F00
DIMENSIA PADA PENYAKIT ALZHEIMER
PENGERTIAN
Penyakit degenerative pada otak yang progresif
dengan etiologi tidak diketahui ditandai atrofi difus di seluruh korteks
serebri dengan lesi senile plaque dan neurofibrillary tangles
Pengkajian
Diagnostik
·
Terdapat gejala
dimensia
·
Onset bertahap (insidious
onset) dengan deteriorasi lambat.
Onset biasanya sulit di
tentukan waktunya yang persis, tiba-tiba orang lain sudah menyadari Adanya kelainan
tersebut. Dalam perjalanan penyakitnya dapat terjadi suatu taraf yang stabil (plateau)
secara nyata.
·
Tidak adanya bukti
klinis, atau temuan dari pemeriksaan khusus, yang menyatakan bahwa Kondisi
mental itu dapat disebabkan oleh penyakit otak atau sistemik lain yang
menimbulkan Demensia (misalnya hipotiroidisme, hiperkalsemia, defisiensi
vitamin B12, defisiensi niasin, neurosifilis, hidrosefalus bertekanan normal,
atau hematoma sudural)
·
Tidak adanya serangan
apoplektik mendadak, atau gejala neurologik kerusakan otak fokal seperti hemiparesis,
hilangnya daya sensorik, defek lapang pandang mata, dan inkoordinasi yang
terjadi dalam masa dini dari gangguan itu (walaupun fenomena ini di kemudian
hari dapat bertumpang tindih).
Diagnosa Banding
:
-
Gangguan Depresif
(F30-F39)
-
Delirium (F05)
-
Sindrom Amnestik
Organik (F04)
-
Demensia penyakit lain
YDK (F02.-)
-
Demensia sekunder
penyakit lain YDK (F02.8)
-
Retardasi Mental
(F70-F72)
-
Demensia Alzheimer +
Vaskuler (F00.2)
F00.0 Demensia pada Penyakit Alzheimer Onset Dini
Pedoman
Diagnostik
·
Demensia yang onsetnya
sebelum usia 65 tahun.
·
Perkembangan gejala
cepat dan progresif (deteriorasi).
·
Adanya riwayat keluarga
yang berpenyakit Alzheimer merupakan faktor yang menyokong diagnosis tetapi
tidak harus dipenuhi.
F00.1 Demensia
pada Penyakit Alzheimer Onset Lambat
·
Sama tersebut diatas,
hanya onset sesudah usia 65 tahun dan perjalanan penyakit yang lamban dan
biasanya dengan gangguan daya ingat sebagai gambaran utamanya
F00.2 Demensia
pada Penyakit Alzheimer, Tipe Tak Khas atau Tipe Campuran (atypical or mixed
type)
·
Yang tidak cocok dengan
pedoman untuk F00.0 atau F00.1, Tipe Campuran adalah demensia alzheimer +
vaskuler
F00.9 Demensia
pada Penyakit Alzheimer YTT (unspecified)
DEMENSIA VASKULER
(F 01)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Menurut WHO,
demensia adalah sindrom neurodegeneratif yang timbul karena adanya kelainan
yang bersifat kronis dan progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur
multipel seperti kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan mengambil keputusan.
Kesadaran pada demensia tidak terganggu. Gangguan fungsi kognitif biasanya
disertai dengan perburukan kontrol emosi, perilaku dan motivasi.
Demensia vaskular
adalah bentuk demensia kedua terbanyak setelah penyakit Alzheimer. Ia merupakan
sindrom yang berhubungan dengan mekanisme vaskular yang berbeda. Demensia
vaskular dapat dicegah dengan deteksi dini dan diagnosis yang tepat adalah
penting.
Pasien yang pernah
mengalami stroke mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk demensia vaskular.
Baru-baru ini, lesi vaskular diduga telah memainkan peran dalam penyakit
Alzheimer.
Pada 1899,
arterosklerosis dan demensia senilis telah dinyatakan sebagai sindrom yang
berbeda. Pada 1969, Mayer-Gross dkk melaporkan bahwa hipertensi adalah penyebab
demensia pada 50% pasien. Pada 1974, Hachinski dkk menemukan istilah demensia
multi-infark. Pada 1985, Lob menggunakan istilah yang lebih luas yaitu demensia
vaskular.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Demensia vaskular
adalah penurunan kognitif dan kemunduran fungsional yang disebabkan oleh
penyakit serebrovaskuler, biasanya stroke hemoragik dan iskemik, juga
disebabkan oleh penyakit substansia alba iskemik atau sekuale dari hipotensi
atau hipoksia.
Baru-baru ini
terdapat kontroversi dalam diagnosis demensia vaskuler. Pada abad ke 20,
demensia pada orang lanjut usia diduga berasal dari vaskular tetapi penelitian
autopsi dan neuroimaging modern menunjukkan banyak kasus demensia pada orang
lanjut usia di Eropa dan Amerika Utara adalah dampak dari penyakit Alzheimer.
Walaupun begitu, beberapa individu mengalami gangguan kognitif sebagai akibat
dari stroke. Kebanyakan dari pasien ini menunjukkan tanda klinis seperti afasia
atau disfungsi visual dan defisit neurologis ini jarang dikelirukan dengan
penurunan kognitif karena demensia.
Banyak orang lanjut
usia dengan penurunan kognitif yang progresif mempunyai vaskular yang patologi
dan perubahan yang berhubungan dengan Alzheimer secara bersamaan. Pada pasien
ini, terdapat kombinasi patologi penyakit Alzheimer dan vaskular sehingga sukar
untuk menentukan penyebab prinsip dari demensia.
B. EPIDEMIOLOGI
1.
Internasional
-
Demensia vaskular merupakan penyebab demensia yang kedua
tertinggi di Amerika Serikat dan Eropa, tetapi merupakan penyebab utama di
beberapa bagian di Asia.
-
Kadar prevalensi demensia vaskular 1,5% di negara Barat
dan kurang lebih 2,2% di Jepang
-
Di Jepang, 50% dari semua jenis demensia pada individu
berumur lebih dari 65 tahun adalah demensia vaskular.
-
Di Eropa, demensia vaskular dan demensia kombinasi
masing-masing 20% dan 40% dari kasus. Di Amerika Latin, 15% dari semua demensia
adalah demensia vaskular
-
Kadar prevalensi demensia adalah 9 kali lebih besar pada
pasien yang telah mengalami stroke berbanding yang terkontrol. Setahun pasca
stroke, 25% pasien mengalami demensia awitan baru. Dalam waktu 4 tahun
berikutnya, resiko relatif kejadian demensia adalah 5,5%.
2.
Jenis kelamin
Demensia vaskular paling sering pada laki-laki, khususnya
pada mereka dengan hipertensi yang telah ada sebelumnya atau faktor risiko
kardiovaskular lainnya.
3.
Umur
Insiden meningkat sesuai dengan peningkatan umur.
C. ETIOLOGI
Penyebab
utama dari demensia vaskular adalah penyakit serebrovaskular yang multipel,
yang menyebabkan suatu pola gejala demensia. Gangguan terutama mengenai
pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang, yang mengalami infark
menghasilkan lesi parenkim multipel yang menyebar pada daerah otak yang luas.
Penyebab infark termasuklah oklusi pembuluh darah oleh plak arteriosklerotik
atau tromboemboli dari
tempat asal yang jauh seperti katup jantung. Pada pemeriksaan, ditemukan bruit
karotis, kelainan funduskopi, atau pembesaran kamar jantung.Selain itu, faktor resiko demensia vaskular adalah
:
1. Usia lanjut
2. Hipertensi
3. Merokok
4. Penggunaan alkohol kronis
5. Aterosklerosis
6. Hiperkolesterolemia
7. Homosistein plasma
8. Diabetes melitus
9. Penyakit kardiovaskular
10. Penyakit infeksi SSP kronis (meningitis, sifilis dan HIV)
11. Pajanan kronis terhadap logam (keracunan merkuri, arsenik
dan aluminium.
12. Penggunaan obat-obatan (termasuklah obat sedatif dan
analgetik) jangka panjang
13. Tingkat pendidikan yang rendah
14. Riwayat keluarga mengalami demensia
Sindrom genetik yang jarang juga dapat menyebabkan
demensia vaskular.
Penyakit
|
Kromosom
|
Gen
|
Arteriopati autosomal dominant serebral dengan infark
subkortikal dan leukoencephalopathy (CADASIL)
|
19
|
Notch3
|
Angiopati amiloid serebral (CAA)
|
21
|
Protein prekursor
β-amyloid (βAPP)
|
Ensefalomiopati mitokondrial dengan asidosis laktat dan
episod seperti stroke (MELAS)
|
Mitokondrial (mtDNA)
|
tRNA Leu(UUR)
|
D. KLASIFIKASI
Berbagai subtipe demensia vaskular yaitu:
1. Demensia vaskular onset akut (F
01.0)
Biasanya
terjadi secara cepat sesudah serangkaian “stroke” akibat trombosis
serebrovaskuler, embolisme, atau perdarahan. Pada kasus-kasus yang jarang, satu
infark yang besar dapat sebagai penyebabnya.
2. Demensia multi-infark
(F 01.1)
Onsetnya
lebih lambat, bisanya stelah serangkaian episode iskemik minor yang menimbulkan
akumulasi dari infark pada parenkim otak.
3. Demensia vaskular subkortikal
(F 01.2)
Fokus
kerusakan akibat iskemia pada substansia albadi hemisfer serebral, yang dapat
diduga secara klinis dan dibuktikan dengan CT-Scan. Korteks serebri biasanya
tetap baik, walaupun demikian gambaran klinis masih mirip dengan demensia pada
penyakit Alzheimer.
4. Demensia vaskular campuran
kortikal dan subkortikal
(F 01.3)
Komponen
campuran kortikal dan subkortikal dapat diduga dari gambaran klinis, hasil
pemeriksaan (termasuk autopsi) atau keduanya.
5. Demensia vaskular lainnya.
6. Demensia vaskular YTT (yang
tidak tergolongkan).
Semua bentuk
demensia adalah dampak dari kematian sel saraf dan/atau hilangnya komunikasi
antara sel-sel ini. Otak manusia sangat kompleks dan banyak faktor yang dapat
mengganggu fungsinya. Beberapa penelitian telah menemukan faktor-faktor ini
namun tidak dapat menggabungkan faktor ini untuk mendapatkan gambaran yang jelas
bagaimana demensia terjadi.
Pada demensia
vaskular, penyakit vaskular menghasilkan efek fokal atau difus pada otak dan
menyebabkan penurunan kognitif. Penyakit serebrovaskular fokal terjadi sekunder
dari oklusi vaskular emboli atau trombotik. Area otak yang berhubungan dengan
penurunan kognitif adalah substansia alba dari hemisfera serebral dan nuklei
abu-abu dalam, terutama striatum dan thalamus.
Mekanisme demensia
vaskular yang paling banyak adalah infark kortikal multipel, infark single
strategi dan penyakit pembuluh darah kecil.
1. Demensia multi-infark: kombinasi efek dari infark yang
berbeda menghasilkan penurunan kognitif dengan menggangu jaringan neural.
2. Demensia infark single: lesi area otak yang berbeda
menyebabkan gangguan kognitif yang signifikan. Ini dapat diperhatikan pada kasus
infark arteri serebral anterior, lobus parietal, thalamus dan satu girus.
3. Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan 2 sindrom
major, penyakit Binswanger dan status lakunar. Penyakit pembuluh darah kecil
menyebabkan perubahan dinding arteri, pengembangan ruangan Virchow-Robin dan
gliosis parenkim perivaskular.
4. Penyakit lakunar disebabkan oleh oklusi pembuluh darah
kecil dan menghasilkan lesi kavitas kecil di otak akibat dari oklusi cabang
arteri penetrasi yang kecil. Lakunae ini ditemukan lebih sering di kapsula
interna, nuklei abu-abu dalam, dan substansia alba. Status lakunar adalah
kondisi dengan lakunae yang banyak, mengindikasikan adanya penyakit pembuluh
darah kecil yang berat dan menyebar.
5. Penyakit Binswanger (juga dikenal sebagai leukoencephalopati
subkortikal) disebabkan oleh penyakit substansia alba difus. Pada penyakit ini,
perubahan vaskular yang terjadi adalah fibrohialinosis dari arteri kecil dan
nekrosis fibrinoid dari pembuluh darah otak yang lebih besar.
F. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala
kognitif pada demensia vaskular selalunya subkortikal, bervariasi dan biasanya
menggambarkan peningkatan kesukaran dalam menjalankan aktivitas harian seperti
makan, berpakaian, berbelanja dan sebagainya. Hampir semua kasus demensia vaskular
menunjukkan tanda dan simptom motorik. Tanda dan gejala fisik:
- Kehilangan memori, pelupa
- Lambat berfikir (bradifrenia)
- Pusing
- Kelemahan fokal atau diskoordinasi satu atau lebih
ekstremitas
- Inersia
- Langkah abnormal
- Konsentrasi berkurang
- Perubahan visuospasial
- Penurunan tilikan
- Defisit pada fungsi eksekutif seperti kebolehan untuk
inisiasi, merencana dan mengorganisasi
- Sering atau Inkontinensia urin dan alvi. Inkontinensia
urin terjadi akibat kandung kencing yang hiperefleksi.
Tanda dan gejala perilaku:
- Perbicaraan tidak jelas
- Gangguan bahasa
- Depresi
- Berhalusinasi
- Tidak familiar dengan persekitaran
- Berjalan tanpa arah yang jelas
- Menangis dan ketawa yang tidak sesuai. Disfungsi serebral
bilateral menyebabkan inkontinensi emosional (juga dikenal sebagai afek
pseudobulbar)
- Sukar menurut perintah
- Bermasalah dalam menguruskan uang
1. Anamnesis
a. Riwayat kesehatan
Ditanyakan faktor resiko demensia vaskular seperti
hipertensi, Diabetes melitus dan hiperlipidemia. Juga riwayat stroke atau
adanya infeksi SSP.
b. Riwayat obat-obatan dan alkohol
Adakah penderita peminum alkohol yang kronik atau
pengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan fungsi kognitif seperti
obat tidur dan antidepresan golongan trisiklik.
c. Riwayat keluarga
Adakah keluarga yang mengalami demensia atau riwayat
penyakit serebrovaskular.
2. Pemeriksaan
fisik
Pada demensia, daerah motorik, piramidal dan
ekstrapiramidal ikut terlibat secara difus maka hemiparesis atau monoparesis
dan diplegia dapat melengkapkan sindrom demensia. Apabila manifestasi gangguan
korteks piramidal dan ekstrapiramidal tidak nyata, tanda-tanda lesi organik
yang mencerminkan gangguan pada korteks premotorik atau prefrontal dapat
membangkitkan refleks-refleks. Refleks tersebut merupakan petanda keadaan
regresi atau kemunduran kualitas fungsi.
a. Refleks memegang (grasp
reflex). Jari telunjuk dan tengah si pemeriksa diletakkan pada telapak
tangan si penderita. Refleks memegang adalah positif apabila jari si pemeriksa
dipegang oleh tangan penderita
b. Refleks glabela. Orang dengan demensia akan memejamkan
matanya tiap kali glabelanya diketuk. Pada orang sehat,pemejaman mata pada
ketukan berkali-kali pada glabela hanya timbul dua tiga kali saja dan
selanjutnya tidak akan memejam lagi
c. Refleks palmomental. Goresan pada kulit tenar membangkitkan
kontraksi otot mentalis ipsilateral pada penderita dengan demensia
d. Refleks korneomandibular. Goresan kornea pada pasien
dengan demensia membangkitkan pemejaman mata ipsilateral yang disertai oleh
gerakan mandibula ke sisi kontralateral
e. Snout
reflex. Pada penderita
dengan demensia setiap kali bibir atas atau bawah diketuk m. orbikularis oris
berkontraksi
f. Refleks menetek (suck
reflex). Refleks menetek adalah positif apabila bibir penderita dicucurkan
secara reflektorik seolah-olah mau menetek jika bibirnya tersentuh oleh sesuatu
misalnya sebatang pensil
g. Refleks kaki tonik. Pada demensia, penggoresan pada
telapak kaki membangkitkan kontraksi tonik dari kaki berikut jari-jarinya.
3. Pemeriksaan MMSE
Alat skrining kognitif yang biasa digunakan adalah
pemeriksaan status mental mini atau Mini-Mental State Examination (MMSE).
Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui kemampuan orientasi, registrasi,
perhatian, daya ingat, kemampuan bahasa dan berhitung. Defisit lokal ditemukan
pada demensia vaskular sedangkan defisit global pada penyakit Alzheimer.
MMSE Folstein (lihat lampiran):
Pertanyaan
|
Skor maksimum
|
|
Orientasi
|
Pertama, tanya pasien tanggal, hari, bulan, tahun dan
musim.
|
5
|
Kedua ditanyakan lokasi sekarang seperti fasilitas,
lantai, bandar, provinsi dan negara.
|
5
|
|
Registrasi
|
Namakan 3 objek (seperti bola, bendera, pintu) dan
minta pasien untuk mengulanginya
|
3
|
Atensi
|
Minta pasien untuk mengeja perkataan ‘dunia’ secara
terbalik atau menolak 7 dari 100 secara berurutan (berhenti setelah 5
jawaban).
|
5
|
Daya ingat
|
Minta pasien untuk mengingat 3 objek dari bagian
registrasi tes ini
|
3
|
Bahasa
|
Minta pasien untuk mengidentifikasi pensil dan arloji
|
2
|
Minta pasien untuk mengulang frasa ‘tidak jika, dan,
tetapi’
|
1
|
|
Minta pasien untuk mengikut arahan sebanyak 3-langkah
|
3
|
|
Minta pasien untuk membaca dan mematuhi frasa ‘tutup
mata anda’
|
1
|
|
Minta pasien untuk menulis satu ayat
|
1
|
|
Minta pasien untuk mengkopi satu set pentagon yang
saling bertindih.
|
1
|
|
Skor
|
30
|
Skoring: skor
maksimum yang mungkin adalah 30. Umumnya skor yang kurang dari 24 dianggap
normal. Namun nilai batas tergantung pada tingkat edukasi seseorang pasien.
Oleh karena hasil untuk pemeriksaan ini dapat berubah mengikut waktu, dan untuk
beberapa inidividu dapat berubah pada siang hari, rekamlah tanggal dan waktu
pemeriksaan ini dilakukan.
4. Kriteria diagnostik
a. Kriteria Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders, fourth edition, text revision
(DSM-IV-TR)
b. Skor iskemik Hachinski
c. Kriteria theNational
Institute of Neurological Disorders and Stroke-Association International pour
la Recherché at L'Enseignement en Neurosciences (NINDS-AIREN).
H. DIAGNOSA BANDING
1. Penyakit Alzheimer
Biasanya demensia vaskular telah dibedakan dari demensia
tipe Alzheimer denganpemburukan yang mungkin menyertai penyakit serebrovaskular
selama satu periode waktu. Walaupun pemburukan yang jelas dan bertahap mungkin
tidak ditemukan pada semua kasus, gejala neurologis fokal adalah lebih sering
pada demensia vaskular dibandingkan pada demensia tipe Alzheimer, demikian juga
faktor risiko standar untuk penyakit serebrovaskular.
Berikut adalah perbandingan antara demensia vaskular dan
penyakit Alzheimer.
Gejala klinik
|
Demensia vaskular
|
Penyakit Alzheimer
|
Riwayat penyakit atherosklerosis
|
TIA, stroke, faktor resiko aterosklerosis seperti
Diabetes melitus, hipertensi
|
Kurang
|
Onset
|
Mandadak atau bertahap
|
Bertahap
|
Progresivitas
|
Perlahan atau bertahap seperti tangga
|
Penurunan perlahan dan progresif
|
Pemeriksaan neurologi
|
Defisit neurologi
|
Normal
|
Langkah
|
Selalu terganggu
|
Biasanya normal
|
Memori
|
Kemunduran ringan pada fase awal
|
Prominen pada fase awal
|
Fungsi eksekutif
|
Dini dan kemunduran yang nyata
|
Kemunduran lambat
|
Skor iskemik Hachinski
|
≥7
|
≤4
|
Neuroimaging
|
Infark atau lesi substansia alba
|
Normal atau atrofi hipokampus
|
2. Penurunan kognitif akibat usia
Apabila usia meningkat, terjadi kemunduran memori yang
ringan. Volume otak akan berkurang dan beberapa sel saraf atau neurons akan
hilang.
3. Depresi
Biasanya orang yang depresi akan pasif dan tidak
berespon. Kadang-kadang keliru dan pelupa.
4. Delirium
Adanya kekeliruan dan perubahan status mental yang cepat.
Individu ini disorientasi, pusing, inkoheren. Delirium disebabkan keracunan
atau infeksi yang dapat diobati. Biasanya sembuh sempurna setelah penyebab yang
mendasari diatasi
5. Kehilangan memori
Antara
penyebab kehilangan memori yang lain adalah:
a. Malnutrisi
b. Dehidrasi
c. Fatigue
d. Depresi
e. Efek samping obat
f. Gangguan metabolik
g. Trauma kepala
h. Tumor otak jinak
i. Infeksi bakteri atau virus
j. Parkinson
I. PENATALAKSANAAN
1. Tujuan penatalaksanaan demensia vaskular adalah:
a. Mencegah terjadinya serangan stroke baru
b. Menjaga dan memaksimalkan fungsi saat ini
c. Mengurangi gangguan tingkah laku
d. Meringankan beban pengasuh
e. Menunda progresifitas ke tingkat selanjutnya
2. Penatalaksanaan terdiri dari non-medikamentosa dan
medikamentosa:
a. Non-Medikamentosa
- Memperbaiki memori
The Heart and Stroke Foundation of Canada mengusulkan
beberapa cara untuk mengatasi defisit memori dengan lebih baik
·
Membawa
nota untuk mencatat nama, tanggal, dan tugas yang perlu dilakukan. Dengan ini
stres dapat dikurangkan.
·
Melatih
otak dengan mengingat kembali acara sepanjang hari sebelum tidur. Ini dapat
membina kapasiti memori
·
Menjauhi
distraksi seperti televisyen atau radio ketika coba memahami mesej atau
instruksi panjang.
·
Tidak
tergesa-gesa mengerjakan sesuatu hal baru. Coba merencana sebelum melakukannya.
·
Banyak
besabar. Marah hanya akan menyebabkan pasien lebih sukar untuk mengingat
sesuatu. Belajar teknik relaksasi juga berkesan.
- Diet
Penelitian di Rotterdam mendapati terdapat peningkatan
resiko demensia vaskular berhubungan dengan konsumsi lemak total. Tingkat
folat, vitamin B6 dan vitamin B12 yang rendah juga berhubungan dengan
peningkatan homosisteine yang merupakan faktor resiko stroke.
b. Medikamentosa
- Mencegah demensia vaskular memburuk
· Aspirin: mencegah platelet-aggregating thromboxane A2
dengan memblokir aksi prostaglandin sintetase seterusnya mencegah sintesis prostaglandin
· Tioclodipine: digunakan untuk pasien yang tidak toleransi
terhadap terapi aspirin atau gagal dengan terapi aspirin.
· Clopidogrel bisulfate: obat antiplatlet yang menginhibisi
ikatan ADP ke reseptor platlet secara direk.
· Pentoxifylline dan ergoid mesylate (Hydergine) dapat
meningkatkan aliran darah otak. Dalam satu penelitian yang melibatkan 29 pusat
di Eropa, perbaikan intelektual dan fungsi kognitif dalam waktu 9 bulan
didapatkan. Di European Pentoxifylline Multi-Infarct Dementia Study, pengobatan
dengan pentoxifylline didapati berguna untuk pasien demensia multi-infark.
-
Memperbaiki
fungsi kognitif dan simptom perilaku
Obat untuk penyakit
Alzheimer yang memperbaiki fungsi kognitif dan gejala perilaku dapat juga
digunakan untuk pasien demensia vaskular.
Obat-obat demensia adalah seperti berikut:
Nama obat
|
Golongan
|
Indikasi
|
Dosis
|
Efek samping
|
Donepezil
|
Penghambat kolinesterase
|
Demensia ringan-sedang
|
Dosis awal 5 mg/hr, setelah 4-6 minggu menjadi 10 mg/hr
|
Mual, muntah, diare, insomnia
|
Galantamine
|
Penghambat kolinesterase
|
Demensia ringan-sedang
|
Dosis awal 8 mg/hr, setiap bulan dinaikkan 8 mg/hr sehingga dosis maksimal
24 mg/hr
|
Mual, muntah, diare, anoreksia
|
Rivastigmine
|
Penghambat kolinesterase
|
Demensia ringan-sedang
|
Dosis awal 2 x 1.5 mg/hr. Setiap bulan dinaikkan 2 x 1.5 mg/hr hingga
maksimal 2 x6mg/hr
|
Mual, muntah, pusing, diare, anoreksia
|
Memantine
|
Penghambat reseptor NMDA
|
Demensia sedang-berat
|
Dosis awal 5 mg/hr, stelah 1 minggu dosis dinaikkan menjadi 2x5 mg/hr
hingga maksimal 2 x 10 mg/hr
|
Pusing, nyeri kepala, konstipasi
|
Gangguan perilaku
|
Nama obat
|
Dosis
|
Efek samping
|
Depresi
|
Sitalopram
|
10-40 mg/hr
|
Mual, mengantuk, nyeri kepala, tremor
|
Esitalopram
|
5-20 mg/hr
|
Insomnia, diare, mual, mulut kering, mengantuk
|
|
Sertralin
|
25-100 mg/hr
|
Mual, diare, mengantuk, mulut kering, disfungsi seksual
|
|
Agitasi, ansietas, perilaku obsesif
|
Quetiapin
|
25-300 mg/hr
|
Mengantuk, pusing, mulut kering, dispepsia
|
Olanzapin
|
2,5-10 mg/hr
|
Meningkat berat badan, mulut kering, pusing, tremor
|
|
Risperidon
|
0,5-1 mg, 3x/hr
|
Mengantuk, tremor, insomnia, pandangan kabur, nyeri
kepala
|
|
Insomnia
|
Zolpidem
|
5-10 mg malam hari
|
Diare, mengantuk
|
Trazodon
|
25-100 mg malam hari
|
Pusing, nyeri kepala, mulut kering, konstipasi
|
1. RAWAT INAP
Jika pasien yang depresi tidak menunjukkan respon
terhadap pengobatan atau depresi berat (seperti mencoba untuk membunuh diri),
terapi elektrokonvulsif diindikasikan.
Pada demensia yang terus berlanjut, perubahan perilaku
yang lebih berat seperti agitasi, agresi, berjalan tanpa arah jelas, gangguan
tidur dan perilaku seksual yang abnormal diobservasi. Sebaiknya pasien
ditempatkan di institusi khusus apabila masalah perilaku tidak terkawal,
aktivitas harian sangat memerlukan bantuan atau penjaga tidak lagi mampu
menjaga pasien.
2. RAWAT JALAN
Follow up yang reguler setiap 4-6 bulan direkomendasikan
untuk menilai kondisi umum pasien dan gejala kognitif. Pengobatan faktor resiko
seperti hipertensi, hiperkolesterolemia dan diabetes melitus juga memerlukan
perhatian khusus.
K. PROGNOSIS
2. Beberapa pasien dapat mengalami beberapa siri stroke dan
kemudian bebas stroke selama beberapa tahun jika diterapi untuk modifikasi
faktor resiko dari stroke.
3. Berdasarkan beberapa penelitian, demensia vaskular dapat
memperpendek jangka hayat sebanyak 50% pada lelaki, individu dengan tingkat
edukasi yang rendah dan pada individu dengan hasil uji neurologi yang memburuk
4. Penyebab kematian adalah komplikasi dari demensia,
penyakit kardiovaskular dan berbagai lagi faktor seperti keganasan.
F02.0
Demensia pada Penyakit Pick
Pedoman
Diagnostik
·
Adanya gejala demensia
tang progresif
·
Gambaran neuropatologis
berupa atrofi selektif dari lobus frontalis yang menonjol, di sertai euforia,
emosi tumpul, dan perilaku sosial yang kasar, disinhibisi, dan apatis atau
gelisah.
·
Manifestasi gangguan
perilaku pada umumnya mendahului gangguan daya ingat.
Diagnosis Banding :
-
Demensia pada penyakit
Alzheimer (F00)
-
Demensia vaskular (F01)
-
Demensia akibat
penyakit lain (F02.8)
F02.1
Demensia pada Penyakit Creutzfeldt-jakob
Pedoman Diagnostik
·
Trias yang sangat
mengarah pada diagnosis penyakit ini :
- Demesnsia
yang progresif merusak
- Penyakit
piramidal dan ekstrapiremidal dengan mioklonus
- Elektroensefalogram
yang has (trifasik)
F02.2
Demensia pada penyakit Huntington
Pedoman
diagnostik
·
Ada kaitan antara
gangguan gerakan koreiform (Choreiform), demensia, dan riwayat keluarga dengan
penyakit Huntington.
·
Gerakan koreiform yang
involunter, terutama pada wajah, tangan, dan bahu, atau cara berjalan yang
khas, merupakan manifestasi dini dari gangguan ini. Gejala ini biasanya
mendahului gejala demensia, dan jarang sekali gejala dini tersebut tak muncul
sampai demensia menjadi sangat lanjut.
·
Gejala demensia di
tandai dengan gangguan fungsi lobus frontalis pada tahap dini, dengan daya
ingat relatif masih terpelihara, sampai saat selanjutnya.
F02.3
Demensia pada penyakit Parkinson
·
Demensia yang
berkembang pada seorang dengan penyakit Parkinson yang sudah parah, tidak ada
gambaran klinis khusus yang dapat di tamplkan.
F02.3
Demensia pada penyakit HIV (Human Immunodeficiency Virus )
·
Demensia yang
berkembang pada seorang dengan penyakit HIV, tidak di temukannya penyakit atau
kondisi lain yang bersamaan selain infeksi HIV itu.
F02.8
Demensia pada penyakit Lain YDT YDK
·
Demesia yang terjadi
sebagai manifestasi atau konsekuensi beberapa macam kondisi somatik daan
serebral lainnya.
F03 Demensia YTT ( yang tidak tergolongkan )
·
Kategori ini digunakan
bila kriteria umum untuk diagnosis demensia terpenuhi, tetapi tidak mungkin
diidentifikasi pada salah satu tipe tertentu. ( F 00.0 – F 02.9 )
F04 Sindrom Amnesik Organik Bukan akibat
Alkohol dan Zat Psikoaktif lainnya
Pedoman Diagnostik
·
Adanya hendaya ingat,
berupa berkurangnya daya ingat jangka pendek ( lemahnya kemampuan belajar
materi baru ); amnesia antegrad dan integrad dan kemampuan untuk mengingat dan
mengungkapkan pengalaman telah lalu dalam urutan terbalik menurut kejadianya.
·
Riwayat atau bukti
nyata adanya cedera, atau penyakit pada otak (terutama bila mengenai strugtur
ensefalon dan temporal medial secara bilateral).
·
Tidak berkurangnya daya
ingat segera. (immediete recall). Misalnya diuji untuk mengingat deret angka, tidak adanya gangguan perhatian
(attention) dan kesadaran (conciousness) dan tidak adanya intelektual secara umum.
Diagnosis
banding
-
-Sindrom organic
lain dengan hendaya daya ingat yang
menonjol (F00-F03,F05)
-
-Amnesia
disosiatif (F44.0)
-
-Hendaya daya
ingat akibt Gangguan Depresif (F30-F39)
-
-Berpura-pura
(malingering) dengan menampilkan keluhan hilangnya daya ingat (Z76.5)
-
Sindrom amnestik
akibat alcohol (korsakov) (F10.6)
F05 DELIRIUM, BUKAN AKIBAT ALKOHOL DAN ZAT
PSIKOAKTIF LAINNYA
Pedoman
diagnostik
·
Gangguan kesadaran dan
perhatian :
-
Dari taraf kesdaran
berkabut sampai dengan koma;
-
Menurunnnya kemampuan
untuk mengarahkan, memusatkan, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian.
·
Gangguan kognitif
secara umum :
-
Distorsi persepsi,
ilusi dan halusinasi- seringkali visual;
-
Rendahnya daya pikir
dan pengertian abstrak, dengan tanpa atau waham yang bersifat sementara, tetai
sangat khas terdapat inkoherensi yang ringan.
-
Rendahnya daya ingat
segera dan janagka pendek, namun daya ingat jangka panjang relatif masih utuh
-
Disorientasi waktu,
pada kasus yang berat, terdapat juga disorientasi tempat dan orang.
·
Gangguan psikomotor :
-
Hipo- atau
hiper-aktifivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak terduga dari satu ke yang
lain;
-
Waktu bereaksi yan
lebih panjang.
-
Arus pembicaraan yang
bertambahatau berkurang.
-
Reaksi terperanjat
meningkat.
·
Gangguan siklus
tidur-bangun :
-
Insomnia atau, pada
kasus yang bera, tidak dapat tidur sama sekali atau terbaliknya siklus
tidur-bangun; mengantuk pada siang hari.
-
Gejala yang memburuk
pada malam hari.
-
Mimpi yang mengganggu
atau mimpi buruk, yang dapat berlanjut menjadi halusinasi setelah bangun tidur.
·
Gangguan emosional :
-
Misalnya depresi,
anxietas atau takut, lekas marah, euforia, apatis atau rasa kehilangan akal.
·
Onset biasanya cepat,
perjalanan penyakitnya hilang timbul sepanjang hari, dan keadaan itu
berlangsung kurang dari 6 bulan.
Diagnosa
banding :
-
Sindrom organik
lainnya, Demensia (F00-F03)
-
Gangguan Psikotik dan
sementara (F23)
-
Skizefronia dalam
keadaan akut (F20)
-
Gangguan Afektif + “ confusional
features” (F30-F39)
-
Delirium akibat
Alkohol/ Zat Psikoaktif Lain (F1x.4) (F1X.03)
F05.0 Delirium, Tak Bertumpang-Tindih Dengan
Demensia
·
Delirium yang tidak
bertumpang tindi dengan demensia yang sudah ada sebelumnya.
F05.1 Delirium, Bertumpang-Tindih Dengan
Demensia
·
Kondisi yang memenuhi
kriteria delirium diatas tetapi terjadi pada saat sudah ada demensia.
F05.8
Delirium Lainnya.
F05.9
Delirium YTT
F06 GANGGUAN MENTAL LAINNYA AKIBAT
KERUSAKAN dan DISFUNGSI OTAK dan
PENYAKIT FISIK
Pedoman Diagnostik
·
Adanya penyakit,
kerusakan atau disfungsi otak, atau penyakit fisik sistemik yang diketahui
berhubungan dengan salah satu sindrom mental yang tercantum;
·
Adanya hubungan waktu
(dalam beberapa minggu atau bulan) antara perkembangan penyakit yang mendasari
dengan timbulnya sindrom mental;
·
Kesembuhan dari
gangguan mental setelah perbaikan atau dihilangkanya penyebab yang
mendasarinya;
·
Tidak adanya bukti yang
mengarah pada penyebab alternatif dari sindrom mental ini (seperti pengaruh
yang kuat dari riwayat keluarga atau pengaruh stres sebagai pencetus).
F06.0
Halusinosis Organik
Pedoman
Diagnostik
·
Kriteria umum tersebut
diatas (F06)
·
Adanya halusinasi dalam
segala bentuk (biasanya visual atau auditorik) , yang menetap atau berulang;
·
Kesadaran yang jernih
(tidak berkabut)
·
Tidak ada penurunan
fungsi intelek yang bermakna
·
Tidak ada gangguan
afektif yang menonjol
·
Tidak jelas adanya
waham (sering kali “insight” masih utuh)
Diagnosis
Banding : -
Halusinosis alkoholik (F10.52)
-
Skizofrenia (F20.-)
F06.1
Gangguan Katatonik Organik
Pedoman
Diagnosik
·
Kriteria tersebut
diatas (F06)
·
Disertai salah satu
dibawah ini :
·
(a) stupor (berkurang atau hilang sama
sekali gerakan spontan dengan mutisme parsial atau total, negativisme, dan posisi
tubuh yang kaku);
(b) gaduh
gelisah (hipermotilitas yang kasar dengan atau tanpa kecenderungan untuk menyerang);
(c) kedua-duanya
(silih berganti secara cepat dan tak terduga dari hipo- ke hiper- aktivitas)
Diagnosis Banding : -Skizofrenia katatonik (F20.2)
-Stupor
disosiatif (F44.2)
-Stupor YTT
(R40.1)
F06.2 Gangguan
Waham Organik (Lir-Skizofrenia)
Pedoman
Diagnostik
·
Kriteria umum tersebut
diatas (F06)
·
Disertai : Waham yang
menetap atau berulang ( waham kejar, tubuh yang berubah, cemburu, penyakit,
atau kematian dirinya atau orang lain);
·
Halusinasi, gangguan
proses pikir, atau fenomena katatonik tersendiri, mungkin ada;
·
Kesadaran dan daya
ingat tidak terganggu;
Diagnosis
Banding : -Gangguan
psikotik akut dan sementara (F23)
-Gangguan psikotik
akibat obat (F1X.5)
-Gangguan
waham yang menetap (F22.-)
-Skizofrenia
(F20.-)
F06.3 Gangguan
Afektif Organik
Pedoman
Diagnostik
·
Kriteria umum tersebut
diatas (F06)
·
Disertai kondisi yang
sesuai dengan salah satu diagnosis dari gangguan yang tercantum dalam F30-F33
Diagnosis
Banding : -Gangguan
Afektif Non-organik atau YTT (F30-F39)
-Gangguan
Afektif Hemisferik Kanan. (F07.8)
F06.30 Gangguan
Mekanik Organik
F06.31 Gangguan
Bipolar Organik
F06.32 Gangguan
Depresif Organik
F06.33 Gangguan
Afektif Organik Campuran
F06.4 Gangguan
Cemas (Anxietas) Organik
·
Gangguan yang ditandai
oleh gambaran utama dari Gangguan Cemas Menyeluruh (F41.1), Gangguan Panik
(F41.0), atau campuran dari keduanya , tetapi timbul sebagai akibat gangguan
organik yang dapat menyebabkan disfungsi otak (seperti epilepsi lobus
temporalis, tirotoksikosis, atau feokromositoma).
F06.5 Gangguan
Disosiatif Organik
·
Gangguan yang memenuhi
persyaratan untuk salah satu gangguan dalam Gangguan Disosiatif (F44.-) dan
memenuhi kriteria umum untuk penyebab organik.
F06.6 Gangguan
Astenik Organik
·
Gangguan yang ditandai
oleh labilitas atau tidak terkendalinya emosi yang nyata dan menetap,
kelelahan, atau berbagai sensasi fisik yang tak nyaman (seperti pusing) dan
nyeri, sebagai akibat adanya gangguan organik (sering terjadi dalam hubungan
dengan penyakit serebrovaskuler atau hipertensi).
F06.7 Gangguan
Kognitif Ringan
·
Gambaran utamanya
adalah turunnya penampilan kognitif (termasuk hendaya daya ingat, daya belajar,
sulit berkonsentrasi), tidak sampai memenuhi diagnosis demensia (F00-F03),
sindrom amnestik organik (F04), atau delirium (F05.-).
·
Gangguan ini dapat
mendahului, menyertai, atau mengikuti berbagai macam gangguan infeksi dan
gangguan fisik, baik serebral maupun sistemik.
F06.8 Gangguan
Mental Lain YDT Akibat Kerusakan dan Disfungsi Otak dan Penyakit Fisik
·
Contohnya ialah keadaan
suasana perasaan (mood) abnormal yang terjadi ketika dalam pengobatan dengan
steroida atau obat antidepresi
·
Termasuk : psikopsis
epileptik YTT
F06.9 Gangguan
Mental YTT Akibat Kerusakan dan Disfungsi Otak dan Penyakit Fisik
·
DAFTAR PUSTAKA
Maslim,Rusdi.2001.
Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.Jakarta.
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya
Mardjono, M., Sidharta, P. (2006). Neurologi Klinis
Dasar. PT Dian Rakyat. Jakarta. Hal 211-214
Brust, J.C.M. (2008). Current Diagnosis & Treatment:
Neurology. McGraw-Hill Companies, Inc. Singapore.
Anonymous.
(2010). Demensia. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/24799498/DEMENSIA
Alagiakrishnan, K., Masaki, K. (2010 Apr 2). eMedicine
from WebMD: Vascular Dementia. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/292105-overview
Dorsey, J., White, M., Barston, S. (2007 December).
Vascular Dementia: Signs, Symptoms, Treatment, and Support. Diunduh dari http://helpguide.org/elder/vascular_dementia.htm
Anonymous. (2007). Medscape from WebMD today: Clinical
Differences Among Four Common Dementia Syndromes: Vascular Dementia. Diunduh
dari http://www.medscape.com/viewarticle/564627_3
Dewanto, G. dkk (2009). Panduan Praktis Diagnosis dan
Tatalaksana Penyakit Saraf. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal 170-184
Walker, H.K. dkk, (1990). Clinical Methods: The History,
Physical and Laboratory Examinations, Third Edition. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/br.fcgi?book=cm&part=A1506
Shiel, W.C. (2009 November). RxList the Internet Drug
Index: Dementia. Diunduh dari http://www.rxlist.com/dementia_slideshow/article.htm
Reviewed by
Roman, G.C. dkk. (1993). The Internet
Stroke Center. Ninds-Airen Diagnostic Criteria. 43 (2): 250-60. Diunduh dari http://www.strokecenter.org/trials/scales/ninds-airen.html
F07 Gangguan
Kepribadian dan Perilaku akibat Penyakit, Kerusakan dan Disfungsi Otak
Ini
merupakan perubahan kepribadian dan perilaku yang bisa merupakan sisa atau
bersamaan dengan gangguan yangsedang berjangkit dari penyakit,kerusakan atau
disfungsi otak.
Gangguan ini ditandai oleh perubahanyang bermakna darikebiasaan pola perilaku sebelum sakit.
Biasanya terlibat juga gangguan dalam pengungkapan emosi, pengendalian impuls dan
sebagainya.
Fungsi kognitif mungkin juga terganggu terutama dalam hal perencanaan dan antisipasi.
Gambaran klinisnya tergantung
pada
sifat dan
lokalisasi proses psikologiknya. Aspek neuro psikiatrik gangguan kepribadian organik :
1. Trauma
Kapitis
Gejala
gangguan kepribadiannya : curiga, perilaku kacau, suka membantah, mengurung
diri, cemas.
2. Sindrom aLobus Frontalis
Gejala
gangguan kepribadiannya : judgment turun, afeklabil, sopan santun turun, tak mau mengerti pada nasehat orang, hilangnya tata kramas osial, keras kepala, apatis.
3. Sindroma
Orbito Frontali
Gejala
gangguan kepribadian nya: perilaku impulsif, disinhibisi, hiperaktif ,perhatian yang mudah teralih,mood yang labil.
4. Cortex
Fronto Dorsolateralis
Gejala
gangguan kepribadiannya : gerakannya melambat, apatis, perseverasi
5. Cerebro
Vascular
Gejala
gangguan kepribadiannya : iritabilitas, apatis, mood yang labil, gelisah,
emosi, ketakutan yang tiba - tiba, cemas, putus asa.
Berdasarkan
gejala – gejala yang menonjol maka gangguan kepribadian organik
dibagi menjadi :
1. Labile type : afek yanglabil
2. Disinhibited type : kontrol impulsyang kurang
3. Aggressive
type : tingkah laku
agresif
4. Apathetic type : apatis yang nyata
5. Paranoid
type : ide - ide paranoid
6. Other
type : bila simtom yang dominan bukan salah satu di atas
7. Combined
type : bila dijumpai lebih dari satu gejala predominan
8. Unspescified
type : tak tergolongkan
Disamping ada nya bukti penyakitorganik yang mendasarinya ,mak auntuk diagnosis pasti haruslah ada dua atau lebih dari hal berikut ini:
1. Menurun nya kemampuan untuk tekun pada aktivitas yang bertujuan, terutama yang memakan waktu yang lebih lamadan pemuasan yang tidak segera.
2. Perilaku emosional berubah, ditandai dengan emosi yang labil, dangkal dan kegembiraan yang tidak beralasan, mudah berubah menjadi iritabilitas atau cetusan marah dan agresiyang sejenak atau cetusan marah dan agresi yangsejenak. Pada beberapa kasus apatis mungkin lebih menonjol.
3. Perubahan bermakna pada kecepatan dan arus pembicaraan dengan gambaran seperti
sirkumstansialitas dan bicara banyak.
4. Pengungkapan
kebutuhan dan impuls tanpa pertimbangan akan konsekuensi atau kelaziman sosial
(mungkin pasien terlibat dalam tindakan dissosial, seperti: mencuri, bertindak
melampaui batas kesopanan seksual, atau
makan secara lahap, atau tidak sopan, kurang memperhatikan kebersihan
diri).
5. Gangguan kognitif dalam bentuk curiga atau paranoid dan atau preokupasi berlebihan pada satutema yang biasanya bersifat abstrak (seperti tentang “benar” atau “salah”
terhadap suatu hal).
6. Perilaku seksual yang berubah (misalnya:
hiposeksualitas atau perubahan secara
seksual).
Diagnosis Banding :
- Perubahan
kepribadian yang berlangsung lama Setelah Mengalami Katastorfa (F62.0), Akibat
Penyakit Psikiatrik (F62.1)
- Sindrom
Pasca-konstusio (F07.2)
- Sindrom
Pasca-ensefalitis ( F07.1)
- Gangguan
kepribadian khas (F60.-)
F07.0 Gangguan Kepribadian Organik
Definisi
Adalah gangguan mental yang mempunyai dasar organik
yang patologis yang dapat diidentifikasi misal tumor otak, penyakit
serebrovaskular, intoksikasi obat - obatan. Ada 3 kelompok gangguan ini yang
gejala utamanya adalah gangguan kognitif berupa gangguan daya ingat, gangguan
berbahasa dan gangguan perhatian.
Macam-Macam Gangguan Mental Organik
1. Sindrom Sintom Organik
Sindrom sintom organik adalah kumpulan simtom yang
cenderung bergabung menjadi satu. Menurut Barlow & Durand 1995. Dalam buku
Fitri Faizah. Ada empat subkategori dari sindrom sintom organik:
- Delirium dan Demensia
Delirium biasanya ditandai dengan disorganisasi
fungsi-fungsi mental yang tinggi seperti berfikir yang timbul dan berlangsung
secara cepat, penyebabnya adalah gangguan yang meluas pada metabolisme otak.
Penanganan pertama pada individu yang mengalami gangguan delirium adalah dengan
mengecek masalah medis yang selama ini dialami oleh individu dan hal-hal yang
mungkin menyebabkan munculnya gangguan tersebut.
Dimensia atau kepanikan adalah kemunduran fungsi
intelek yang terjadi sesudah otak berkembang secara normal-matang, kemampuan
intelektual biasanya memburuk secara bertahap dan sulit untuk diperbaiki.
Penyebab demensia biasanya proses degeneratif seperti yang lazim menimpa kaum
lansia, stroke, infeksi-infeksi tertentu seperti sipilis atau HIV, tumor otak,
cedera otak. Penanganan bagi penderita gangguan ini biasanya lebih diarahkan
pada usaha untuk menghentikan kerusakan otak yang lebih parah dan menyeluruh
serta usaha untuk menolong individu dan keluarga yang menangani individu
demensia untuk beradaptasi untuk beradaptasi dengan gangguan tersebut.
- Sindrom Amnestik dan Halusinosis
Sindrom amnestik adalah kehilangan kemampuan mengingat
kejadian yang baru berlangsung beberapa menit yang silam. Halusionis adalah
gangguan berupa halusinasi yang disebabkan oleh oleh gangguan tertentu pada
otak. Kasus ini banyak ditemukan di kalangan para pecandu alkohol.
- Sindrom Delusi Organik dan Sindrom Afektif
Organik
Sindrom Delusi Organik adalah gangguan berupa delusi
yang kaitannya dengan gangguan pada otak. Penyebabnya bisa karena infeksi,
keracunan obat-obatan tertentu, cedera, atau tumor otak.
Sindrom afektif organik adalah gangguan berupa keadaan
mania atau depresi sehubungan dengan gangguan pada otak. Penyebabnya bisa
cedera otak, tumor otak, tumor pada kelenjar hormon.
- Sindrom Kepribadian Organik
Sindrom kepribadian organik adalah perubahan gaya atau
sifat-sifat kepribadian mengikuti terjadinya kerusakan pada otak. Perubahan ini
biasanya menuju kearah negatif, berupa gangguan dalam penilaian sosial,
menurutnya kontrol atas emosi dan dorongan, menurutnya kepedulian akibat dari
perbuatannya sendiri, dan ketidakmampuan aktivitas yang bertujuan.
2.
Paresis
Umum (General Paresis)
Paresis umum
merupakan salah satu dari beberapa bentuk serangan terhadap sistem saraf pusat
oleh organisme yang menyebabkan infeksi sipilis.
3.
Demensia
Senil dan Prasenil
Demensia
senil adalah gangguan mental yang menyertai degenarisasi otak dan lazim menimpa
kaum lansia. Demensia prasenil adalah gejala serupa manum yang berlangsung pada
usia yang lebih muda.
4.
Arteriosklerosis
Serebal
Aeteriosklerosis
serebal adalah pengerasan pembulu-pembulu darah pada otak, yang berakibat
peredaran darah tidak lancar, atau bahkan terhambat sama sekali.
F07.1 Sindrom Pasca-ensefalitia
Ensefalitis
merupakan kegawat daruratan dalam bidang neurologi. Pada sebagian kasus,
tanda-tanda neurologis fokal maupun kejang fokal dapat membedakan ensefalitis
dari ensefalopati. Ensefalitis yang terjadi umumnya disebabkan oleh virus
antara lain Herpes Simplex Encephalitis (HSE).
Diagnosis
ensefalitis akut dicurigai pada pasien dengan demam dan terdapat perubahan
kesadaran dengan tanda-tanda disfungsi serebral difus. Secara umum, infeksi
pada susunan saraf pusat merupakan penyebab tersering dari ensefalitis akut.
Herpes Simplex Virus (HSV), Varicella Zoster Virus (VZV), Epstein-Barr Virus
(EBV), mumps, measles, dan enterovirus merupakan penyebab sebagian kasus
ensefalitis viral akut pada imunokompeten.. Pada penelitian disebutkan bahwa
VZV merupakan virus tersering menyebabkan ensefalitis, seperti meningitis dan
mielitis, diikuti oleh HSV dan enterovirus (masing-masing 11%), dan virus
Influenza A (7%). Tuberkulosis, penyakit Ricketts, dan tripanosomiasis Afrika merupakan
penyebab penting non-viral pada meningoensefalitis akut, namun tidak akan
dibahas dalam artikel ini. Ensefalomialitis diseminata akut maupun bentuk yang
lebih parah, leukoensefalitis hemoragik akut mewakili penyakit inflamasi sistem
saraf pusat. Disfungsi otak difus akibat proses non-inflamasi merupakan nama
lain dari ensefalopati, misalnya disfungsi karena metabolik dan intoksikasi.
Pada
ensefalitis, derajat peradangan leptomeningeal bervariasi dan gejala klinis
memperlihatkan kelainan fokal dan difus serebral dengan demam, sakit kepala,
dan tanda meningismus. Derajat penurunan kesadaran menunjukkan keparahan
ensefalitis akut dan bervariasi sampai koma. Kejang, fokal atau umum sering
ditemukan. Berbeda dengan meningitis viral aseptik, gejala neuropsikiatri
seperti anomia, halusinasi, psikosis, perubahan kepribadiaan dan agitasi.
Ensefalitis
akut merupakan kegawatan neurologis yang harus segera di terapi berdasarkan
diagnosis klinis yang ditegakkan (lihat tabel 1).
Selain
itu, VZV / EBV, mumps, measles(campak) dan enterovirus juga dapat menyebabkan
ensefalitis terutama bila imunokompeten.
·
Diagnosis
Ensefalitis :
Secara
umum diagnosis ensefalitis tegak berdasarkan pada anamnesis (allo/auto),
pemeriksaan fisik neurologis dan beberapa pemeriksaan penunjang. Seluruh hasil
yang diperoleh akan menegakkan diagnosis pasti untuk menuju pada pengobatan
yang efisien dan efektif. Tetapi harus diperhatikan bahwa pengobatan infeksi
ini tetap berdasarkan klinis dan epidemiologis, dalam arti segera mengobati
untuk memperoleh prognosis baik.
·
Anamnesia
Alloanamnesis sangat
berperan karena biasanya penderita datang ke rumah sakit dengan penurunan
kesadaran. Faktor-faktor seperti geografi dan musim (hujan) dapat menjadi
petunjuk penting kejadian Japanese Encephalitis di daerah endemik. Oleh karena
hewan dapat menjadi reservoir utama penyebab ensefalitis maka harus diingat
jika terdapat bersamaan dengan penyakit- penyakit diternak.
·
Riwayat
Riwayat lengkap diperlu
karena umumnya pasien ensefalitis sering datang dengan penurunan kesadaran,
disorientasi, delirium, atau bahkan koma. Baik faktor musim dan geografi
menjadi petunjuk penting. Japanese encephalitis yang endemik di negara-negara
Asia dan umumnya terjadi pada musim hujan. Penyakit hewan peternakan menjadi
risiko ensefalitis di komunitas karena hewan merupakan reservoir virus penyebab
ensefalitis pada manusia. Pada tahun 1999 terjadi wabah virus West Nile di New
York, didahului dengan kematian burung-burung kota akibat ensefalitis. 4 minggu
setelah wabah ensefalitis pada manusia, ditemukan flavivirus dari spesimen
burung Flaminggo chilean di kebun binatang setempat sebagai penyebab
ensefalitis virus West Nile pada manusia dan burung. Infeksi akibat virus Nipah
dan beberapa virus influenza penyebab ensefalitis diduga terjadi pada area
geografi tertentu.
Riwayat bepergian ke
luar negeri, gigitan serangga dan kemungkinan kontak dengan individu yang
menderita penyakit infeksi. Keadaan kesehatan juga merupakan faktor yang
mempengaruhi karena pasien-pasien dengan imunosupresan lebih rentan terhadap
ensefalitis infektif tertentu, misalnya listeriosis, cryptococcus dan
cytomegalovirus. Ensefalitis cytomegalovirus sering terjadi pada pasien yang
terinfeksi HIV, khususnya neonatus. Onset dan progresifitas penyakit virus juga
merupakan petunjuk etiologi, misalnya tipe bifasik dari infeksi enterovirus.
Komplikasi neurologis demam berdarah viral sering disebabkan oleh meningitis aseptik dan perdarahan intraserebral. Rabies merupakan contoh ensefalitis hewan yang memiliki gejala klinis awal dari Human African Trypanosomiasis (irritabilitas, gangguan tidur dan perubahan kepribadian). Sulit dibedakan dengan ensefalitis viral dan sering juga dihubungkan dengan hiperestesia di jaringan lunak, khususnya di Eropa. Selain itu riwayat pekerjaan, misalnya pekerja hutan yang menghuni geografi tertentu. Sering mengalami Lyme disease atau Kyanasur Forst Disease.
Komplikasi neurologis demam berdarah viral sering disebabkan oleh meningitis aseptik dan perdarahan intraserebral. Rabies merupakan contoh ensefalitis hewan yang memiliki gejala klinis awal dari Human African Trypanosomiasis (irritabilitas, gangguan tidur dan perubahan kepribadian). Sulit dibedakan dengan ensefalitis viral dan sering juga dihubungkan dengan hiperestesia di jaringan lunak, khususnya di Eropa. Selain itu riwayat pekerjaan, misalnya pekerja hutan yang menghuni geografi tertentu. Sering mengalami Lyme disease atau Kyanasur Forst Disease.
·
Gejala
Klinis
Kemerahan pada kulit
sering disebabkan oleh demam Rickettsia, Varisela Zoster, Colorado Tick Fever.
Parotitis dan Erythema nodosum mempunyai hubungan dengan infeksi granulomatous
(tuberkolosis dan histoplasmosis). Selain itu lesi pada membran mukosa sering
terjadi pada infeksi virus herpes sedangkan infeