fibrohialinosis dari arteri kecil dan nekrosis fibrinoid dari pembuluh darah otak yang lebih besar.

F.      TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala kognitif pada demensia vaskular selalunya subkortikal, bervariasi dan biasanya menggambarkan peningkatan kesukaran dalam menjalankan aktivitas harian seperti makan, berpakaian, berbelanja dan sebagainya. Hampir semua kasus demensia vaskular menunjukkan tanda dan simptom motorik. Tanda dan gejala fisik:
-       Kehilangan memori, pelupa
-       Lambat berfikir (bradifrenia)
-       Pusing
-       Kelemahan fokal atau diskoordinasi satu atau lebih ekstremitas
-       Inersia
-       Langkah abnormal
-       Konsentrasi berkurang
-       Perubahan visuospasial
-       Penurunan tilikan
-       Defisit pada fungsi eksekutif seperti kebolehan untuk inisiasi, merencana dan mengorganisasi
-       Sering atau Inkontinensia urin dan alvi. Inkontinensia urin terjadi akibat kandung kencing yang hiperefleksi.
Tanda dan gejala perilaku:
-       Perbicaraan tidak jelas
-       Gangguan bahasa
-       Depresi
-       Berhalusinasi
-       Tidak familiar dengan persekitaran
-       Berjalan tanpa arah yang jelas
-       Menangis dan ketawa yang tidak sesuai. Disfungsi serebral bilateral menyebabkan inkontinensi emosional (juga dikenal sebagai afek pseudobulbar)
-       Sukar menurut perintah
-       Bermasalah dalam menguruskan uang

G.    DIAGNOSIS
1.    Anamnesis
a.    Riwayat kesehatan
Ditanyakan faktor resiko demensia vaskular seperti hipertensi, Diabetes melitus dan hiperlipidemia. Juga riwayat stroke atau adanya infeksi SSP.
b.    Riwayat obat-obatan dan alkohol
Adakah penderita peminum alkohol yang kronik atau  pengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan fungsi kognitif seperti obat tidur dan antidepresan golongan trisiklik.
c.    Riwayat keluarga
Adakah keluarga yang mengalami demensia atau riwayat penyakit serebrovaskular.
2.    Pemeriksaan fisik
Pada demensia, daerah motorik, piramidal dan ekstrapiramidal ikut terlibat secara difus maka hemiparesis atau monoparesis dan diplegia dapat melengkapkan sindrom demensia. Apabila manifestasi gangguan korteks piramidal dan ekstrapiramidal tidak nyata, tanda-tanda lesi organik yang mencerminkan gangguan pada korteks premotorik atau prefrontal dapat membangkitkan refleks-refleks. Refleks tersebut merupakan petanda keadaan regresi atau kemunduran kualitas fungsi.
a.    Refleks memegang (grasp reflex). Jari telunjuk dan tengah si pemeriksa diletakkan pada telapak tangan si penderita. Refleks memegang adalah positif apabila jari si pemeriksa dipegang oleh tangan penderita
b.    Refleks glabela. Orang dengan demensia akan memejamkan matanya tiap kali glabelanya diketuk. Pada orang sehat,pemejaman mata pada ketukan berkali-kali pada glabela hanya timbul dua tiga kali saja dan selanjutnya tidak akan memejam lagi
c.    Refleks palmomental. Goresan pada kulit tenar membangkitkan kontraksi otot mentalis ipsilateral pada penderita dengan demensia
d.   Refleks korneomandibular. Goresan kornea pada pasien dengan demensia membangkitkan pemejaman mata ipsilateral yang disertai oleh gerakan mandibula ke sisi kontralateral
e.    Snout reflex. Pada penderita dengan demensia setiap kali bibir atas atau bawah diketuk m. orbikularis oris berkontraksi
f.     Refleks menetek (suck reflex). Refleks menetek adalah positif apabila bibir penderita dicucurkan secara reflektorik seolah-olah mau menetek jika bibirnya tersentuh oleh sesuatu misalnya sebatang pensil
g.    Refleks kaki tonik. Pada demensia, penggoresan pada telapak kaki membangkitkan kontraksi tonik dari kaki berikut jari-jarinya.
3.    Pemeriksaan MMSE
Alat skrining kognitif yang biasa digunakan adalah pemeriksaan status mental mini atau Mini-Mental State Examination (MMSE). Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui kemampuan orientasi, registrasi, perhatian, daya ingat, kemampuan bahasa dan berhitung. Defisit lokal ditemukan pada demensia vaskular sedangkan defisit global pada penyakit Alzheimer.
MMSE Folstein (lihat lampiran):
Pertanyaan
Skor maksimum
Orientasi
Pertama, tanya pasien tanggal, hari, bulan, tahun dan musim.
5
Kedua ditanyakan lokasi sekarang seperti fasilitas, lantai, bandar, provinsi dan negara.
5
Registrasi
Namakan 3 objek (seperti bola, bendera, pintu) dan minta pasien untuk mengulanginya
3
Atensi
Minta pasien untuk mengeja perkataan ‘dunia’ secara terbalik atau menolak 7 dari 100 secara berurutan  (berhenti setelah 5 jawaban).
5
Daya ingat
Minta pasien untuk mengingat 3 objek dari bagian registrasi tes ini
3
Bahasa
Minta pasien untuk mengidentifikasi pensil dan arloji
2
Minta pasien untuk mengulang frasa ‘tidak jika, dan, tetapi’
1
Minta pasien untuk mengikut arahan sebanyak 3-langkah
3
Minta pasien untuk membaca dan mematuhi frasa ‘tutup mata anda’
1
Minta pasien untuk menulis satu ayat
1
Minta pasien untuk mengkopi satu set pentagon yang saling bertindih.
1
Skor
30

Skoring: skor maksimum yang mungkin adalah 30. Umumnya skor yang kurang dari 24 dianggap normal. Namun nilai batas tergantung pada tingkat edukasi seseorang pasien. Oleh karena hasil untuk pemeriksaan ini dapat berubah mengikut waktu, dan untuk beberapa inidividu dapat berubah pada siang hari, rekamlah tanggal dan waktu pemeriksaan ini dilakukan.
4.    Kriteria diagnostik
a.    Kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, fourth edition, text revision (DSM-IV-TR)
b.    Skor iskemik Hachinski
c.    Kriteria theNational Institute of Neurological Disorders and Stroke-Association International pour la Recherché at L'Enseignement en Neurosciences (NINDS-AIREN).

H.    DIAGNOSA BANDING
1.    Penyakit Alzheimer
Biasanya demensia vaskular telah dibedakan dari demensia tipe Alzheimer denganpemburukan yang mungkin menyertai penyakit serebrovaskular selama satu periode waktu. Walaupun pemburukan yang jelas dan bertahap mungkin tidak ditemukan pada semua kasus, gejala neurologis fokal adalah lebih sering pada demensia vaskular dibandingkan pada demensia tipe Alzheimer, demikian juga faktor risiko standar untuk penyakit serebrovaskular.
Berikut adalah perbandingan antara demensia vaskular dan penyakit Alzheimer.
Gejala klinik
Demensia vaskular
Penyakit Alzheimer
Riwayat penyakit atherosklerosis
TIA, stroke, faktor resiko aterosklerosis seperti Diabetes melitus, hipertensi
Kurang
Onset
Mandadak atau bertahap
Bertahap
Progresivitas
Perlahan atau bertahap seperti tangga
Penurunan perlahan dan progresif
Pemeriksaan neurologi
Defisit neurologi
Normal
Langkah
Selalu terganggu
Biasanya normal
Memori
Kemunduran ringan pada fase awal
Prominen pada fase awal
Fungsi eksekutif
Dini dan kemunduran yang nyata
Kemunduran lambat
Skor iskemik Hachinski
≥7
≤4
Neuroimaging
Infark atau lesi substansia alba
Normal atau atrofi hipokampus

2.    Penurunan kognitif akibat usia
Apabila usia meningkat, terjadi kemunduran memori yang ringan. Volume otak akan berkurang dan beberapa sel saraf atau neurons akan hilang.
3.    Depresi
Biasanya orang yang depresi akan pasif dan tidak berespon. Kadang-kadang keliru dan pelupa.
4.    Delirium
Adanya kekeliruan dan perubahan status mental yang cepat. Individu ini disorientasi, pusing, inkoheren. Delirium disebabkan keracunan atau infeksi yang dapat diobati. Biasanya sembuh sempurna setelah penyebab yang mendasari diatasi
5.    Kehilangan memori
Antara penyebab kehilangan memori yang lain adalah:
a.    Malnutrisi
b.    Dehidrasi
c.    Fatigue
d.   Depresi
e.    Efek samping obat
f.     Gangguan metabolik
g.    Trauma kepala
h.    Tumor otak jinak
i.      Infeksi bakteri atau virus
j.      Parkinson

I.       PENATALAKSANAAN
1.    Tujuan penatalaksanaan demensia vaskular adalah:
a.    Mencegah terjadinya serangan stroke baru
b.    Menjaga dan memaksimalkan fungsi saat ini
c.    Mengurangi gangguan tingkah laku
d.   Meringankan beban pengasuh
e.    Menunda progresifitas ke tingkat selanjutnya
2.    Penatalaksanaan terdiri dari non-medikamentosa dan medikamentosa:
a.    Non-Medikamentosa
-       Memperbaiki memori
The Heart and Stroke Foundation of Canada mengusulkan beberapa cara untuk mengatasi defisit memori dengan lebih baik
·           Membawa nota untuk mencatat nama, tanggal, dan tugas yang perlu dilakukan. Dengan ini stres dapat dikurangkan.
·           Melatih otak dengan mengingat kembali acara sepanjang hari sebelum tidur. Ini dapat membina kapasiti memori
·           Menjauhi distraksi seperti televisyen atau radio ketika coba memahami mesej atau instruksi panjang. 
·           Tidak tergesa-gesa mengerjakan sesuatu hal baru. Coba merencana sebelum melakukannya.
·           Banyak besabar. Marah hanya akan menyebabkan pasien lebih sukar untuk mengingat sesuatu. Belajar teknik relaksasi juga berkesan.
-       Diet
Penelitian di Rotterdam mendapati terdapat peningkatan resiko demensia vaskular berhubungan dengan konsumsi lemak total. Tingkat folat, vitamin B6 dan vitamin B12 yang rendah juga berhubungan dengan peningkatan homosisteine yang merupakan faktor resiko stroke.
b. Medikamentosa
-       Mencegah demensia vaskular memburuk
·      Aspirin: mencegah platelet-aggregating thromboxane A2 dengan memblokir aksi prostaglandin sintetase seterusnya mencegah sintesis prostaglandin
·      Tioclodipine: digunakan untuk pasien yang tidak toleransi terhadap terapi aspirin atau gagal dengan terapi aspirin.
·      Clopidogrel bisulfate: obat antiplatlet yang menginhibisi ikatan ADP ke reseptor platlet secara direk.
·      Pentoxifylline dan ergoid mesylate (Hydergine) dapat meningkatkan aliran darah otak. Dalam satu penelitian yang melibatkan 29 pusat di Eropa, perbaikan intelektual dan fungsi kognitif dalam waktu 9 bulan didapatkan. Di European Pentoxifylline Multi-Infarct Dementia Study, pengobatan dengan pentoxifylline didapati berguna untuk pasien demensia multi-infark.
-            Memperbaiki fungsi kognitif dan simptom perilaku
Obat untuk penyakit Alzheimer yang memperbaiki fungsi kognitif dan gejala perilaku dapat juga digunakan untuk pasien demensia vaskular.
Obat-obat demensia adalah seperti berikut:
Nama obat
Golongan
Indikasi
Dosis
Efek samping
Donepezil
Penghambat kolinesterase
Demensia ringan-sedang
Dosis awal 5 mg/hr, setelah 4-6 minggu menjadi 10 mg/hr
Mual, muntah, diare, insomnia
Galantamine
Penghambat kolinesterase
Demensia ringan-sedang
Dosis awal 8 mg/hr, setiap bulan dinaikkan 8 mg/hr sehingga dosis maksimal 24 mg/hr
Mual, muntah, diare, anoreksia
Rivastigmine
Penghambat kolinesterase
Demensia ringan-sedang
Dosis awal 2 x 1.5 mg/hr. Setiap bulan dinaikkan 2 x 1.5 mg/hr hingga maksimal 2 x6mg/hr
Mual, muntah, pusing, diare, anoreksia
Memantine
Penghambat reseptor NMDA
Demensia sedang-berat
Dosis awal 5 mg/hr, stelah 1 minggu dosis dinaikkan menjadi 2x5 mg/hr hingga maksimal 2 x 10 mg/hr
Pusing, nyeri kepala, konstipasi


 Obat-obat untuk gangguan psikiatrik dan perilaku pada demensia adalah:
Gangguan perilaku
Nama obat
Dosis
Efek samping
Depresi
Sitalopram
10-40 mg/hr
Mual, mengantuk, nyeri kepala, tremor
Esitalopram
5-20 mg/hr
Insomnia, diare, mual, mulut kering, mengantuk
Sertralin
25-100 mg/hr
Mual, diare, mengantuk, mulut kering, disfungsi seksual
Agitasi, ansietas, perilaku obsesif
Quetiapin
25-300 mg/hr
Mengantuk, pusing, mulut kering, dispepsia
Olanzapin
2,5-10 mg/hr
Meningkat berat badan, mulut kering, pusing, tremor
Risperidon
0,5-1 mg, 3x/hr
Mengantuk, tremor, insomnia, pandangan kabur, nyeri kepala
Insomnia
Zolpidem
5-10 mg malam hari
Diare, mengantuk
Trazodon
25-100 mg malam hari
Pusing, nyeri kepala, mulut kering, konstipasi

J.       FOLLOW UP
1.    RAWAT INAP
Jika pasien yang depresi tidak menunjukkan respon terhadap pengobatan atau depresi berat (seperti mencoba untuk membunuh diri), terapi elektrokonvulsif diindikasikan.
Pada demensia yang terus berlanjut, perubahan perilaku yang lebih berat seperti agitasi, agresi, berjalan tanpa arah jelas, gangguan tidur dan perilaku seksual yang abnormal diobservasi. Sebaiknya pasien ditempatkan di institusi khusus apabila masalah perilaku tidak terkawal, aktivitas harian sangat memerlukan bantuan atau penjaga tidak lagi mampu menjaga pasien.
2.    RAWAT JALAN
Follow up yang reguler setiap 4-6 bulan direkomendasikan untuk menilai kondisi umum pasien dan gejala kognitif. Pengobatan faktor resiko seperti hipertensi, hiperkolesterolemia dan diabetes melitus juga memerlukan perhatian khusus.

K.    PROGNOSIS
1.    Prognosis demensia vaskular lebih bervariasi dari penyakit Alzheimer
2.    Beberapa pasien dapat mengalami beberapa siri stroke dan kemudian bebas stroke selama beberapa tahun jika diterapi untuk modifikasi faktor resiko dari stroke.
3.    Berdasarkan beberapa penelitian, demensia vaskular dapat memperpendek jangka hayat sebanyak 50% pada lelaki, individu dengan tingkat edukasi yang rendah dan pada individu dengan hasil uji neurologi yang memburuk
4.    Penyebab kematian adalah komplikasi dari demensia, penyakit kardiovaskular dan berbagai lagi faktor seperti keganasan.



F02 DEMENSIA PADA PENYAKIT LAIN YDK
F02.0 Demensia pada Penyakit Pick
Pedoman Diagnostik
·         Adanya gejala demensia tang progresif
·         Gambaran neuropatologis berupa atrofi selektif dari lobus frontalis yang menonjol, di sertai euforia, emosi tumpul, dan perilaku sosial yang kasar, disinhibisi, dan apatis atau gelisah.
·         Manifestasi gangguan perilaku pada umumnya mendahului gangguan daya ingat.
Diagnosis Banding :
-            Demensia pada penyakit Alzheimer (F00)
-            Demensia vaskular (F01)
-            Demensia akibat penyakit lain (F02.8)
F02.1 Demensia pada Penyakit Creutzfeldt-jakob
Pedoman Diagnostik
·           Trias yang sangat mengarah pada diagnosis penyakit ini :
-       Demesnsia yang progresif merusak
-       Penyakit piramidal dan ekstrapiremidal dengan mioklonus
-       Elektroensefalogram yang has (trifasik)
F02.2 Demensia pada penyakit Huntington
Pedoman diagnostik
·           Ada kaitan antara gangguan gerakan koreiform (Choreiform), demensia, dan riwayat keluarga dengan penyakit Huntington.
·           Gerakan koreiform yang involunter, terutama pada wajah, tangan, dan bahu, atau cara berjalan yang khas, merupakan manifestasi dini dari gangguan ini. Gejala ini biasanya mendahului gejala demensia, dan jarang sekali gejala dini tersebut tak muncul sampai demensia menjadi sangat lanjut.
·           Gejala demensia di tandai dengan gangguan fungsi lobus frontalis pada tahap dini, dengan daya ingat relatif masih terpelihara, sampai saat selanjutnya.


F02.3 Demensia pada penyakit Parkinson
·         Demensia yang berkembang pada seorang dengan penyakit Parkinson yang sudah parah, tidak ada gambaran klinis khusus yang dapat di tamplkan.
F02.3 Demensia pada penyakit HIV (Human Immunodeficiency Virus )
·         Demensia yang berkembang pada seorang dengan penyakit HIV, tidak di temukannya penyakit atau kondisi lain yang bersamaan selain infeksi HIV itu.
F02.8 Demensia pada penyakit Lain YDT YDK
·         Demesia yang terjadi sebagai manifestasi atau konsekuensi beberapa macam kondisi somatik daan serebral lainnya.

F03      Demensia YTT ( yang tidak tergolongkan )
·         Kategori ini digunakan bila kriteria umum untuk diagnosis demensia terpenuhi, tetapi tidak mungkin diidentifikasi pada salah satu tipe tertentu. ( F 00.0 – F 02.9 )

F04      Sindrom Amnesik Organik Bukan akibat Alkohol dan Zat Psikoaktif  lainnya
Pedoman Diagnostik
·         Adanya hendaya ingat, berupa berkurangnya daya ingat jangka pendek ( lemahnya kemampuan belajar materi baru ); amnesia antegrad dan integrad dan kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan pengalaman telah lalu dalam urutan terbalik menurut kejadianya.
·         Riwayat atau bukti nyata adanya cedera, atau penyakit pada otak (terutama bila mengenai strugtur ensefalon dan temporal medial secara bilateral).
·         Tidak berkurangnya daya ingat segera. (immediete recall). Misalnya diuji untuk mengingat  deret angka, tidak adanya gangguan perhatian (attention) dan kesadaran (conciousness) dan tidak adanya intelektual secara umum.
Diagnosis banding
-          -Sindrom organic lain dengan hendaya daya ingat yang menonjol  (F00-F03,F05)
-          -Amnesia disosiatif (F44.0)
-          -Hendaya daya ingat akibt Gangguan Depresif (F30-F39)
-          -Berpura-pura (malingering) dengan menampilkan keluhan hilangnya daya ingat (Z76.5)
-          Sindrom amnestik akibat alcohol (korsakov) (F10.6)

F05 DELIRIUM, BUKAN AKIBAT ALKOHOL DAN ZAT PSIKOAKTIF LAINNYA
Pedoman diagnostik
·         Gangguan kesadaran dan perhatian :
-          Dari taraf kesdaran berkabut sampai dengan koma;
-          Menurunnnya kemampuan untuk mengarahkan, memusatkan, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian.
·         Gangguan kognitif secara umum :
-          Distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi- seringkali visual;
-          Rendahnya daya pikir dan pengertian abstrak, dengan tanpa atau waham yang bersifat sementara, tetai sangat khas terdapat inkoherensi yang ringan.
-          Rendahnya daya ingat segera dan janagka pendek, namun daya ingat jangka panjang relatif masih utuh
-          Disorientasi waktu, pada kasus yang berat, terdapat juga disorientasi tempat dan orang.
·         Gangguan psikomotor :
-          Hipo- atau hiper-aktifivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak terduga dari satu ke yang lain;
-          Waktu bereaksi yan lebih panjang.
-          Arus pembicaraan yang bertambahatau berkurang.
-          Reaksi terperanjat meningkat.
·         Gangguan siklus tidur-bangun :
-          Insomnia atau, pada kasus yang bera, tidak dapat tidur sama sekali atau terbaliknya siklus tidur-bangun; mengantuk pada siang hari.
-          Gejala yang memburuk pada malam hari.
-          Mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk, yang dapat berlanjut menjadi halusinasi setelah bangun tidur.
·         Gangguan emosional :
-          Misalnya depresi, anxietas atau takut, lekas marah, euforia, apatis atau rasa kehilangan akal.
·         Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang timbul sepanjang hari, dan keadaan itu berlangsung kurang dari 6 bulan.

Diagnosa banding :
-          Sindrom organik lainnya, Demensia (F00-F03)
-          Gangguan Psikotik dan sementara (F23)
-          Skizefronia dalam keadaan akut (F20)
-          Gangguan Afektif + “ confusional features” (F30-F39)
-          Delirium akibat Alkohol/ Zat Psikoaktif Lain (F1x.4) (F1X.03)
F05.0 Delirium, Tak Bertumpang-Tindih Dengan Demensia 
·         Delirium yang tidak bertumpang tindi dengan demensia yang sudah ada sebelumnya.
F05.1 Delirium, Bertumpang-Tindih Dengan Demensia 
·         Kondisi yang memenuhi kriteria delirium diatas tetapi terjadi pada saat sudah ada demensia.
F05.8 Delirium Lainnya.
F05.9 Delirium YTT

F06      GANGGUAN MENTAL LAINNYA AKIBAT KERUSAKAN  dan DISFUNGSI OTAK dan PENYAKIT FISIK
Pedoman Diagnostik
·         Adanya penyakit, kerusakan atau disfungsi otak, atau penyakit fisik sistemik yang diketahui berhubungan dengan salah satu sindrom mental yang tercantum;
·         Adanya hubungan waktu (dalam beberapa minggu atau bulan) antara perkembangan penyakit yang mendasari dengan timbulnya sindrom mental;
·         Kesembuhan dari gangguan mental setelah perbaikan atau dihilangkanya penyebab yang mendasarinya;
·         Tidak adanya bukti yang mengarah pada penyebab alternatif dari sindrom mental ini (seperti pengaruh yang kuat dari riwayat keluarga atau pengaruh stres sebagai pencetus).
F06.0 Halusinosis Organik
Pedoman Diagnostik
·         Kriteria umum tersebut diatas (F06)
·         Adanya halusinasi dalam segala bentuk (biasanya visual atau auditorik) , yang menetap atau berulang;
·         Kesadaran yang jernih (tidak berkabut)
·         Tidak ada penurunan fungsi intelek yang bermakna
·         Tidak ada gangguan afektif yang menonjol
·         Tidak jelas adanya waham (sering kali “insight” masih utuh)
Diagnosis Banding :  - Halusinosis alkoholik (F10.52)
                                    - Skizofrenia (F20.-)
F06.1 Gangguan Katatonik Organik
Pedoman Diagnosik
·         Kriteria tersebut diatas (F06)
·         Disertai salah satu dibawah ini :
·         (a) stupor (berkurang atau hilang sama sekali gerakan spontan dengan mutisme parsial         atau total, negativisme, dan posisi tubuh yang kaku);
(b) gaduh gelisah (hipermotilitas yang kasar dengan atau tanpa kecenderungan untuk             menyerang);
(c) kedua-duanya (silih berganti secara cepat dan tak terduga dari hipo- ke hiper-    aktivitas)

Diagnosis Banding :  -Skizofrenia katatonik (F20.2)
                                    -Stupor disosiatif (F44.2)
                                    -Stupor YTT (R40.1)

F06.2 Gangguan Waham Organik (Lir-Skizofrenia)
Pedoman Diagnostik
·         Kriteria umum tersebut diatas (F06)
·         Disertai : Waham yang menetap atau berulang ( waham kejar, tubuh yang berubah, cemburu, penyakit, atau kematian dirinya atau orang lain);
·         Halusinasi, gangguan proses pikir, atau fenomena katatonik tersendiri, mungkin ada;
·         Kesadaran dan daya ingat tidak terganggu;
Diagnosis Banding :  -Gangguan psikotik akut dan sementara (F23)
                                    -Gangguan psikotik akibat obat (F1X.5)
                                    -Gangguan waham yang menetap (F22.-)
                                    -Skizofrenia (F20.-)
F06.3 Gangguan Afektif Organik
Pedoman Diagnostik
·         Kriteria umum tersebut diatas (F06)
·         Disertai kondisi yang sesuai dengan salah satu diagnosis dari gangguan yang tercantum dalam F30-F33
Diagnosis Banding :  -Gangguan Afektif Non-organik atau YTT (F30-F39)
                                    -Gangguan Afektif Hemisferik Kanan. (F07.8)
F06.30 Gangguan Mekanik Organik
F06.31 Gangguan Bipolar Organik
F06.32 Gangguan Depresif Organik
F06.33 Gangguan Afektif Organik Campuran
F06.4 Gangguan Cemas (Anxietas) Organik
·         Gangguan yang ditandai oleh gambaran utama dari Gangguan Cemas Menyeluruh (F41.1), Gangguan Panik (F41.0), atau campuran dari keduanya , tetapi timbul sebagai akibat gangguan organik yang dapat menyebabkan disfungsi otak (seperti epilepsi lobus temporalis, tirotoksikosis, atau feokromositoma).
F06.5 Gangguan Disosiatif Organik
·         Gangguan yang memenuhi persyaratan untuk salah satu gangguan dalam Gangguan Disosiatif (F44.-) dan memenuhi kriteria umum untuk penyebab organik.
F06.6 Gangguan Astenik Organik
·         Gangguan yang ditandai oleh labilitas atau tidak terkendalinya emosi yang nyata dan menetap, kelelahan, atau berbagai sensasi fisik yang tak nyaman (seperti pusing) dan nyeri, sebagai akibat adanya gangguan organik (sering terjadi dalam hubungan dengan penyakit serebrovaskuler atau hipertensi).
F06.7 Gangguan Kognitif Ringan
·         Gambaran utamanya adalah turunnya penampilan kognitif (termasuk hendaya daya ingat, daya belajar, sulit berkonsentrasi), tidak sampai memenuhi diagnosis demensia (F00-F03), sindrom amnestik organik (F04), atau delirium (F05.-).
·         Gangguan ini dapat mendahului, menyertai, atau mengikuti berbagai macam gangguan infeksi dan gangguan fisik, baik serebral maupun sistemik.
F06.8 Gangguan Mental Lain YDT Akibat Kerusakan dan Disfungsi Otak dan Penyakit Fisik
·         Contohnya ialah keadaan suasana perasaan (mood) abnormal yang terjadi ketika dalam pengobatan dengan steroida atau obat antidepresi
·         Termasuk : psikopsis epileptik YTT
F06.9 Gangguan Mental YTT Akibat Kerusakan dan Disfungsi Otak dan Penyakit Fisik


·          












DAFTAR PUSTAKA
Maslim,Rusdi.2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.Jakarta. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya
Mardjono, M., Sidharta, P. (2006). Neurologi Klinis Dasar. PT Dian Rakyat. Jakarta. Hal 211-214
Brust, J.C.M. (2008). Current Diagnosis & Treatment: Neurology. McGraw-Hill Companies, Inc. Singapore.
Anonymous. (2010). Demensia. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/24799498/DEMENSIA
Alagiakrishnan, K., Masaki, K. (2010 Apr 2). eMedicine from WebMD: Vascular Dementia. Diunduh dari  http://emedicine.medscape.com/article/292105-overview
Dorsey, J., White, M., Barston, S. (2007 December). Vascular Dementia: Signs, Symptoms, Treatment, and Support. Diunduh dari http://helpguide.org/elder/vascular_dementia.htm
Anonymous. (2007). Medscape from WebMD today: Clinical Differences Among Four Common Dementia Syndromes: Vascular Dementia. Diunduh dari   http://www.medscape.com/viewarticle/564627_3
Dewanto, G. dkk (2009). Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal 170-184
Walker, H.K. dkk, (1990). Clinical Methods: The History, Physical and Laboratory Examinations, Third Edition. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/br.fcgi?book=cm&part=A1506
Shiel, W.C. (2009 November). RxList the Internet Drug Index: Dementia. Diunduh dari http://www.rxlist.com/dementia_slideshow/article.htm   Reviewed by 
Roman, G.C. dkk. (1993). The Internet Stroke Center. Ninds-Airen Diagnostic Criteria. 43 (2): 250-60. Diunduh dari http://www.strokecenter.org/trials/scales/ninds-airen.html


F07        Gangguan Kepribadian dan Perilaku akibat Penyakit, Kerusakan dan Disfungsi Otak
Ini merupakan perubahan kepribadian dan perilaku yang bisa merupakan sisa atau bersamaan dengan gangguan yangsedang berjangkit dari penyakit,kerusakan atau disfungsi otak.
Gangguan ini ditandai oleh perubahanyang bermakna darikebiasaan pola perilaku sebelum sakit. Biasanya terlibat juga gangguan dalam pengungkapan emosi, pengendalian impuls dan sebagainya.
Fungsi kognitif mungkin juga terganggu terutama dalam hal perencanaan dan antisipasi. Gambaran klinisnya tergantung pada sifat dan lokalisasi proses psikologiknya. Aspek neuro psikiatrik gangguan kepribadian organik :
1.      Trauma Kapitis
Gejala gangguan kepribadiannya : curiga, perilaku kacau, suka membantah, mengurung diri, cemas.
2.      Sindrom aLobus Frontalis
Gejala gangguan kepribadiannya : judgment turun, afeklabil, sopan santun turun, tak mau mengerti pada nasehat orang, hilangnya tata kramas osial, keras kepala, apatis.
3.      Sindroma Orbito Frontali
Gejala gangguan kepribadian nya: perilaku impulsif, disinhibisi, hiperaktif ,perhatian yang mudah teralih,mood yang labil.
4.      Cortex Fronto Dorsolateralis
Gejala gangguan kepribadiannya : gerakannya melambat, apatis, perseverasi
5.      Cerebro Vascular
Gejala gangguan kepribadiannya : iritabilitas, apatis, mood yang labil, gelisah, emosi, ketakutan yang tiba - tiba, cemas, putus asa.

Berdasarkan gejala – gejala yang menonjol maka gangguan kepribadian organik dibagi menjadi :
1.      Labile type : afek yanglabil
2.      Disinhibited type : kontrol impulsyang kurang
3.      Aggressive type : tingkah laku agresif
4.      Apathetic type : apatis yang nyata
5.      Paranoid type : ide - ide paranoid
6.      Other type : bila simtom yang dominan bukan salah satu di atas
7.      Combined type : bila dijumpai lebih dari satu gejala predominan
8.      Unspescified type : tak tergolongkan
Disamping ada nya bukti penyakitorganik yang mendasarinya ,mak auntuk diagnosis pasti haruslah ada dua atau lebih dari hal berikut ini:
1.      Menurun nya kemampuan untuk tekun pada aktivitas yang bertujuan, terutama yang memakan waktu yang lebih lamadan pemuasan yang tidak segera.
2.      Perilaku emosional berubah, ditandai dengan emosi yang labil, dangkal dan kegembiraan yang tidak beralasan, mudah berubah menjadi iritabilitas atau cetusan marah dan agresiyang sejenak atau cetusan marah  dan agresi yangsejenak. Pada beberapa kasus apatis mungkin lebih menonjol.
3.      Perubahan bermakna pada kecepatan dan arus pembicaraan dengan gambaran seperti sirkumstansialitas dan bicara banyak.
4.      Pengungkapan kebutuhan dan impuls tanpa pertimbangan akan konsekuensi atau kelaziman sosial (mungkin pasien terlibat dalam tindakan dissosial, seperti: mencuri, bertindak melampaui batas kesopanan seksual, atau  makan secara lahap, atau tidak sopan, kurang memperhatikan kebersihan diri).
5.      Gangguan kognitif dalam bentuk curiga atau paranoid dan atau preokupasi berlebihan pada satutema yang biasanya bersifat abstrak (seperti tentang “benar” atau  “salah” terhadap suatu hal).
6.      Perilaku seksual yang berubah (misalnya: hiposeksualitas atau perubahan secara seksual).
Diagnosis Banding :
-   Perubahan kepribadian yang berlangsung lama Setelah Mengalami Katastorfa (F62.0), Akibat Penyakit Psikiatrik (F62.1)
-   Sindrom Pasca-konstusio (F07.2)
-   Sindrom Pasca-ensefalitis ( F07.1)
-   Gangguan kepribadian khas (F60.-)

F07.0     Gangguan Kepribadian Organik
Definisi
Adalah gangguan mental yang mempunyai dasar organik yang patologis yang dapat diidentifikasi misal tumor otak, penyakit serebrovaskular, intoksikasi obat - obatan. Ada 3 kelompok gangguan ini yang gejala utamanya adalah gangguan kognitif berupa gangguan daya ingat, gangguan berbahasa dan gangguan perhatian.
Macam-Macam Gangguan Mental Organik
1.      Sindrom Sintom Organik
Sindrom sintom organik adalah kumpulan simtom yang cenderung bergabung menjadi satu. Menurut Barlow & Durand 1995. Dalam buku Fitri Faizah. Ada empat subkategori dari sindrom sintom organik:
-   Delirium dan Demensia 
Delirium biasanya ditandai dengan disorganisasi fungsi-fungsi mental yang tinggi seperti berfikir yang timbul dan berlangsung secara cepat, penyebabnya adalah gangguan yang meluas pada metabolisme otak. Penanganan pertama pada individu yang mengalami gangguan delirium adalah dengan mengecek masalah medis yang selama ini dialami oleh individu dan hal-hal yang mungkin menyebabkan munculnya gangguan tersebut.
Dimensia atau kepanikan adalah kemunduran fungsi intelek yang terjadi sesudah otak berkembang secara normal-matang, kemampuan intelektual biasanya memburuk secara bertahap dan sulit untuk diperbaiki. Penyebab demensia biasanya proses degeneratif seperti yang lazim menimpa kaum lansia, stroke, infeksi-infeksi tertentu seperti sipilis atau HIV, tumor otak, cedera otak. Penanganan bagi penderita gangguan ini biasanya lebih diarahkan pada usaha untuk menghentikan kerusakan otak yang lebih parah dan menyeluruh serta usaha untuk menolong individu dan keluarga yang menangani individu demensia untuk beradaptasi untuk beradaptasi dengan gangguan tersebut.
-   Sindrom Amnestik dan Halusinosis
Sindrom amnestik adalah kehilangan kemampuan mengingat kejadian yang baru berlangsung beberapa menit yang silam. Halusionis adalah gangguan berupa halusinasi yang disebabkan oleh oleh gangguan tertentu pada otak. Kasus ini banyak ditemukan di kalangan para pecandu alkohol.
-   Sindrom Delusi Organik dan Sindrom Afektif Organik
Sindrom Delusi Organik adalah gangguan berupa delusi yang kaitannya dengan gangguan pada otak. Penyebabnya bisa karena infeksi, keracunan obat-obatan tertentu, cedera, atau tumor otak.
Sindrom afektif organik adalah gangguan berupa keadaan mania atau depresi sehubungan dengan gangguan pada otak. Penyebabnya bisa cedera otak, tumor otak, tumor pada kelenjar hormon.
-   Sindrom Kepribadian Organik
Sindrom kepribadian organik adalah perubahan gaya atau sifat-sifat kepribadian mengikuti terjadinya kerusakan pada otak. Perubahan ini biasanya menuju kearah negatif, berupa gangguan dalam penilaian sosial, menurutnya kontrol atas emosi dan dorongan, menurutnya kepedulian akibat dari perbuatannya sendiri, dan ketidakmampuan aktivitas yang bertujuan.
2.      Paresis Umum (General Paresis)
Paresis umum merupakan salah satu dari beberapa bentuk serangan terhadap sistem saraf pusat oleh organisme yang menyebabkan infeksi sipilis.
3.      Demensia Senil dan Prasenil
Demensia senil adalah gangguan mental yang menyertai degenarisasi otak dan lazim menimpa kaum lansia. Demensia prasenil adalah gejala serupa manum yang berlangsung pada usia yang lebih muda.
4.      Arteriosklerosis Serebal
Aeteriosklerosis serebal adalah pengerasan pembulu-pembulu darah pada otak, yang berakibat peredaran darah tidak lancar, atau bahkan terhambat sama sekali.

F07.1     Sindrom Pasca-ensefalitia
Ensefalitis merupakan kegawat daruratan dalam bidang neurologi. Pada sebagian kasus, tanda-tanda neurologis fokal maupun kejang fokal dapat membedakan ensefalitis dari ensefalopati. Ensefalitis yang terjadi umumnya disebabkan oleh virus antara lain Herpes Simplex Encephalitis (HSE).
Diagnosis ensefalitis akut dicurigai pada pasien dengan demam dan terdapat perubahan kesadaran dengan tanda-tanda disfungsi serebral difus. Secara umum, infeksi pada susunan saraf pusat merupakan penyebab tersering dari ensefalitis akut. Herpes Simplex Virus (HSV), Varicella Zoster Virus (VZV), Epstein-Barr Virus (EBV), mumps, measles, dan enterovirus merupakan penyebab sebagian kasus ensefalitis viral akut pada imunokompeten.. Pada penelitian disebutkan bahwa VZV merupakan virus tersering menyebabkan ensefalitis, seperti meningitis dan mielitis, diikuti oleh HSV dan enterovirus (masing-masing 11%), dan virus Influenza A (7%). Tuberkulosis, penyakit Ricketts, dan tripanosomiasis Afrika merupakan penyebab penting non-viral pada meningoensefalitis akut, namun tidak akan dibahas dalam artikel ini. Ensefalomialitis diseminata akut maupun bentuk yang lebih parah, leukoensefalitis hemoragik akut mewakili penyakit inflamasi sistem saraf pusat. Disfungsi otak difus akibat proses non-inflamasi merupakan nama lain dari ensefalopati, misalnya disfungsi karena metabolik dan intoksikasi.
Pada ensefalitis, derajat peradangan leptomeningeal bervariasi dan gejala klinis memperlihatkan kelainan fokal dan difus serebral dengan demam, sakit kepala, dan tanda meningismus. Derajat penurunan kesadaran menunjukkan keparahan ensefalitis akut dan bervariasi sampai koma. Kejang, fokal atau umum sering ditemukan. Berbeda dengan meningitis viral aseptik, gejala neuropsikiatri seperti anomia, halusinasi, psikosis, perubahan kepribadiaan dan agitasi.
Ensefalitis akut merupakan kegawatan neurologis yang harus segera di terapi berdasarkan diagnosis klinis yang ditegakkan (lihat tabel 1).
Selain itu, VZV / EBV, mumps, measles(campak) dan enterovirus juga dapat menyebabkan ensefalitis terutama bila imunokompeten. 
·         Diagnosis Ensefalitis :
Secara umum diagnosis ensefalitis tegak berdasarkan pada anamnesis (allo/auto), pemeriksaan fisik neurologis dan beberapa pemeriksaan penunjang. Seluruh hasil yang diperoleh akan menegakkan diagnosis pasti untuk menuju pada pengobatan yang efisien dan efektif. Tetapi harus diperhatikan bahwa pengobatan infeksi ini tetap berdasarkan klinis dan epidemiologis, dalam arti segera mengobati untuk memperoleh prognosis baik. 
·         Anamnesia
Alloanamnesis sangat berperan karena biasanya penderita datang ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran. Faktor-faktor seperti geografi dan musim (hujan) dapat menjadi petunjuk penting kejadian Japanese Encephalitis di daerah endemik. Oleh karena hewan dapat menjadi reservoir utama penyebab ensefalitis maka harus diingat jika terdapat bersamaan dengan penyakit- penyakit diternak.
·         Riwayat
Riwayat lengkap diperlu karena umumnya pasien ensefalitis sering datang dengan penurunan kesadaran, disorientasi, delirium, atau bahkan koma. Baik faktor musim dan geografi menjadi petunjuk penting. Japanese encephalitis yang endemik di negara-negara Asia dan umumnya terjadi pada musim hujan. Penyakit hewan peternakan menjadi risiko ensefalitis di komunitas karena hewan merupakan reservoir virus penyebab ensefalitis pada manusia. Pada tahun 1999 terjadi wabah virus West Nile di New York, didahului dengan kematian burung-burung kota akibat ensefalitis. 4 minggu setelah wabah ensefalitis pada manusia, ditemukan flavivirus dari spesimen burung Flaminggo chilean di kebun binatang setempat sebagai penyebab ensefalitis virus West Nile pada manusia dan burung. Infeksi akibat virus Nipah dan beberapa virus influenza penyebab ensefalitis diduga terjadi pada area geografi tertentu.
Riwayat bepergian ke luar negeri, gigitan serangga dan kemungkinan kontak dengan individu yang menderita penyakit infeksi. Keadaan kesehatan juga merupakan faktor yang mempengaruhi karena pasien-pasien dengan imunosupresan lebih rentan terhadap ensefalitis infektif tertentu, misalnya listeriosis, cryptococcus dan cytomegalovirus. Ensefalitis cytomegalovirus sering terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV, khususnya neonatus. Onset dan progresifitas penyakit virus juga merupakan petunjuk etiologi, misalnya tipe bifasik dari infeksi enterovirus.
       Komplikasi neurologis demam berdarah viral sering disebabkan oleh meningitis aseptik dan perdarahan intraserebral. Rabies merupakan contoh ensefalitis hewan yang memiliki gejala klinis awal dari Human African Trypanosomiasis (irritabilitas, gangguan tidur dan perubahan kepribadian). Sulit dibedakan dengan ensefalitis viral dan sering juga dihubungkan dengan hiperestesia di jaringan lunak, khususnya di Eropa. Selain itu riwayat pekerjaan, misalnya pekerja hutan yang menghuni geografi tertentu. Sering mengalami Lyme disease atau Kyanasur Forst Disease.
·         Gejala Klinis
Kemerahan pada kulit sering disebabkan oleh demam Rickettsia, Varisela Zoster, Colorado Tick Fever. Parotitis dan Erythema nodosum mempunyai hubungan dengan infeksi granulomatous (tuberkolosis dan histoplasmosis). Selain itu lesi pada membran mukosa sering terjadi pada infeksi virus herpes sedangkan infeksi saluran pernapasan merupakan penyebab.
·         Pemeriksaan Neurologis
Gejala neurologis pada ensefalitis akut tidak menggambarkan penyebab meskipun virus neurotropik tertentu dapat mengenai area tertentu pada sistem saraf pusat. 
Kelainan fokal yang ditemukan adalah hemiparesis, afasia, ataksia, gejala piramidal (refleks tendon dan respon plantar ekstensor), defisit saraf kranial (okulomotor dan fasial), gerakan-gerakan involunter (nioklonus dan tremor), dan kejang parsial. Perkembangan gejala klinis bergantung jenis virus, usia pasien dan status imun pasien. Umumnya pasien yang terlalu muda atau terlalu tua memiliki manifestasi klinis yang serius. Gejala frontotemporal dengan afasia, perubahan kepribadian dan kejang fokal merupakan karakteristik dari HSE. Gejala otonom atau disfungsi hipotalamus dapat terlihat pada ensefalitis akut dengan manifestasi hilangnya kontrol vasomotor dan suhu (disotonomia), diabetes insipidus dan SIADH.
·         Pemeriksaan Penunjang
a.       Umum
Limfositosis relatif pada darah tepi umumnya terjadi pada ensefalitis akut dan bila ditemukan leukopenia/trombositopenia cenderung pada penyakit Ricketts dan demam berdarah viral. Pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik pada malaria serebral perlu pemeriksaan darah tepi tebal dan tipis. Monosit darah tepi dapat menunjukkan inklusii sitoplasmik karakteristik pada pasien Human Monocytic Ehrlichiosis, 10% dari antaranya akan berkembang menjuadi sindrom meningoensefalitik. 
b.      EEG
EEG sangat dianjurkan pada setiap kasus ensefalitis akut karena dapat membedakan ensefalitis fokal dan ensefalopati. Gambaran EEG menunjukkan bentuk gelombang lambat bihemisfer dan difus. EEG abnormal bervariasi pada HSE, meskipun awalnya perubahan tersebut bersifat non spesifik (lambat). Pada fase akhir terdapat setengah dari kasus yang menunjukkan perubahan karakteristik (epileptiform lateralisasi dengan periode 2-3 Hz yang disebabkan lesi di lobus temporal).
c.       Pencitraan
Pencitraan otak saat ini dilakukan pada pasien yang dicurigai ensefalitis akut, dan biasanya mendahului pemeriksaan lain. MRI merupakan pencitraan pilihan, meskipun CT skening juga cukup berarti. Perubahan yang dilihat melalui pencitraan menjadi petunjuk etiologi infektif spesifik, sebagai contoh perubahan frontotemporal pada HSE dan pendarahan talamus pada Japanese Encephalitis. Pendarahan kecil dan lesi patognomonik di sistem limbik pada HSE lebih baik dilihat dengan MRI daripada CT. Pelebaran girus dan meningeal setelah pemberian Gd-DTPA pernah dilaporkan pada HSE. Pada Eastearn Equine Encephalitis terdapat lesi diseminata di batang otak dan ganglia basalis. 
d.      Pencitraan Fungsional
Hiperperfusi bitemporal pada studi aliran darah otak dengan menggunakan technetium labeled hexamethylpropyleneamineoxime (99m TC-HmPAO) dan single photon emission computed tomografi (SPECT) dapat mendukung diagnosis HSE. Hiperperfusi lobus temporal dengan SPECT selebral menggunakan 99m TC-HmPAO merupakan petanda sensitif dari HSE dan hal ini tetap bertahan saat gejala klinis telah membaik pemeriksaan ini dapat dipertimbangkan jika tersedia fasilitas khususnya pada pasien dengan gejala yang relatif sub akut karena MRI otak pada ensefalitis limbik paraneoplastik dapat menyerupai HSE. Sebuah studi awal tentang localized 1H1 –Proton magnetic resonance spectroscopy cukup menjanjikan dalam menilai hilangnya neuron pada HSE.
F9. Gangguan mental organik atau simtomatik YTT (Yang Tidak Tergolongkan atau (unspecified) )

Menurut Maramis, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut:
1.      Demensia dan Delirium
2.      Sindrom otak organik karena rudapaksa kepala.
3.      Aterosklerosis otak
4.      Demensia senilis
5.      Demensia presenili.
6.      Demensia paralitika
7.      Sindrom otak organik karena epilepsi
8.      Sindrom otak organik karena defisiensi vitamin, gangguan metabolisme dan intoksikasi
9.      Sindrom otak organik karena tumor intra kranial

Menurut DSM IV, klasifikasi gangguan mental organik sebagai berikut:
1. Delirium
1.1. Delirium karena kondisi medis umum.
1.2. Delirium akibat zat.
1.3. Delirium yang tidak ditentukan (YTT)
2. Demensia
2.1. Demensia tipe Alzheimer
2.2. Demensia vaskular
2.3. Demensia karena kondisi umum
2.3.1. Demensia karena penyakit HIV
2.3.2. Demensia karena penyakit trauma kepala
2.3.3. Demensia karena penyakit Parkinson
2.3.4. Demensia karena penyakit Huntington
2.3.5. Demensia karena penyakit Pick
2.3.6. Demensia karena penyakit Creutzfeldt – Jakob­
2.4. Demensia menetap akibat zat
2.5. Demensia karena penyebab multipel
2.6. Demensia yang tidak ditentukan (YTT)
3. Gangguan amnestik
3.1.Gangguan amnestik karena kondisi medis umum.
3.2 Gangguan amnestik menetap akibat zat
3.3 Gangguan amnestik yang tidak ditentukan ( YTT )
4. Gangguan kognitif yang tidak ditentukan


PEMBAHASAN
1.      Delirium
A.    Pengertian
Delirium adalah suatu sindrom dengan gejala pokok adanya gangguan kesadaran yang biasanya tampak dalam bentuk hambatan pada fungsi kognitif.
B.     Etiologi
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai pola gejala serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pasien. Penyebab utama dapat berasal dari penyakit susunan saraf pusat seperti ( sebagai contoh epilepsi ), penyakit sistemik, dan intoksikasi atau reaksi putus obat maupun zat toksik. Penyebab delirium terbanyak terletak di luar sistem pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Neurotransmiter yang dianggap berperan adalah asetilkolin, serotonin, serta glutamat Area yang terutama terkena adalah formasio retikularis.
Penyebab Delirium
-          Penyakit intracranial
1.      Epilepsi atau keadaan pasca kejang
2.      Trauma otak (terutama gegar otak)
3.      Infeksi (meningitis.ensetalitis)
4.      Neoplasma
5.      Gangguan vascular
-          Penyebab ekstrakranial
1.      Obat-obatan (di telan atau putus)
Obat antikolinergik, Antikonvulsan, Obat antihipertensi, Obat antiparkinson. Obat antipsikotik, Cimetidine, Klonidine. Disulfiram, Insulin, Opiat, Fensiklidine, Fenitoin, Ranitidin, Sedatif(termasuk alkohol) dan hipnotik, Steroid.
2.      Racun
Karbon monoksida, Logam berat dan racun industri lain.
3.      Disfungsi endokrin (hipofungsi atau hiperfungsi)
Hipofisis, Pankreas, Adrenal, Paratiroid, tiroid
4.      Penyakit organ nonendokrin
Hati (ensefalopati hepatik), Ginjal dan saluran kemih (ensefalopati uremik), Paru-paru (narkosis karbon dioksida, hipoksia), Sistem kardiovaskular (gagal jantung, aritmia, hipotensi).
5.      Penyakit defisiensi (defisiensi tiamin, asam nikotinik, B12 atau asain folat)
6.      Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis.
7.      Ketidakseimbangan elektrolit dengan penvebab apapun
8.      Keadaan pasca operatif
9.      Trauma (kepala atau seluruh tubuh)
10.  Karbohidrat: hipoglikemi.
C.    Faktor predisposisi terjadinya delirium, antara lain:
·         Usia
·         Kerusakan otak
·         Riwayatdelirium
·         Ketergantungan alkohol
·         Diabetes
·         Kanker
·         Gangguan panca indera
·         Malnutrisi.3
D.    Diagnosis
Kriteria Diagiostik untuk Delirium Karena Kondisi Medis Umum:
1.      Gangguan kesadaran (yaitu, penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan) dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, atau mengalihkan perhatian.
2.      Gangguan timbul setelah suatu periode waktu yang singkat (biasanya beberapa jam sampai hari dan cenderung berfluktuasi selama perjalanan hari.
3.      Perubahan kognisi (seperti defisit daya ingat disorientasi, gangguan bahasa) atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak lebih baik diterangkan demensia yang telah ada sebelumnya, yang telah ditegakkan, atau yang sedang timbul.
4.      Terdapat bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan Iaboratorium bahwa gangguan adalah disebabkan oleh akibat fisiologis langsung dan kondisi medis umum.
Catatan penulisan : Masukkan nama kondisi medis umum dalam Aksis I, misalnya, delirium karena ensefalopati hepatik, juga tuliskan kondisi medis umum pada Aksis III.

E.     Pemeriksaan Laboratorium
1.      Pemeriksaan standar
a. Kimia darah (termasuk elektrolit, indeks ginjal dan hati, dan glukosa)
b. Hitung darah lengkap (CBC) dengan defensial sel darah putih
c. Tes fungsi tiroid
d. Tes serologis untuk sifilis
e. Tes antibodi HIV (human Immunodeficiency virus) f Urinalisa
g. Elektrokardiogram (EKG)
h. Elektroensefalogram (EEG)
i. Sinar X dada
j. Skrining obat dalam darah dan urin
‘I’es tambahan jika diindikasikan :
1.      Kultur darah, urin, dan cairan serebrospinalis
2.      Konsentrasi B 12, asam folat
3.      Pencitraan otak dengan tomografi komputer (CT) atau pencitraan resonansi magnetik (MRI)
4.      Pungsi lumbal dan pemetiksaan cairan serebrospinalis
F.     Gambaran klinis
1.      Kesadaran (Arousal)
Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien dengan delirium, satu pola ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan dengan peningkatan kesiagaan. Pola lain ditandai oleh penurunan kesiagaan. Pasien dengan delirium yang berhubungan dengan putus zat seringkali mempunyai delirium hiperaktif, yang juga dapat disertai dengan tanda otonomik, seperti kemerahan kulit, pucat, berkeringat, takikardia, pupil berdilatasi, mual, muntah, dan hipertermia. Pasien dengan gejala hipoaktif kadang-kadang diklasifikasikan sebagai depresi, katatonik atau mengalami demensia.
2.      Orientasi
Orientasi terhadap waktu, tempat dan orang harus diuji pada seorang pasien dengan delirium. Orientasi terhadap waktu seringkali hilang bahkan pada kasus delirium yang ringan. Orientasi terhadap tempat dan kemampuan untuk mengenali orang lain (sebagai contohnya, dokter, anggota keluarga) mungkin juga terganggu pada kasus yang berat Pasien delirium jarang kehilangan orientasi terhadap dirinya sendiri.
3.      Bahasa dan Kognisi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai kelainan dalam bahasa. Kelainan dapat berupa bicara yang melantur, tidak relevan, atau membingungkan (inkoheren) dan gangguan kemampuan untuk mengerti pembicaraan Fungsi kognitif lainnya yang mungkin terganggu pada pasien delirium adalah fungsi ingatan dan kognitif umum Kemampuan untuk menyusun, mempertahankan dan mengingat kenangan mungkin terganggu, walaupun ingatan kenangan yang jauh mungkin dipertahankan. Disarnping penurunan perhatian, pasien mungkin mempunyai penurunan kognitif yang dramatis sebagai suatu gejala hipoaktif delirium yang karakteristik. Pasien delirium juga mempunyai gangguan kemampuan memecahkan masalah dan mungkin mempunyai waham yang tidak sistematik, kadang­ kadang paranoid.
4.      Persepsi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidak mampuan umum untuk membedakan stimuli sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi sekarang dengan pengalaman masa lalu mereka. Halusinasi relatif sering pada pasien delirium. Halusinasi paling sering adalah visual atau auditoris walaupun halusinasi dapat taktil atau olfaktoris. Ilusi visual dan auditoris adalah sering pada delirium.
5.      Suasana Perasaan
Pasien dengan delirium mempunyai kelainan dalam pengaturan suasana Gejala yang paling sering adalah kemarahan, kegusaran, dan rasa takut yang tidak beralasan. Kelainan suasana perasaan lain adalah apati, depresi, dan euforia.
6.      Gejala Penyerta  : Gangguan tidur-bangun
Tidur pada pasien delirium secara karakteristik adalah tergangga Paling sedikit mengantuk selama siang hari dan dapat ditemukan tidur sekejap di tempat tidurnya atau di ruang keluarga. Seringkali keseluruhan siklus tidur-bangun pasien dengan delirium semata ­mata terbalik. Pasien seringkali mengalami eksaserbasi gejala delirium tepat sebelum tidur, situasi klinis yang dikenal luas sebagai sundowning.
7.      Gejala neurologis
Gejala neurologis yang menyertai, termasuk disfagia, tremor, asteriksis, inkoordinasi, dan inkontinensia urin.
8.      Diagnosis Banding
a.       Demensia
b.      Psikosis atau Depresi

G.    Pengobatan
Tujuan utama adalah mengobati gangguan dasar yang menyebabkan delirium. Tujuan pengobatan yang penting lainnya adalah memberikan bantuan fisik, sensorik, dan lingkungan. Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis adalah psikosis dan insomnia Obat yang terpilih untuk psikosis adalah haloperidol (Haldol), suatu obat antipsikotik golongan butirofenon, dosis awal antara 2 – 10 mg IM, diulang dalam satu jam jika pasien tetap teragitasi, segera setelah pasien tenang, medikasi oral dalam cairan konsentrat atau bentuk tablet dapat dimulai, dosis oral +I,5 kali lebih tinggi dibandingkan dosis parenteral. Dosis harian efektif total haloperidol 5 – 50 mg untuk sebagian besar pasien delirium. Droperidol (Inapsine) adalah suatu butirofenon yang tersedia sebagai suatu formula intravena alternatif monitoring EKG sangat penting pada pengobatan ini. Insomnia diobati dengan golongan benzodiazepin dengan waktu paruh pendek, contohnva. hidroksizine (vistaril) dosis 25 – 100 mg.

H.    Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Onset delirium biasanya mendadak, gejala prodromal (kegelisahan dan ketakutan) dapat terjadi pada hari sebelum onset gejala yang jelas. Gejala delirium biasanya berlangsung selama faktor penyebab yang relevan ditemukan, walaupun delirium biasanya berlangsung kurang dari I minggu setelah menghilangnya faktor penyebab, gejala delirium menghilang dalam periode 3 – 7 hari, walaupun beberapa gejala mungkin memerlukan waktu 2 minggu untuk menghilang secara lengkap. Semakin lanjut usia pasien dan semakin lama pasien mengalami delirium, semakin lama waktu yang diperlukan bagi delirium untuk menghilang. Terjadinya delirium berhubungan dengan angka mortalitas yang tinggi pada tahun selanjutnya, terutama disebabkan oleb sifat serius dan kondisi medis penyerta.

2.      Demensia
A.    Pengertian
Demensia merupakan suatu gangguan mental organik yang biasanya diakibatkan oleh proses degeneratif yang progresif dan irreversible yang mengenai arus pikir. Demensia merupakan sindroma yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dipengaruhi pada demensia adalah inteligensia umum, belajar dan ingatan, bahasa, memecahkan masalah, orientasi, persepsi, perhatian, dan konsentrasi, pertimbangan, dan kemampuan sosial. Kepribadian pasien juga terpengaruh.

B.     Epidemiologi
Demensia sebenarnya adalah penyakit penuaan. Dan semua pasien demensia, 50 – 60% menderita demensia tipe Alzheimer yang merupakan ripe demensia yang paling sering. Kira-kira 5% dari semua orang yang mencapai usia 65 tahun menderita demensia tipe Alzhermer, dibandingkan 15 – 25% dan semua orang yang berusia 85 tahun atau lebih. Tipe demensia yang paling sering kedua adalah demensia vaskular yaitu demensia yang secara kausatif berhubungan dengan penyakit serebrovaskular, berkisar antara 15 – 30% dari semua kasus demensia, sering pada usia 60 – 70 tahun terutama pada laki-laki. Hipertensi merupakan faktor predisposisi terhadap penyakit demensia vaskular.
Penyebab demensia antara lain:
1.      Penyakit Alzheimer
2.      Demensia Vaskular
3.      Infeksi
4.      Gangguan nutrisional
5.      Gangguan metabolik
6.      Gangguan peradangan kronis
Penyebab yang lain yaitu:
1.      Obat dan toksin (termasuk demensia alkoholik kronis)
2.      Massa intrakranial : tumor, massa subdural, abses otak
3.      Anoksia
4.      Trauma (cedera kepala, demensia pugilistika (punch-drunk syndrome))
5.      Hidrosefalus tekanan normal
C.    Diagnosis
Kriteria Diagnostik untuk Demensia Tipe Alzheimer:
a.       Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan oleh baik
1.      Gangguan daya ingat (gangguan kemampuan untuk mempelajari informasi baru dan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya).
2.      Satu (atau lebih) gangguan kogntif berikut:
·         Afasia (gangguan bahasa)
·         Apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas motorik walaupun fungsi motorik adalah utuh)
·         Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentitikasi benda walaupun fungsi sensorik adalah utuh)
·          Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu, merencanakan, mengorganisasi, mengurutkan, dan abstrak)
b.      Defisit kognitif dalam kriteria al dan a2 masing-masing menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan suatu penurunan bermakna dari tingkat fungsi sebelumnya.
c.       Defisit tidak terjadi semata-mata hanya selama perjalanan suatu delirium dan menetap     melebihi lama yang lazim dari intoksikasi atau putus zat.
d.       Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium bahwa defisit secara etiologis berhubungan dengan efek menetap dari pemakaian zat (misalnya suatu obat yang disalahgunakan).

Kondisi akibat zat
Defisit tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan Aksis I lainnya (misalnya, gangguan depresif berat, skizofrenia)
Kode didasarkan pada tipe onset dan ciri yang menonjol:
1.      Dengan onset dini :           jika onset pada usia 65 tahun atau kurang
2.      Dengan delirium   :           jika delirium menumpang pada demensia
3.      Dengan waham     :           jika waham merupakan ciri yang menonjol
1.      Dengan suasana perasaan terdepresi : jika suasana perasaan terdepresi (termasuk gambaran yang memenuhi kriteria gejala lengkap untuk episode depresif berat) adalah ciri yang menonjol. Suatu diagnosis terpisah gangguan suasana perasaan karena kondisi medis umum tidak diberikan.
2.      Tanpa penyulit : jika tidak ada satupun diatas yang menonjol pada gambaran klinis sekarang
Sebutkan jika : Dengan gangguan perilaku. Catatan penulisan juga tuliskan penyakit Alzheimer pada aksis III.
Kriteria Diagnostik untuk Demensia Vaskular:
a.       Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan oleh baik,
1.      Gangguan daya ingat (ganguan kemampuan untuk mempelajari informasi baru dan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya)
·         Afasia (gangguan bahasa)
·         Apraksia (gangguan untuk mengenali atau melakukan aktivitas motorik ataupun fungsi motorik adalah utuh)
·         Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda walaupun fungsi sensorik adalah utuh)
·         Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu, merencanakan, mengorganisasi, mengurutkan, dan abstrak)
Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut :
b.      Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan A2 masing-masing menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan suatu penurunan bermakna dan tingkat fungsi sebelumnya.
c.       Tanda dan gejala neurologis fokal (misalnya, peninggian refleks tendon dalam, respon ekstensor plantar, palsi pseudo bulbar, kelainan gaya berjalan, kelemahan pada satu ekstremitas) atau tanda-tanda laboratorium adalah indikatif untuk penyakit serebrovaskular (misalnya, infark multipel yang mengenai korteks dan substansia putih di bawahnya) yang berhubungan secara etiologi dengan gangguan.
d.      Defisit tidak terjadi semata-mata selama perjalanan delirium
Kode didasarkan pada ciri yang menonjol
1.      Dengan delirium :jika delirium menumpang pada demensia
2.      Dengan waham jika waham merupakan ciri yang menonjol
3.      Dengan suasana perasaan terdepresi : jika suasana perasaan terdepresi (termasuk gambaran yang memenuhi kriteria gejala lengkap untuk episode depresif berat) adalah ciri yang menonjol. Suatu diagnosis terpisah gangguan suasana perasaan karena kondisi medis umum tidak diberikan.
4.      Tanpa penyulit : jika tidak ada satupun di alas yang menonjol pada gambaran klinis sekarang.
Sebutkan jika : Dengan gangguan perilaku
Catalan penulisan : juga tuliskan kondisi serebrovaskular pada Aksis III.
D.       Pemeriksaan lengkap
1.      Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan neorologis lengkap
2.      Tanda vital
3.      Mini – mental state exemenation  ( MMSE )
4.      Pemeriksaan medikasi dan kadar obat
5.      Skrining darah dan urin untuk alcohol
6.      Pemeriksaan fisiologis, meliputi:
a.       Elektrolit, glukosa, Ca , Mg.
b.      Tes fungsi hati, ginjal
c.       SMA -12 atau kimia serum yang ekuivalen
d.      Urinalisa
e.       Hit sel darah lengkap dan sel deferensial
f.       Tes fungsi tiroid
g.      FTA – ABS
h.      B12
i.        Kadar folat
j.        Kortikosteroid urine
k.      Laju endap eritrosit
l.        Antibodi antinuklear, C3C4, anti DSDNA
m.    Gas darah Arterial
n.      Skrining H I V
o.      Porpobilinogen Urin.
7.      Sinar-X dada
8.      Elektrokardiogram (EKG)
9.      Pemeriksaan neurologis, melputi:
a.        CT atau MRI kepala
b.      SPECT
c.       Pungsi lumbal
d.      EEG
10.   Tes neuropsikologis

E.           Gambaran Klinis
1.      Gangguan Daya Ingat
Gangguan ingatan biasanya merupakan ciri yang awal don menonjol pada demensia, khususnya pada demensia yang mengenai korteks, seperti demensia tipe Alzheimer. Pada awal perjalanan demensia, gangguan daya ingat adalah ringan dan paling jelas untuk peristiwa yang baru terjadi
2.      Orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, waktu dan tempat, orientasi dapat terganggu secara progresif selama perialanan penyaki Demensia. Sebagai contohnya, pasien dengan Demensia mungkin lupa bagaimana kembali ke ruangannya setelah pergi ke kamar mandi. tetapi, tidak masalah bagaimana beratnya disorientasi, pasien tidak menunjukkan gangguan pada tingkat kesadaran.
3.      Gangguan Bahasa
Proses demensia yang mengenai korteks, terutama demensia tipe Alzheimer dan demensia vaskular, dapat mempengaruhi kemampuan berbahasa pasien. Kesulitan berbahasa ditandai oleh cara berkata yang samar-samar, stereotipik tidak tepat, atau berputar-putar.
4.      Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian merupakan gambaran yang paling mengganggu bagi keluarga pasien yang terkena. Pasien demensia mempunyai waham paranoid. Gangguan frontal dan temporal kemungkinan mengalami perubahan keperibadian yang jelas, mudah marah dan m eledak – ledak.
5.      Psikosis
Diperkirakan 20 -30% pasien demensia tipe Alzheimer, memiliki halusinasi, dan 30 – 40% memiliki waham, terutama dengan sifat paranoid atau persekutorik dan tidak sistematik

F.              Gangguan Lain
1.      Psikiatrik
Pasien demensia juga menunjukkan tertawa atau menangis yang patologis yaitu, emosi yang ekstrim tanpa provokasi yang terlihat.
2.      Neurologis
Disamping afasia, apraksia dan afmosia pada pasien demensia adalah sering.
Tanda neurologis lain adalah kejang pada demensia tipe Alzheimer clan
demensia vaskular.
Pasien demensia vaskular mempunyai gejala neurologis tambahan seperti
nyeri kepala, pusing, pingsan, kelemahan, tanda neurologis fokal, dan
gangguan tidur. Palsi serebrobulbar, disartria, dan disfagia lebih sering pada
demensia vaskular.
3.      Reaksi yang katastropik
Ditandai oleh agitasi sekunder karena kesadaran subjektif tentang defisit intelektualnya di bawah keadaan yang menegangkan, pasien biasanya berusaha untuk mengkompensasi defek tersebut dengan menggunakan strategi untuk menghindari terlihatnya kegagalan dalam daya intelektual, seperti mengubah subjek, membuat lelucon, atau mengalihkan pewawancara dengan cara lain.
4.      Sindroma Sundowner
Ditandai oleh mengantuk, konfusi, ataksia, dan terjatuh secara tidak disengaja. Keadaan ini terjadi pada pasien lanjut usia yang mengalami sedasi berat dan pada pasien demensia yang bereaksi secara menyimpang bahkan terhadap dosis kecil obat psikoaktif.

G.          Diagnosis Banding
1.      Serangan iskemik transien
2.      Depresi
3.      Penuaan normal
4.      Delirium
5.      Gangguan Buatan (Factitious Disorders)
6.      Skizofrenia
H.          Pengobatan
Pendekatan pengobatan umum adalah untuk memberikan perawatan medis suportit, bantuan emosional untuk pasien dan keluarganya, dan pengobatan farmakologis untuk gejala spesifik (perilaku yang mengganggu). Pengobatan farmakologis dengan obat yang mempunyai aktivitas antikolinergik yang tinggi harus dihindari. Walaupun thioridazine (Mellaril), yang mempunyai aktivitas antikolinergik yang tinggi, merupakan obat yang efektif dalam mengontrol perilaku pasien demensia jika diberikan dalam dosis kecil. Benzodiazepim kerja singkat dalam dosis kecil adalah medikasi anxiolitik dan sedatif yang lebih disukai untuk pasien demensia. Zolpidem (Ambient) dapat digunakan untuk tujuan sedatif. TetrahidroaminoKridin (Tacrine) sebagai suatu pengobatan untuk penyakit Alzheimer, obat ini merupakan inhibitor aktivitas antikolinesterase dengan lama kerja yang agak panjang.

I.             Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Perjalanan klasik dan demensia adalah onset pada pasien usia 50 – 60 tahun dengan pemburukan bertahap selama 5 – 10 tahun, yang akhirnya menyebabkan kematian. usia saat onset dan kecepatan pemburukannya adalah bervariasi diantara tipe demensia yang berbeda dan dalam kategori diagnostik individual.

3.            Gangguan Amnestik
A.       Pengertian
Gangguan amnestik ditandai terutama oleh gejala tunggal suatu gangguan daya ingat yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan. Diagnosis gangguan amnestik tidak dapat dibuat jika mempunyai tanda lain dari gangguan kognitif, seperti yang terlihat pada demensia, atau jika mempunyai gangguan perhatian (attention) atau kesadaran, seperti yang terlihat pada delirium.

B.        Epidemiologi
Beberapa penelitian melaporkan insiden atau prevalensi gangguan ingatan pada gangguan spesifik (sebagai contohnya sklerosis multipel). Amnesia paling sering ditemukan pada gangguan penggunaan alkohol dan cedera kepala.
Penyebab gangguan amnestik yaitu:
1.      Kondisi medis sistemik
a.       Defisiensi tiamin (Sindroma Korsakoff)
b.      Hipoglikemia
2.      Kondisi otak primer
a.       Kejang
b.      Trauma kepala (tertutup dan tembus)
c.       Tumor serebrovaskular (terutama thalamik dan lobus temporalis)
d.      Prosedur bedah pada otak
e.       Ensefalitis karena herpes simpleks
f.       Hipoksia (terutama usaha pencekikan yang tidak mematikan dan keracunan karbonmonoksida)
g.      Amnesia global transien
h.      Terapi elektrokonvulsif
i.        Sklerosis multiple
3.      Penyebab berhubungan dengan zat
a.       Gangguan pengguanan alcohol
b.      Neurotoksin
c.       Benzodiazepin (dan sedatif- hipnotik lain)
Banyak preparat yang dijual bebas.

C.       Diagnosis
Kriteria Diagnosis untuk Gangguan Amnestik Karena Kondisi Medis Umum.
1.      Perkembangan gangguan daya ingat seperti yang dimanifestasikan oleh gangguan kemampuan untuk mempelajari informasi baru atau ketidak mampuan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya.­
2.      Ganguan daya ingat menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan merupakan penurunan bermakna dan tingkat fungsi sebelumnya­.
3.      Gangguan daya ingat tidak terjadi semata-mata selama perjalanan suatu delirium atau suatu demensia.
4.      Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium bahwa gangguan adalah akibat fisiologis langsung dari kondisi medis umum (termasuk trauma fisik)
Sebutkan jika :
Transien :        jika gangguan daya ingat berlangsung selama 1 bulan atau kurang
Kronis   :     jika gangguan daya ingat berlangsung lebih dari 1 bulan.
Catatan penulisan:  Masukkan juga nama kondisi medis umum pada Aksis I, misalnya, gangguan amnestik karena trauma kepala, juga tuliskan kondisi pada Aksis III.

D.       Gambaran Klinis
Pusat gejala dan gangguan amnestik adalah perkembangan gangguan daya ingat yang ditandai oleh gangguan pada kemampuan untuk mempelajari informasi baru (amnesia anterograd) dan ketidakmampuan untuk mengingat pengetahuan yang sebelumnya diingat (amnesia retrograd). Periode waktu dimana pasien terjadi amnesia kemungkinan dimulai langsung pada saat trauma atau beberapa saat sebelum trauma. Ingatan tentang waktu saat gangguan fisik mungkin juga hilang. Daya ingat jangka pendek (short-term memory) dan daya ingat baru saja (recent memory) biasanya terganggu. Daya ingat jangka jauh (remote post memory) untuk informasi atau yang dipelajari secara mendalam (overlearned) seperti pengalaman maka anak-anak adalah baik, tetapi daya ingat untuk peristiwa yang kurang lama ( Iewat dart 10 tahun) adalah terganggu.

E.        Diagnosis Banding
1.      Demensia dan Delirium
2.      Penuaan normal
3.      Gangguan disosiatif
4.      Gangguan buatan

F.        Pengobatan
Pendekatan utama adalah mengobati penyebab dasar dari gangguan amnestik Setelah resolusi episode amnestik, suatu jenis psikoterapi (sebagai contohnya, kognitif, psikodinamika, atau suportif dapat membantu pasien menerima pangalaman amnestik kedalam kehidupannya.

G.       Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Onset mungkin tiba-tiba atau bertahap; gejala dapat sementara atau menetap dan hasil akhir dapat terentang dari tanpa perbaikan sampai pemulihan lengkap.

4.      Gancguan Mental Organik  Lain (Epilepsi)
A.       Pengertian
Suatu kejang (seizure) adalah suatu gangguan patologis paroksismal sementara dalam gangguan patologis paroksismal sementara dalam fungsi cerebral yang disebabkan oleh pelepasan neuron yang spontan dan luas Pasien dikatakan menderita epilepsi jika mereka mempunyai keadaan kronis yang ditandai dengan kejang yang rekuren.

B.        Klasifikasi
Dua kategori utama kejang adalah parsial dan umum (generalized). Kejang parsial melibatkan aktivitas epileptiformis di daerah otak setempat; kejang umum melibatkan keseluruhan otak. Suatu sistem klasifikasi untuk kejang.­
1.      Kejang umum
Kejang tonik klonik umum mempunyai gejala klasik hilangnya kesadaran, gerakan tonik klonik umum pada tungkai, menggigit lidah, dan inkotinensia. Walaupun diagnosis peristiwa kilat dari kejang adalah relatif langsung, keadaan pascaiktal yang ditandai oleh pemulihan kesadaran dan kognisi yang lambat dan bertahap kadang-kadang memberikan suatu dilema diagnostik bagi dokter psiktatrik di ruang gawat darurat. Periode pemulihan dan kejang tonik klonik umum terentang dari beberapa menit sampai berjam-jam. Gambaran klinis adalah delirium yang menghilang secara bertahap. Masalah psikiatrik yang paling sering berhubungan dengan kejang umum adalah membantu pasien menyesuaikan gangguan neurologis kronis dan menilai efek kognitif atau perilaku dan obat antiepileptik.
2.      Absences (Petit Mal)
Suatu tipe kejang umum yang sulit didiagnosis bagi dokter psikiatrik adalah absence atau kejang petitmal. Sifat epileptik dari episode mungkin berjalan tanpa diketahui, karena manifestasi motorik atau sensorik karakteristik dari epilepsi tidak ada atau sangat ringan sehingga tidak membangkitkan kecurigaan dokter. Epilepsi petit mal biasanya mulai pada masa anak-anak antara usia 5 dan 7 tahun dan menghilang pada pubertas. Kehilangan kesadaran singkat, selama mana pasien tiba-tiba kehilangan kontak dengan hngkungan, adalah karakteristik untuk epilepsi petit mal;  tetapi, pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran atau gerakan kejang yang sesungguhnya selama episode. Elektroensefalogerafi ( EEG)  menghasilkan pola karakteristik aktivitas paku dan gelombang (spike and wave) tiga kali perdetik Pada keadaan yang jarang, epilepsi petitmal dengan onset dewasa dapat ditandai oleh episode psikotik atau delirium yang tiba-tiba dan rekuren yang tampak dan menghilane secara tiba-tiba Gejala dapat disertai dengan riwayat terjatuh atau pingsan.
3.      Kejang parsial liziane parsial diklasitikasikan sebagai sederhana (tanpa perubahan kesadaran) atau kompleks (dengan perubahan kesadaran) Sedikit lebih banyak dari setengah semua pasien dengan kelane parsial mengalami kejang parsial kompleks; istilah lain yang digunakan untuk kejang parsial kompleks adalah epilepsi lobus temporalis, kejang psikomotor, dan epilepsi limbik tetapi istilah tersebut bukan merupakan penjelasan situasi klinis yang akurat. Epilepsi parsial kompleks adalah bentuk epilepsi pada orang dewasa yang paling senngcang mengenai 3 dan 1.000 orang.

C.       Diagnosis
1.      Diagnosis epilepsi yang tepat dapat sulit khususnya jika gejala iktal dan interiktal dari epilepsi merupakan manifestasi berat dari gejala psikiatrik tanpa adanya perubahan yang bemakna pada kesadaran dan kemampuan kognitif Gejala Praiktal
Peristiwa praiktal (aura) pada epilepsi parsial kompleks adalah termasuk sensasi otonomik (sebagai contohnya rasa penuh di perut, kemerahan, dan perubahan pada pernafasan), sensasi kognitif(sebagai contohnya, deja vu, jamais vu, pikiran dipaksakan, dan keadaan seperti mimpi). keadaan afektif (sebagai contohnya, rasa takut, panik, depresi, dan elasi) dan secara klasik. automatisme (sebagai contohnya, mengecapkan bibir, menggosok, dan mengayah)
2.      Gejala Iktal
Perilaku yang tidak terinhibisi, terdisorganisasi, dan singkat menandai serangan iktal. Walaupun beberapa pengacara pembela mungkin mengklaim yang sebaliknya, jarang sesorang menunjukkan perilaku kekerasan yang terarah dan tersusun selama episode epileptik Gejala kognitif adalah termasuk amnesia untuk waktu selama kejang dan suatu periode delirium yang menghilang setelah kejang. Pada pasien dengan epilepsi parsial kompleks, suatu fokus kejang dapat ditemukan pada pemeriksaan EEG pada 25 sampai 50 % dari semua pasien. Penggunaan elektroda sfenoid atau temporalis anterior dan EEG pada saat tidak tidur dapat meningkatkan kemungkinan ditemukannya kelainan EEG. EEG normal multipel seringkali ditemukan dart seorang pasien dengan epilepsi parsial kompleks; dengan demikian EEG normal tidak dapat digunakan untuk mneyingkirkan diagnosis epilepsi parsial. kompleks- Penggunaan perekaman EEG jangka panjang (24 sampai 72 jam) dapat membantu klinisi mendeteksi suatu fokus kejang pada beberapa pasien. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lead nasofaring tidak menambah banyakkepekaan pada EEG, dan yang jelas menambahkan ketidaknyamanan prosedur bagi pasien.
3.      Gejala Interiktal
Gangguan kepribadian Kelainan psikiatrik yang paling sering dilaporkan pada pasien epileptik adalah gangguan kepribadian, dan biasanya kemungkinan terjadi pada pasien dengan epilepsi dengan asal lobus temporalis. Ciri yang paling sering adalah perubahan perilaku seksual, suatu kualitas yang biasanya disebut viskositas kepribadian, religiositas, dan pengalaman emosi yang melambung. Sindroma dalam bentuk komplitnya relatif jarang, bahkan pada mereka dengan kejang parsialkompleks dengan asal lobus temporalis. Banyak pasien tidak mengalami perubahan kepribadian, yang lainnya mengalami berbagai gangguan yang jelas berbeda dari sindroma klasik.
Perubahan pada perilaku seksual dapat dimanifestasikan sebagai hiperseksualitas; penyimpangan dalam minat seksual, seperti fetihisme dan transfetihisme; dan yang paling sering, hiposeksualitas Hiposeksualitas ditandai oleh hilangnya minat dalam masalah seksual dan dengan menolak rangsangan seksual Beberapa pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks sebelum pubertas mungkin tidak dapat mencapai tingkat minat seksual yang normal setelah pubertas, walaupun karakteristik tersebut mungkin tidak mengganggu pasien. Untuk pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks setelah pubertas. perubahan dalam minat seksual mungkin mengganggu dan mengkhawatirkan.
4.      Gejala viskositas kepribadian
Biasanya paling dapat diperhatikan pada percakapan pasien, yang kemungkinan adalah lambat serius, berat dan lamban, suka menonjolkan keilmuan, penuh dengan rincian-rincian yang tidak penting, dan seringkali berputar-putar. Pendengar mungkin menjadi bosan tetapi tidak mampu menemukan cara yang sopan dan berhasil untuk melepaskan diri  dari percakapan. Kecenderungan pembicaraan seringkali dicerminkan dalam tulisan pasien, yang menyebabkan suatu gejala yang dikenal sebaga hipergrafia yang dianggap oleh beberapa klinisi sebagai patognomonik untuk epilepsi parsial komplaks.
5.      Religiositas
Mungkin jelas dan dapat dimanifestasikan bukan hanya dengan meningkatny peran serta pada aktivitas yang sangat religius tetapi juga oleh permasalahan moral dan etik yang tidak umum, keasyikan dengan benar dan salah, dan meningkatnya minat pada perlahamasalahan global dan filosofi Ciri hiperreligius kadang-kadang dapat tampak seperti gejala prodromal skizofrenia dan dapat menyebabkan mnasalah diagnositik pada seorang remaja atau dewasa muda.
6.      Gejala psikotik
Keadaan psikotik interiktal adalah lebih sering dari psikosis iktal. Episode interpsikotik yang mirip skizofrenia dapat terjadi pada pasien dengan epilepsi, khususnya yang berasal dan lobus temporalis Diperkirakan 10 sampal 30 persen dari semua pasien dengan apilepsi partial kompleks mempunyai gejala psikotik Faktor risiko untuk gejala tersebut adalah jenis kelamin wanita kidal onset kejang selama pubertas, dan lesi di sisi kiri.
Onset gelala psikotik pada epilepsi adalah bervariasi. Biasanya, gejala psikotik tarnpak pada pasien yang telah menderita epilepsi untuk jangka waktu yang lama, dan onset gejala psikotik di dahului oleh perkembangan perubahan kepribadian yang berhubungan dengan aktivitas otak epileptik gejala psikosis yang paling karakteristik adalah halusinasi dan waham paranoid. Biasanya. pasien tetap hangat dan sesuai pada afeknya, berbeda dengan kelainan yang sering ditemukan pada pasien skizofrenik Gejala gangguan pikiran pada pasien epilepsi psikotik paling sering merupakan gejala yang melibatkan konseptualisasi dan sirkumstansialitas, ketimbang gejala skizofrenik klasik berupa penghambatan (blocking) dan kekenduran (looseness), kekerasan. kekerasan episodik merupakan masalah pada beberapa pasien dengan epilepsi khususnya epilepsi lobus temporalis dan frontalis. Apakah kekerasan merupakan manifestasi dan kejang itu sendiri atau merupakan psikopatologi interiktal adalah tidak pasti. Sampai sekarang ini, sebagian besar data menunjukkan sangat jarangnya kekerasan sebagai suatu fenomena iktal. Hanya pada kasus yang jarang suatu kekerasan pasien epileptik dapat disebabkan oleh kejang itu sendiri.
7.      Gejala Gangguan perasaan.
Gejala gangguan perasaan, seperti depresi dan mania, terlihat lebih jarang pada epilepsi dibandingkan gejala mirip skizofrenia. Gejala gangguan mood yang terjadi cenderung bersifat episodik dan terjadi paling sering jika fokus epileptik mengenai lobus temporalis dan hemisfer serebral non dominan. Kepentingan gejala gangguan perasaan pada epilepsi mungkin diperlihatkan oleh meningkatnya insidensi usaha bunuh diri pada orang dengan epilepsi.
Dengan demikian, dokter psikiatrik harus menjaga tingkat kecurigaan yang tinggi selama memeriksa seorang pasien baru dan harus mempertimbangkan kemungkman gangguan epileptik, bahkan jika tidak ada tanda dan gejala klasik. Diagnosis banding lain yang dipertimbangkan adalah kejang semu (psudoseizure), dimana pasien mempunyai suatu kontrol kesadaran atas gejala kejang yang mirip.
Pada pasien yang sebelumnya mendapatkan suatu diagnosis epilepsi, timbulnya gejala psikiatrik yang baru harus dianggap sebagai kemungkinan mewakili suatu evolusi, timbulnya gejala epileptiknya. timbulnya gejala psikotik, gejala gangguan mood, perubahan kepribadian, atau gejala kecemasan (sebagai contohnya, serangan panik) harus menyebabkan klinisi menilai pengendalian epilepsi pasien dan memeriksa pasien untuk kemungkinan adanya gangguan mental yang tersendiri. Pada keadaan tersebut klinisi harus menilai kepatuhan pasien terhadap regimen obat antiepileptik dan harus mempertimbangkan apakah gejala psikotik merupakan efek toksik dari obat antipileptik itu sendiri. Jika gejala psikotik tampak pada seorang pasien yang pernah mempunyai epilepsi yang telah didiagnosis atau dipertimbangkan sebagai diagnosis di masa lalu, klinisi harus mendapatkan satu atau lebih pemeriksaan EEG.
Pada pasien yang sebelumnya belum pernah mendapatkan diagnosis epilepsi. empat karakteristik hams menyebabkan klinisi mencurigai kemungkinan tersebut; onset psikosis yang tiba-tiba pada seseorang yang sebelumnya dianggap sehat secara psikologis, onset delirium yang tiba-tiba tanpa penyebab yang diketahui, riwayat episode yang serupa dengan onset yang mendadak dan pemulihan spontan, dan riwayat terjatuh atau pingsan sebelumnya yang tidak dapat dijelaskan.
D.          Pengobatan
Karbamazepin ( tegretol) dan Asam valproik (Depakene) mungkin membantu dalam mengendalikan gejala iritabilitas dan meledaknya agresi, karena mereka adalah obat antipsikotik tipikal Psikoterapi, konseling keluarga, dan terapi kelompok mungkin berguna dalam menjawab masalah psikososial yang berhubungan dengan epilepsi. Disamping itu, klinisi haru; menyadari bahwa banyak obat antiepileptik mempunyai suatu gangguan kognitif derajat ringan sampai sedang dan penyesuaian dosis atau penggantian medikasi harus dipertimbangkan jika gejala gangguan kognitif merupakan suatu masalah pada pasien tertentu.


10.     GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN ALKOHOL

A.    Definisi Gangguan Penggunaan Zat
Gangguan penggunaan zat adalah suatu gangguan jiwa berupa penyimpangan perilaku yang berhubungan dengan pemakaian zat yang dapat mempengaruhi sususan saraf pusat secara kurang lebih teratur sehingga menimbulkan gangguan fungsi sosial.
Klasifikasi gangguan penggunaan zat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1)      Penyalahgunaan zat, merupakan suatu pola penggunaan zat yang bersifat patologik, paling sedikit satu bulan lamanya, sehingga menimbulkan gangguan fungsi sosial atau okupasional. Pola penggunaan zat yang bersifat patologik dapat berupa intoksikasi sepanjang hari, terus menggunakan zat tersebut walaupun penderita mengetahui dirinya sedang menderita sakit fisik berat akibat zat tersebut, atau adanya kenyataan bahwa ia tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa menggunakan zat tersebut.
2)      Ketergantungan zat, merupakan suatu bentuk gangguan penggunaan zat yang pada umunya lebih berat. Terdapat ketergantungan fisik yang ditandai dengan adanya toleransi atau sindroma putus zat. Zat-zat yang sering dipakai, yang dapat menyebabkan gangguan penggunaan zat salah satunya yaitu alcohol (etillkohol) yang terdapat dalam minuman keras.

B.     Definisi Alkohol
Alkohol merupakan suatu bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif diluar Narkotika dan Psikotropika. Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan syaraf pusat,dan sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika atau psikotropika, akan memperkuat pengaruh obat atau zat itu dalam tubuh manusia.
Ada 3 golongan minuman berakohol, yaitu :
1)      Golongan A : kadar etanol 1-5%, (Bir)
2)      Golongan B : kadar etanol 5-20%, (Berbagai jenis minuman anggur)
3)      Golongan C : kadar etanol 20-45 %, (Whiskey, Vodca, TKW, Manson House,Johny Walker, Kamput).
Alkohol merupakan salah satu zat psikoaktif yang sering digunakan manusia. Diperoleh dari proses fermentasi madu, gula, sari buah dan umbi-umbian. Dari proses fermentasi diperoleh alkohol dengan kadar tidak lebih dari 15%, dengan proses penyulingan di pabrik dapat dihasilkan kadar alkohol yang lebih tinggi bahkan mencapai 100%.
Nama jalanan alkohol : booze, drink. Konsentrasi maksimum alkohol dicapai 30-90 menit setelah tegukan terakhir. Sekali diabsorbsi, etanol didistribusikan keseluruh jaringan tubuh dan cairan tubuh. Sering dengan peningkatan kadar alkohol dalam darah maka orang akan menjadi euforia, namun sering dengan penurunannya pula orang menjadi depresi.
C.    Gangguan Mental Dan Perilaku Akibat Alkohol
1.      Efek Jangka Pendek Alkohol
Pada dasarnya, alkohol memang mampu menghilangkan rasa sakit dan dalam dosis yang lebih besar, bersifat sedatif, menyebabkan orang tertidur, bahkan kematian. Alkohol menghasilkan berbagai efeknya melalui interaksinya dengan beberapa sistem neural di dalam otak.
Alkohol merangsang berbagai reseptor GABA, yang berperan dalam kemampuannya mengurangi ketegangan. (GABA adalah neurotransmitter penghambat utama, berbagai obat benzodiazepin, seperti vallium, memiliki efek pada reseptor GABA sama dengan efek alkohol). Alkohol juga menaikkan kadar serotonim dan dopamin, dan efek ini mungkin merupakan sumber dari kemampuannya untuk menciptakan efek yang menyenangkan. Terakhir, alkohol menghambat berbagai reseptor glutamat yang dapat menimbulkan efek kognitif intoksikasi alkohol, seperti berbicara dengan tidak jelas dan hilangnya memori (U.S.Departement of Health and Human Service, 1994).
Terdapat banyak keyakinan mengenai efek alkohol. Alkohol dianggap mengurangi kecemasan, meningkatkan sosiabilitas, melenturkan hambatan, dans ebagainya. Namun ternyata beberapa efek jangka pendek mengonsumsi sedikit alkohol berhubungan erat dengan ekspektasi si peminum mengenai efek obat tersebut sebagaimana efeknya terhadap aksi kimiawi pada tubuh.
2.      Efek Jangka Panjang Penyalahgunaan Alkohol Yang berkepanjangan        
Efek jangka panjang mengonsumsi alkohol dalam waktu lama secara gamblang digambarkan dalam banyak kasus. Kebiasaan minum yang kronis menimbulkan kerusakan biologis parah selain kemunduran psikologis. Konsumsi alkohol dalam waktu lama memberikan efek negatif bagi hampir setiap jaringan dan organ tubuh. Malnutrisi parah dapat terjadi, karena alkohol mengandung kalori tinggi – sekitar setengah liter minuman kadar – 80 memasok sekitar separuh kebutuhan kalori dalam sehari- para peminum berat seringkali mengurangi asupan makanan mereka. Namun, kalori yang dipasok alkohol tidak ada. Alkohol tidak mengandung berbagai zat gizi yang penting bagi kesehatan. Bahkan penyalahgunaan untuk waktu yang tidak lamapun dapat mempengaruhi performa kognitif. Para mahasiswa yang menyalahgunakan alkohol menunjukkan kelemahan dalam berbagai test neuropsikologis (Sher dkk., 1997).
Alkohol juga juga mengurangi efektifitas sistem imun, mengakibatkan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi dan kanker. Dan bagi wanita hamil, konsumsi alkohol yang sangat banyak semasa hamil diketahui merupakan penyebab utama retardasi mental. Pertumbuhan janin melambat dan terjadi kelainan tempurung kepala, wajah serta anggota tubuh.

D.    Bahaya-Bahaya Penggunaan Alkohol
Ketika dibandingkan dengan penggunaan alkohol oleh orang dewasa, penggunaan alkohol oleh remaja diketahui frekuensinya lebih sering dilakukan dan volumenya lebih banyak sehingga penggunaan alkohol pada usia remaja ini telah dianggap sangat berbahaya.
Pesta miras yang semakin cepat bertambah, kemungkinan besar terkait dengan budaya taruhan dan uji nyali di antara para remaja ini yang menempatkan mereka pada resiko tinggi overdosis alkohol atau keracunan alkohol, seperti tersumbatnya aliran pernafasan yang fatal.
Pesta miras orang dewasa didefinisikan sebagai mengkonsumsi 5 atau lebih minuman beralkohol dalam rentang rata-rata 2 jam secara berturut-turut. Definisi tersebut akhir-akhir ini sering pula digunakan untuk menggambarkan penggunaan alkohol pada remaja.
Namun dalam literatur terbaru lebih berpendapat menempatkan pesta miras pada remaja terjadi pada usia 9-13 tahun pada anak-anak dan 14-17 tahun pada gadis dengan jumlah konsumsi 3 atau lebih minuman beralkohol. Sedangkan untuk anak laki-laki berusia 14-15 tahun dengan jumlah 4 atau lebih minuman beralkohol, dan usia 16-17 tahun sebanyak 5 atau lebih minuman beralkohol. Penggunaan alkohol menjadi kontributor utama penyebab kematian para remaja di Amerika Serikat seperti kecelakaan kendaraan, bunuh diri, dan pembunuhan. Kecelakaan tabrakan kendaraan bermotor menempati urutan teratas dalam penyebab kematian para remaja Amerika Serikat. Pada tahun 2007 sebuah survei tentang Youth Risk Behavior mengungkapkan bahwa selama selang waktu 30 hari digelarnya survei tersebut, sebanyak 29,1% para siswa di Amerika Serikat setidaknya pernah satu kali atau lebih menjadi penumpang sebuah mobil yang dikendarai oleh supir yang sedang minum alkohol, dan sebanyak 10,5% dari mereka sedikitnya pernah sesekali mengendarai sendiri kendaraannya sambil minum alkohol. Setelah Amerika Serikat mengubah aturan batasan minimal mengkonsumsi alkohol menjadi 21 tahun, jumlah kecelakaan berkendaraan yang fatal secara individual di bawah usia 21 tahun menjadi menurun secara signifikan. Hal ini memperlihatkan adanya sebuah keterkaitan erat antara penggunaan alkohol dan kecelakaan berkendaraan yang melibatkan para remaja. Bila dilakukan perbandingan, kasus remaja yang mengendarai mobil dalam keadaan mabuk frekuensinya masih rendah di bawah para orang dewasa, namun, tingkat resiko kecelakaan motor para remaja lebih besar dibandingkan orang dewasa saat mereka mabuk, khususnya ketika kadar alkohol dalam tubuh para remaja ini berada pada level rendah dan menengah. Batasan minimal mengkonsumsi alkohol secara legal di Amerika Serikat juga telah diasosiasikan dengan laju bunuh diri yang tinggi pada remaja.
            Beberapa literatur penelitian secara konsisten melaporkan hubungan keterkaitan yang erat antara penggunaan dan penyalahgunaan alkohol dengan perilaku yang beresiko termasuk penyerangan, aktifitas seksual yang riskan dan mengembang kepada penyalahgunaan obat-obatan. Sehingga bagaimana pun juga penggunaan alkohol oleh para remaja tetap tidak aman sekalipun di saat sedang tidak mengendarai. Dampak buruk lainnya yang juga tercatat adalah gangguan mental dan fisik pada remaja itu sendiri. Gangguan-gangguan akibat penggunaan alkohol menjadi sebuah faktor resiko terjadinya percobaan bunuh diri pada remaja.
Beberapa gangguan akibat penggunaan alkohol pada remaja secara psikologis di antaranya tidak adanya gairah semangat (mood disorders), terutama depresi; kegelisahan atau fobia; kurang fokus atau konsentrasi hingga gangguan attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD); perilaku atau tabiat menjadi terganggu; bulimia; dan schizophrenia. Sedangkan gangguan secara fisik di antaranya trauma sequelae (semacam gangguan pada ginjal),gangguan tidur, konsentrasi tinggi serum enzim hati, gigi dan organ oral yang abnormal,meskipun kondisi abnormal tersebut relatif sedikit ditemukan saat pemeriksaan fisik.

E.     Faktor Yang Berkontribusi Dalam Bahaya Penggunaan Alkohol Dan Obat-Obatan
1)      Faktor Genetik dan Keluarga
Studi-studi pada saudara kembar di lingkungan populasi orang dewasa telah secara konsisten mendemonstrasikan pengaruh genetik dalam penggunaan dan penyalahgunaan alkohol, namun masih sedikit penelitian yang meneliti pengaruh genetik secara spesifik menurut rentang usia pada para remaja. Penelitian pada remaja melalui subjek saudara kembar, kembar identik ataupun yang diadopsi, sekelompok peneliti di antaranya Rhee dan kawan-kawan meneliti relatifitas kontribusi dari genetik dan lingkungan terhadap inisiasi pencobaan pertama mengkonsumsi alkohol, penggunaannya secara berkala dan masalah-masalah umum yang berkaitan dengan penyalahgunaan zat kimia. Hasil dari penelitian ini mendemonstrasikan bahwasannya para remaja, dibandingkan dengan temuan studi pada kembar dewasa, tingkat pengaruh genetiknya lebih tinggi, sedangkan pengaruh lingkungan lebih rendah untuk penggunaan alkohol atau obat-obatan ketimbang kejadian inisiasi penggunaan awal.
Keluarga memainkan peranan penting dalam perkembangan masalah alkohol dan obat-obatan pada remaja. Penggunaan obat-obatan oleh orang tua atau saudara yang lebih tua serta perilaku orang tua yang membebaskan anaknya (tidak terkontrol) terhadap penyalahgunaan obat-obatan pada remaja, akan beresiko tinggi terjadinya penggunaan alkohol dan obat-obatan pada para remaja.Pengawasan orang tua terhadap apa yang akan digunakan oleh anak-anaknya, dan memastikan berlakunya aturan dan etika dalam rumah tangga akan menghalangi atau menekan penggunaan alkohol di antara para remaja.
Di Amerika Serikat tercatat sebanyak 7 juta anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun adalah anak-anak yang hidup dengan orang tua yang alkoholik. Anak-anak yang orang tuanya melakukan penyalahgunaan alkohol sangat beresiko dengan masalah-masalah perilaku dan kesehatannya, termasuk kriminal, gangguan kecerdasan, ADHD, keluhan-keluhan kejiwaan, dan masalah alkoholisme sebagaimana yang terjadi pada orang dewasa.
2)      Faktor-faktor Lainnya
Keadaan lingkungan dan mempunyai teman-teman yang pengguna alkohol, tembakau atau obat-obatan, merupakan pendorong terkuat kemungkinan besar terjadinya perilaku penggunaan zat-zat kimiawi oleh para remaja. Peluang terjadinya penyalahgunaan ini lebih tinggi lagi terjadi bila di dalam komunitas tersebut alkohol dan obat-obatan terlarang murah biayanya dan mudah didapatkan.
Faktor resiko lainnya yang juga ikut mendorong terjadinya penyalahgunaan zat-zat kimiawi di antaranya kinerja sekolah yang buruk, tidak adanya penanganan ADHD, dan penyimpangan perilaku. Media berpengaruh besar pula terhadap terjadinya penggunaan alkohol oleh para remaja. Jernigan et al meneliti para anak laki-laki dan perempuan yang diberikan ekspos majalah yang menampilkan iklan-iklan alkohol dibandingkan dengan respon orang dewasa, menemukan bahwasannya dibandingkan dengan orang dewasa yang berusia 21 tahun atau lebih, sebesar 45% para remaja di bawah usia lebih cenderung untuk melihat iklan bir, sebanyak 12% lebih cenderung melihat iklan minuman campur alkohol sulingan, 65% lebih cenderung untuk melihat iklan minuman penyegar berkadar alkohol rendah (alcopop atau lemonadeice tea, atau minuman buah-buahan yang mengandung alkohol), dan 69% cenderung kepada iklan minuman berkadar air anggur rendah.
            Ekspos iklan-iklan alkohol kepada para gadis lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Media lainnya seperti televisi, film, papan reklame, dan internet, dikenal sangat mempengaruhi dalam promosi alkohol menggunakan gambaran yang atraktif tanpa menyinggung atau mengasosiasikannya dengan konsekuensi negatifnya. Sejumlah penelitian telah memperlihatkan bahwa ekspos media dapat membuat anak-anak dan para remaja lebih cenderung untuk bereksperimen dengan alkohol.
3)      Faktor Perkembangan Sistem Saraf Pada Remaja
Lebih dari satu dekade yang lalu, terjadi lompatan besar dalam pemahaman ilmu pengetahuan tentang kecanduan yang dikaitkan dengan sistem saraf biologis (neurobiological). Studi-studi yang menginvestigasi perkembangan normal dari otak telah memberikan informasi yang luas tentang dampak dari alkohol dan obat-obatan terhadap otak para remaja.
Terdapat beberapa kemungkinan dampak dari alkohol dan obat-obatan terhadap otak remaja, kondisi ini disebabkan karena belum sempurnanya proses perkembangan pada otak mereka sehingga mengkondisikannya rawan terhadap keracunan dan kencanduan obat-obatan, dan penggunaan obat-obatan itu sendiri dapat mempengaruhi secara langsung perkembangan otak mereka.
Penggunaan alkohol dan obat-obatan selama masa-masa awal usia remaja, ditambah pula dengan kecenderungan secara genetik dari orang tuanya yang juga menyalahgunakan dan kecanduan obat-obatan, dapat beresiko meningkatkan potensi penggunaan alkohol dan obat-obatan dalam periode keremajaan mereka.

F.     Terapi Untuk Peminum Alkohol
Penanganan Tradisional di rumah sakit umum dan swasta di seluruh dunia selama bertahun-tahun telah menyediakan tempat bagi para penyalahgna alkohol, berupa ruang-ruang rawat di mana individu dapat menghentikan kebiasaan minumnya dan mengikuti berbagai terapi individual dan kelompok. Penghentian alkohol, yaitu detoksifikasi, dapat berjalan sulit, baik secara fisik maupun psikologis, dan biasanya memerlukan waktu sekitar sebulan. Obat-obat penenang terkadang diberikan untuk menghilangkan kecemasan dan rasa tidak nyaman karena putus zat. Karena banyak penyalahguna alkohol yang menyalahgunakan obat penenang tersebut, beberapa klinik mencoba menggunakan cara penghentian secara bertahap tanpa obat-obatan penenang daripada mengehentikan alkohol secara total. Proses penghentian tanpa bantuan obat tersebut berhasil bagi sebagian besar peminum bermasalah (Wartenburg, 1990).
Penanganan biologis paling baik bila dipandang sebagai suatu penanganan tambahan. Yaitu penanganan yang dapat memberikan manfaat bila dikombinasikan dengan suatu intervensi psikologis. Meskipun demikian, saat ini terdapat beberapa data mengenai terapi yang mencakup kombinasi terapi obat dan psikoterapi maupun kombinasi beberapa obat yang berbeda (Myrick dkk, 2000). Beberapa peminum bermasalah yang sedang dalam penanganan, baik rawat inap maupun rawat jalan, menggunakan disulfiram atau antabuse, obat yang mencegah minum dengan cara menyebabkan muntah-muntah hebat jika alkohol diminum. Obat tersebut menghambat metabolisme alkohol sehingga tercipta produk sampingan yang sangat tidak mengenakkan.
Alcoholics anonymous, kelompok terapi mandiri terbesar dan paling terkenal di seluruh dunia adalah Alcoholic Anonymous (AA), yang didirikan tahun 1935 oleh dua orang mantan pecandu alkohol. Pada intinya ialah, bahwa dorongan semangat dari suatu kelompok untuk tidak kembali kepada kebiasaan minum alkohol, tentunya dengan berbagai cara dan tahapan yang terstruktur dengan baik. Setiap orang dalam kelompok ini ditanamkan keyakinan bahwa penyalahgunaan alkohol merupakan penyakit yang tidak pernah dapat disembuhkan, dan diperlukan kewaspadaan yang terus menerus agar dapat menahan diri untuk tidak minum walaupun hanya sekali karena bila terjadi demikian, kebiasaan minum yang tidak terkendali akan terjadi lagi.
Terapi pasangan dan keluarga, alkohol sangat merusak hidup para peminum bermasalah, oleh karena itu, banyak yang hidup hampir menyendiri, dan tidak diragukan lagi bahwa kurangnya dukungan sosial tersebut memperparah masalah minum mereka. Terkait dengan dukungan pasangan, pentingnya dukungan pasangan dalam upaya peminum bermasalah untuk mengatasi berbagai stres yang tidak terhindarkan dalam hidup tidak boleh diremehkan. Namun, yang juga tidak boleh diremehkan adalah sulitnya menjaga agar tetap minum dalam jumlah yang wajar atau berhenti minum dalam pemantauan selama satu dan dua tahun terlepas dari jenis intervensi perkawinan dan efek positifnya dalam jangka pendek (Alexander, 1994).
Penanganan kognitif dan perilaku, secara umum terapi kognitif dan behavioral merupakan penanganan psikologis yang paling efektif bagi penyalahgunaan alkohol (Finney & Moos, 1998).
Terapi Aversi, dalam terapi ini seorang peminum bermasalah dikejutkan atau dibuat menjadi mual ketika melihat, meraih, atau memulai minum alkohol. Dalam satu prosedur yang disebut sensitisasi tertutup (Cautela, 1966), si peminum bermasalah diinstruksikan untuk membayangkan dirinya mengalami mual yang hebat dan luar biasa karena minum alkohol.
Pendekatan manajemen peristiwa dan penguatan komunitas,  terapi manajemen peristiwa bagi penyalahguna alkohol mencakup mengajari pasien dan orang-orang dekatnya untuk menguatkan perilaku yang tidak berkaitan dengan minum.
Minum secara wajar, mengingat sulitnya masyarakat menghindari alkohol sama sekali, mungkin lebih baik mengajari seorang pemium bermasalah, setidak-tidaknya yang tidak menyalahgunakan secara ekstrem, untuk minum secara wajar. Harga diri seorang peminum pasti akan bertambah karena mampu mengendalikan suatu masalah dan karena merasa memiliki kendali atas hidupnya.

F11. GANGGUAN MENTAL dan PERILAKUAKIBAT PENGGUNAAN OPIOIDA
1.    Definisi Opioida
Opioida adalah nama segolongan zat, baik alamiah, semisintetik, maupun sintetik yang mempunyai khasiat seperti morfin.
Menurut asalnya opioida terbagi menjadi 3,yaitu :
1)      Opioida alamiah, seperti : opium, morfin, dan kodein.
2)      Opioida semisintetik, yaitu opioida yang diperoleh dari opium yang diolah melalui proses atau perubahan kimiawi. Sebagai contoh, heroin (diasetil-morfin) dan hidromonfon (dilaudid)
3)    Opioida sintetik, yang dibuat di pabrik,misalnya meperidin (petidin), metadon, propoksifen, levorfanol, dan levalorfan.
Selain mempunyai khasiat analgesic (menghilangkan rasa sakit ), opioida juga mempunyai khasiat hipnotik ( menidurkan ) dan eufona ( menimbulkan rasa gembira dan sejahtera ). Penggunaan opoioida berulang kali dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan. Bila sudah terjadi ketergantungan terhadap opoioida, lalu jumlah penggunaan di kurangi atau di hentikan, maka akan timbul gejala putus zat ( withdrawal ). Pada umumnya, opoioida dikonsumsi melalui suntikan intravena, inhalasi, dicampur dalam rokok, tembakau, atau zat oral.
2.    Gambaran Klinis
Gambaran klinis pemakaian opoioida antara lain :
1)      Euforia awal diikuti oleh suatu periode sedasi, dikenal dengan istilah jalanan sebagai “nodding off’
2)      Euforik yang tinggi (“rush”)
3)      Rasa berat pada anggota gerak
4)      Mulut kering
5)      Wajah gatal (khususnya hidung)
6)      Kemerahan pada wajah
7)      Untuk orang awam yang pertama kali memakai opioida dapat menyebabkan disforia, mual, dan muntah
Efek flsik: depresi pernafasan, konstriksi pupil, kontraksi otot polos (termasuk ureter dan saluran empedu), konstipasi, perubahan tekanan darah, kecepatan denyut jantung dan temperatur tubuh.
3.    lntoksikasi dan Overdosis Oploida
-          Intoksikasi opioida ditandai dengan :
1.                   Pemakaian opioida yang belum lama terjadi
2.                   Perubahan perilaku maladaptif yang bermakna secara klinis
3.                   Perubahan mood
4.                   Retardasi psikomotor
5.                   Mengantuk
6.                   Bicara cadel (slurred speech).
7.                   Gangguan daya ingat dan perhatian

-          Gejala overdosis opioida ditandai dengan :
1)      Hilangnya responsivitas yang nyata
2)      Koma
3)      Pin point pupil
4)      Depresi pernafasan
5)      Hipotermia
6)      Hipotensi
7)      Bradikardia

4.    Putus Oploida
Gejala putus opioida ditandai dengan :
1)             Penghentian (atau penurunan) opioida yang telah lama atau berat
2)             Mood disforik
3)             Mual atau muntah
4)             Nyeri otot
5)             Lakrimasi atau rinorea
6)             Dilatasi pupil, piloreksi, atau berkeringat
7)             Diare
8)             Menguap
9)             Demam
10)         Insomnia

5.    Penatalaksanaan lntoksikasi, Overdosis, dan Putus Opioida
Ø  Penatalaksanaan intoksikasi opioida :
1)      Beri nalokson HCI (Narcan) sebanyak 0,2-0,4 mg atau 0,01 mg/kg berat badan secara intravena, intermuskular, atau subkutan.
2)      Bila belum berhasil, dapat diulang sesudah 3-10 menit sampai 2-3 kali.
3)      Oleh karena narcan mempunyai jangka waktu kerja hanya 2-3 jam, sebaiknya pasien tetap dipantau selama sekurang-kurangnya 24 jam bila pasien menggunakan heroin dan 72 jam bila pasien menggunakan metadon.
Waspada terhadap kemungkinan timbulnya gejala putus opioida akibat pemberian narcan.
Ø  Penatalaksanaan overdosis opoioida :
1)      Pastikan jalan nafas yang terbuka.
2)      Jaga tanda vital.
3)      Usahakan peredaran darah berjalan lancar: bila jantung berhenti berdenyut, lakukan masase jantung ekstemal dan berikan adrenalin intrakardial; bila terjadi fibrilasi, gunakan defifrilator; bila sirkulasi darah tidak memadai, beri infus 50 cc sodium bikarbonat (3,75 gr)guna mengatasi asidosis.
4)      Awasi kemungkinan terjadinya kejang.
5)      Bila tekanan darah tidak kunjung naik menjadi normal, pertimbangkan untuk memberi plasma expander atau vasopresor.
6)      Beri antagonis opiat, nalokson: 0,4 mg intravena. Dosis tersebut dapat diulang empat sampai lima kali dalam 30 sampai 45 menit pertama sampai menunjukkan respons yang adekuat.
7)      Observasi ketat dan awasi kemungkinan relaps ke keadaan semikoma dalam empat sampai lima jam.
Ø  Penatalaksanaan putus opioida dapat ditempuh melalui beberapa cara antara lain :
1)      Terapi putus opioida seketika (abrupt withdrawal), yaitu tanpa memberi obat apa pun. Pasien merasakan semua gejala putus opiolda. Terapi ini diberikan dengan harapan pasien akan jera dan tidak akan menggunakan opiolda lagi. Cara ini tidak disukai pasien, tidak efektif, dan hampir tidak pernah dilakukan lagi di fasilitas kesehatan.  
2)      Terapi putus opioida dengan terapi simtomatik: untuk menghilangkan rasa nyeri berikan analgetik yang kuat; untuk gelisah berikan tranquilizer, untuk mual dan muntah berikan antiemetik; untuk kolik berikan spasmolitik; untuk rinore berikan dekongestan; untuk insomnia berikan hipnotik; untuk memperbaiki kondisi badan dapat ditambahkan vitamin.
3)      Terapi putus opioida bertahap (gradual withdrawal): dengan memberikan opioida yang secara hukum boleh digunakan untuk pengobatan,misalnya morfin, petidin, kodein, atau metadon. Kebanyakan metadon digunakan secana oral. Biasanya diberikan dosis awal 10-40 mg, bergantung pada berat ringannya ketergantungan pasien terhadap opioida, diberikan dalam dosis terbagi (start low go slow). Pada hari kedua dan seterusnya, dosis dikurangi 10 mg setiap hari sampai jumlah dosis sehari 10 mg. Sesudah itu, diturunkan menjadi 5 mg sehari selama 1-3 hari
Buprenorfin juga dapat dipakai untuk detoksiflkasi dengan cara yang sama dengan metadon, dengan dosis awal 4-8 mg. Dapat pula dipakai kodein dengan dosis 3-4 kali sehari @ 60-100 mg. Dosis diturunkan 5-10 mg tiap hari menjadi 3-4 kali sehari @ 55mg dan seterusnya.
4)      Terapi putus opioida bertahap dengan substitut non-opioida, misalnya klonidin. Dosis yang diberikan 0,01 - 0,3 mg tiga atau empat kali sehari atau 17 mikrogram per kg berat badan per hari dibagi dalam tiga atau empat kali pemberian.
5)      Terapi dengan memberikan antagonis opioida di bawah anestesi umum (rapid detoxification). Gejala putus zat timbul dalam waktu pendek dan hebat, tetapi pasien tidak merasakan karena pasien dalam keadaan terbius. Keadaan ini hanya berlangsung sekitar enam jam dan perlu dirawat satu sampai dua hari.

6.    Terapi Pasca-detoksifikasi
Setelah detoksifikasi selesai, terapis harus memberitahukan bahwa proses penyembuhan belum selesai, pasien baru menyelesaikan tahap awal dan proses penyembuhan. Terapis harus senantiasa menyadarkan pasien bahwa perilaku penggunaan zat psikoaktif oleh pasien adalah perilaku yang merugikan kesehatan pasien, merugikan kehidupan sosial, dan merugikan keluarganya.
Sama seperti penyakit kronis lainnya, setelah diobati pasien harus mengubah pola hidupnya.Untuk mengubah perilaku, pasien masih harus mengikuti program pasca-detoksifikasi.Program pasca-detoksifikasi banyak ragamnya, yang pada umumnya menggunakan pendekatan farmakologi, non-farmakologi, konseling, dan psikoterapi. Bila pasien telah memutuskan akan mengikuti terapi pasca­detoksifikasi, terapis bersama pasien dan keluarganya membicarakan terapi pasca-detoksifikasi mana yang sesuai untuk pasien.
Keberhasilan terapi pasca-detoksifikasi sangat dipengaruhi oleh motivasi pasien.Pasien yang dapat menyelesaikan program terapi pasca-detoksiflkasi biasanya hasilnya lebih baik daripada mereka yang tidak menyelesaikan program tersebut.Kemungkinan kambuh lebih kecil, dan bila kambuh, terjadi setelah abstinensi yang lebih lama.Program terapi pasca-detoksiflkasi ada yang non panti dan panti.

7.    After Care 
After care adalah perawatan lanjutan bagi seseorang yang telah mengikuti program terapi yang terstruktur.Hal ini perlu dilakukan mengingat eks-pasien rentan terpapar pada lingkungan yang mendorong mereka untuk kembali menggunakannya. Seringkaii pula eks-pasien berharap terlalu cepat dan terlalu yakin diri bahwa ia mampu melepaskan dirinya dan kebiasaan menggunakan zat psikoaktif saat ini. Dalam after care ini, eks-pasien selalu dikuatkan kembali dan didukung terus-menerus agar tetap tidak menggunakan zat psikoaktif lagi.

FI2. GANGGUAN MENTAL dan PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN KANABINOIDA
     Gangguan mental atau penyakit kejiwaan adalah pola psikologis atau perilaku yang pada umumnya terkait dengan stres atau kelainan mental yang tidak dianggap sebagai bagian dari perkembangan normal manusia. Gangguan tersebut didefinisikan sebagai kombinasi afektif, perilaku, komponen kognitif atau persepsi yang berhubungan dengan fungsi tertentu pada daerah otak atau sistem saraf yang menjalankan fungsi sosial manusia. Penemuan dan pengetahuan tentang kondisi kesehatan mental telah berubah sepanjang perubahan waktu dan perubahan budaya, dan saat ini masih terdapat perbdaan tentang definisi, penilaan dan klasifikasi, meskipun kriteria pedoman standar telah digunakan secara luas. Lebih dari sepertiga orang di sebagian besar negara-negara melaporkan masalah pada satu waktu pada hidup mereka yang memenuhi kriteria salah satu atau beberapa tipe umum dari kelainan mental.
 Kanabinoid: Ganja
Ganja atau kanabis atau marihuana atau hasis, dengan zat psikoaktifnya adalah tetrahidrocannabinol (THC). Biasanya dipakai sebagai obat stress, cemas dan depresi. Di beberapa wilayah Indonesia, ganja dipakai sebagai penyedap makanan atau perangsang nafsu makan. Menurut UU nomor 5 tahun 1997 tentang Narkotika, jenis ini termasuk narkotika golongan 1 (satu). Penggunaan ganja hanya untuk tujuan ilmu pengetahuan.
● Intoksikasi: mata merah, detak jantung cepat, mulut kering, perasaan melambung / high, rasa percaya diri, depersonalisasi, dereliasi, elasi/ ketawa, halusinasi, inkoherensi, waham.
● Putus Zat: gejalanya ringan insomnia, mual, nafsu makan kurang, otot-otot terasa sakit, berkeringat, cemas, gelisah, bingung dan depresi. Pada pemakai awal / pemula biasanya dapat reaksi panik.
Ganja atau kanabis berasal dari tanaman cannabis sativa. Nama lainnya adalah charas, grass, dope, pot, weed, mull, bhang, dan hashish. Ganja telah digunakan berates-ratus tahun untuk kepentingan ritual. Efek psikoaktif ganja karena mengandung tetrahidrokanabinol atau THC.THC termasuk depresan SSP yang mempunyai efek halusinogenik. ada 3 bentuk kanabis yang disalahgunakan, yaitu mariuana daun atau bunga yang dikeringkan, harshish (resin THC) dan minyak harsish.
Sedemikian berbahayanya unsur THC dalam ganja itu, sehingga untuk orang yang baru pertama kali menyalahgunakan ganja saja, akan segera mengalami intoksikasi (keracunan) ganja yang secara fisik yaitu : jantung berdebar (denyut jantung menjadi bertambah cepat 50% dari sebelumnya), bola mata memerah (disebabkan pelebaran pembuluh darah kapiler pada bola mata), mulut kering (karena kandungan THC mengganggu sistem syaraf otonom yang mengendalikan kelenjar air liur), nafsu makan bertambah (karena kandungan THC merangsang pusat nafsu makan di otak), dan tertidur (setelah bangun dari tidur, dampak fisik akan hilang).
      Efek dari penggunaan ganja
1.      Efek ganja pada dosis rendah
Efek timbul setelah 2-3  jam setelah merokok ganja, yaitu berupa:
a.       Rilex, tenang, kalm, dan bahkan tertawa sendiri.
b.      Pada awal pemakaian merangsang nafsu makan (the munchies effect)
c.       Daya ingat berkurang atau hilang.
d.      Mata merah, dan tekanan darah turun.
2.      Efek ganja pada dosis besar
Dosis besar akan menimbulkan efek seperti diatas tetapi dengan intensitas yang lebih tinggi dan masih disertai efek lain seperti dingin, kelelahan, euphoria, halusinasi, gelisah, panic, dan paranoid.
3.      Efek jangka panjang
Dari berbagai penelitian, efek jangka panjang pemakaian ganja berupa:
a.       gangguan saluran pernapasan
pemakaian kanabisumumnya dirokok atau dihisap. Kanabis mengandung tar lebih banyak dibandingkan tembakau, maka perokok ganja akan lebih besar kemungkinannya terserang brongkhitis.
b.      Hilang motivasi
Pengguna ganja akan mengalami lemah fisik, halusinasi sehingga prestasi kerja atau belajar sangat menurun.
c.       Fungsi otak menurun
Kanabis dapat menghilangkan kemampuan mengingat, konsentrasi, dan dampaknya baru kembali setelahbeberapa bulan berhenti menggunakan.
d.      Gangguan hormone
Terjadi gangguan hormone reproduksi baik pada wanita atau laki-lakiyang dapat berakibat gairah seks menurun, menstruasi tidak teratur dan jumlah sperma menurun.
e.       Gangguan system saraf
Telah banyak ditemukan pengguna jangka panjang kanabis dapat mengalami psikosis (gangguan jiwa) yang ditandai dengan halusinasi, delusi, dan paranoid.
Penyebab narkoba disebabkan oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal:
1.      Faktor Internal
   Adalah faktor yang berasal dari diri seseorang.
a.       Keluarga : Jika hubungan dengan keluarga kurang harmonis (Broken Home) maka seseorang akan mudah merasa putus asa dan frustasi. Akibat lebih jauh, orang akhirnya mencari kompensasi diluar rumah dengan menjadi konsumen narkoba.
b.      Ekonomi : Kesulitan mencari pekerjaan menimbulkan keinginan untuk bekerja menjadi pengedar narkoba. Seseorang yang ekonomi cukup mampu, tetapi kurang perhatian yang cukup dari keluarga atau masuk dalam lingkungan yang salah lebih mudah terjerumus jadi pengguna narkoba.
c.       Kepribadian :Apabila kepribadian seseorang labil, kurang baik, dan mudah dipengaruhi orang lain maka lebih mudah terjerumus kejurang narkoba.
2.      Faktor Eksternal
Adalah faktor yang berasal dari luar seseorang, faktor yang cukup kuat untuk mempengaruhi seseorang.
a.       Pergaulan : Teman sebaya mempunyai pengaruh cukup kuat bagi terjerumusnya seseorang kelembah narkoba, biasanya berawal dari ikut-ikutan teman.  Terlebih bagi seseorang yang memiliki mental dan keperibadian cukup lemah, akan mudah terjerumus.
b.      Sosial /Masyarakat : Lingkungan masyarakat yang baik terkontrol dan memiliki organisasi yang baik akan mencegah terjadinya penyalahgunaan narkoba

F13.Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Sedativa atau Hipnotika
F14. Gangguan Mental danPerilaku akibat Penggunaan Kokain
• Multi Axial Diagnosis
Aksis I : F13.Gangguan mental dan perilaku akiba tpenggunaan sedative atau  hipnotika
F14. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain
Aksis II  : Z03.2 tidak ada diagnosis
Aksis III : tidak ada (none)
Aksis IV : tidak ada (none)
Aksis V : tergantung denganmgejala yang dialami pada kasus

A.Definisi
Penyalah gunaan NAPZA adalah pemakaian NAPZA yang bukan untuk tujuan pengobatan atau yang digunakan tanpa mengikuti aturan atau pengawasan dokter, digunakan secara berkali-kali, Kadang-kadang atau terus menerus, sering kali menyebabkan ketagihan atau ketergantungan, baik secara fisik/jasmani, maupun mental emosional sehingga menimbulkan gangguan fisik, mental- emosional dan fungsisosial.

B. Etiologi
1.          Faktor individu
Kebanyakan penyalah gunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebabremaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan.
2.      Faktor Lingkungan Fakto rlingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan, baik disekitar rumah, sekolah, teman sebaya maupu nmasyarakat.



3.      Faktor keluarga
Terutama faktor orang tua, antara lain :
  lingkungan keluarga,
• komunikasi orang tua – anak kurang baik/efektif,
• hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga,
• orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh, orang tua otoriter atau serba belarang,
• orang tua yang serba membolehkan (permisif),
• kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau  teladan,
• orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah NAPZA,
• tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah ( kurang konsisten )
• kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam keluarga.
• Orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalah guna NAPZA
• kurang disiplin, terletak dekat tempat hiburan dan penjual NAPZA,
• kurang member kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri.
• Ada murid yang menyalahgunakan NAPZA.
Lingkungan Teman Sebaya
• berteman dengan penyalahguna.
• Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar.
Lingkungan masyarakat/sosial
• Lemah nya penegakan hukum
• Situasi  politik, social dan ekonomi yang kurang mendukung
Faktor NAPZA
• Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga “terjangkau”,
• Banyak nya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba.
• Khasiat farmakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri, menidurkan, membuat euphoria/fly/stone/hogh/telerdan lain-lain.



C.Epidemiologi 
Menjelang akhir millennium kedua, diseluruh dunia terdapat 1.100.000.000 orang yang mengalami ketergantungan nikotin, 250.000.000 orang yang mengalami ketergantungan alkohol, dan 15.000.000 orang yang mengalami ketergantungan zatp sikoaktif lain.
Penggunaan zat psikoaktif terdapat padas emua golongan umur, pada kedua gender, pada semua golongan etnik, dan pada semuat ingka tsosial ekonomi. Namun demikian, terdapat kecenderungan tertentu seperti angka prevalensi yang berbeda-beda pada golongan umur, atau zat psikoaktif tertentu lebih banyak penggunanya pada kelompok tertentu.
D.ManifestasiKlinis
1.    Kokain
a. Gejala – gejala umum
1)      Agitasi psikomotor (perilakugelisah, tidakdapatdiam)
2)      Rasa gembira (elation)
3)      Rasa harga diri meningkat
4)      Banyak bicara
5)       Kewaspadaan menignkat (kecurigaan, prasangka buruk, paranoid)
6)      Jantung berdebar-debar
7)      Pupil mata melebar
8)      Berkeringat berlebihan atau memrasa kedinginan
9)      Mual/muntah
10)  Perilaku Maladaptif : Perkelahian, gangguan daya nilai realitas, gangguan dalam fungsi social dan pekerjaan
b. gejala putus zat
1)      Alam perasaan epresif  (murung, sedih, tidak dapat merasa senang, keinginan untuk bunuhdiri)
2)      Rasa letih, lesu, tidak berdaya, kehilangan semangat
3)      Gangguan tidur
4)      Gangguan mimpi bertambah
2.      Sedativa atau hipnotika
a. Gejala psikologik
1) Emosi labil
2) Hilangnya hambatan impuls seksual dan agresif
3) Mudah tersinggung
4) Banyak bicara (tidak nyambung)
b. Gejalaneurologik
1) Bicara cadel
2) Gangguan koordinasi
3) Cara jalan tida kmantap
4) Gangguan perhatian atau daya ingat
c. Efek perilaku maladaptive
1) Secara umum
a) Gangguan daya nilai realitas
b) Halangan dalam fungsi sosial/pekerjaan
c) Gagal bertanggung jawab
2) Secara khusus
a)      Mual/muntah
b)      Kelelahan unum atau kelebihan
c)      Hiperaktivitas autonomik  (mis: berdebar-ebar, tekanan darah naik, berkeringat )
d)     Kecemasan (rasa takut dan gelisah)
e)      Depresif atau iritabel (rasa murung, sedih, mudah tersinggung, dan marah)
f)        Hipotensi orostatik (tekanan darah rendah)
g)      Tremor kasar pada tangan, lidah dan kelopak mata






E. FaktorResiko
1.      Konflik keluarga yang berat
2.      Kesulitan Akademik
3.      Adanya komorbiditas dengan gangguan psikiatrik lain, seperti gangguan tingkah laku dan depresi.
4.      Penyalah gunaan NAPZA oleh orang –tua dan teman
5.      Impulsivitas
6.      Merokok pada usia terlalu muda.

F. Patogenesis dan Patofisiologi
faktor predisposisi faktor kontribusi
1.      Gangguan Kepribadian
2.      Kondisi Keluarga antisocial
3.      Kecemasan
4.       Depresi

G. Pemeriksaan tambahan
Diagnosis penggunaan NAPZA pada remaja dimua tmelalui wawancara yang hati -hati, observasi, temuan laboratorium, dan riwayat yang diberikan oleh sumber yang dapat dipercaya.

H. Diagnosis Banding
Gangguan yang disebabkan oleh zat psikotik lainnya, antara lain :
1.      gangguan mental dan perilaku akiba tpenggunaan alcohol
2.      gangguan mental dan perilaku akibat opioida
3.      gangguan mental dan perilaku akibat kanabinoida

I. Penatalaksanaan
Tujuan Terapi dan Rehabilitas
1.      Abstinensia atau menghentikan sama sekali penggunaan NAPZA
2.      Pengurungan frekuensi dan keparahan relaps (kekambuhan). Sasaran utamanya adalah pencegahan kekambuhan. Pelatihan relapse prevention programme, program terapi kognitif, opiate antaginist maintenance therapy dengan naltrexon merupakan beberapa alternative untuk mencegah kekambuha
3.      Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi social. Dalam kelompok ini, abstinesia bukan merupakan sasaran utama. Terapi rumatan (maintenance) metadon merupakan pilihan untuk mencapai sasaran terapi golongan ini.
·         Penanganan gawat darurat :
    Pada kondisi over dosis sedativa, stimulansia, opiate atau halusinogen biasanya akan dibawa keruang gawat darurat. Remaja yang dibawa keruang gawat darurat dalam keadaan perilaku kacau, Psikosis akut, koma, kolaps saluran pernafasan atau peredaran darah, biasanya karena overdosis obat-obatan .Keadaan ini dapat menjadi fatal bila salah diagnosis atau mendapat penanganan yang tidak tepat. Oleh karena itu tenaga medis dan paramedis yang bekerja diruang gawa tdarurat haruslah mempunyai pengetahuan tentangobat-obatan yang sering dipakai oleh penyalah guna NAPZA dan mampu mengatasi intoksikasi yang disebabkan olehberbagai macam zat tersebut. Contoh : Naloxone, antagonisopiat, diberikan pada intoksikasiopiat akut, dengan dosis 0,1 mg/kg i.m. atau i.v. setiap 2 – 4 jam selama masih dibutuhkan.
·         Terapi dan Referal
Program terapi untuk pasienr awat – inap dan rawat-jalan bagi remaja dengan penyalah gunaan NAPZA cukup banyak macamnya. Program yang komprehenti fsangat diperlukan untuk remaja denga nketergantungan zat. Kebanyakan program ini memberikan konseling atau psikoterapi, disertai dengan teknik farmakoterapi, misalnya dengan menggunakan methadone, namun ada juga yang memakai pendekatan bebas-obat (drug–freeapproach). Keberhasilan berbagai metode pendekatan juga sangat tergantung pada kondisi remaja itu sendiri, akut – kronis, lamanya pemakaian NAPZA, jenis NAPZA yang dipakai ,juga kondisi keluarga. Untuk pencegahan terjadiny apenyalah gunaan NAPZA sebaiknya diberikan penyuluhan kepad amasyarakat luastentang NAPZA dan berbagai persoalan yang ditimbulkan nya.Usaha ini juga dapat dipakai sebagai deteksi dini penyalahgunaan NAPZA oleh anggota keluarga dan masyarakat.

J. Komplikasi
1.      Toleransi dan ketergantungan
2.      Gangguan dan perubahan mood
3.      Gangguan daya ingat dan perhatian


F.15 Gangguan Mental Dan Perilaku Akibat Penggunaan Stimulansia Lain Termasuk Kafein
keadaan putus stimulan lain termasuk, kafein
kriteria diagnostik:
a.       Harus memenuhi kriteria umum keadaan putus zat
b.      Terdapat suasana perasaan disforia ( misalnya,kesedihan atau anhedonia
c.       Terdapat dua dari gejala dibawah ini:
1.      Lesu dan letih
2.      Hambatan psikomotor atau agitasi
3.      Keinginan kuat untuk mengkonsumsi stimulansia
4.      Nafsu makan bertambah
5.      Insomnia atau hipersomnia
6.      Mimpi bizare atau yang tidak menyenangkan
Catatan tidak dikenal adamya keadaan putus halusinogen
F.16 Gangguan Mental Dan Perilaku Akibat Penggunaan Halusinogenika
 intoksikasi akut halusinogen
kriteria diagnostik:
a.       Harus memenuhi kriteria umum intoksikasi
b.      Harus ada disfungsi perilaku atau persepsi tidak normal yang dibuktikan dengan adanya paling sedikit satu dari gejala dibawah ini:
1.      Kecemasan dan ketakutan
2.      Ilusi pendengaran, penglihatan atau perabaan, atau halusinasi dalam keadaan terjaga dan sadar
3.      Depersonalisasi
4.      Derealisasi
5.      Ide paranoid
6.      Keyakinan bahwa dirinya menjadi pusat perhatian atau pembicaraan orang
7.      Suasanan perasaan yang labil
8.      Hiperaktif
9.      Impulsif
10.  Gangguan memusatkan perhatian
11.  Interferensi fungsi personal
c.       Harus ada paling sedikit dua dari gejala dibawah ini:
1.      Denyut jantung cepat
2.      Berdebar-debar
3.      Berkeringat dan menggigil
4.      Tremor
5.      Penglihatan kabur
6.      Pupil melebar
7.      Gangguan koordinasi





DAFTAR PUSTAKA

Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, edisi ketujuh, jilid satu. Binarupa Aksara, Jakarta 1997. hal 502-540.
Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M, Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam, cetakan ke dua, Penerbit Buku kedokteran, Jakarta 1995. hal 28-42.
Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, jilid 1. Penerbit Media Aesculapsius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2001. hal 189-192.
Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, RusdiMaslim.1993. hal 3
Maramis. W.F, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan ke VI, Airlangga University Press, Surabaya 1992. hal 179-211
Declerg. L. 1994. Tingkah Laku Abnormal, Sudut Pandang Perkembangan. Jakarta: Grasindo
Soekadji, S. 1990. Pengantar Psikologi.Jakarta
Sulistyaningsih. 2002. Psikologi Abnormal dan Psikopatologi. Malang: STIT Malang 
Davidson, Gerald C. Psikologi Abnormal. 2006. Abnormal Psychology. Telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Psikologi Abnormal oleh Noermalasari Fajar. Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

 




·          

1 comment: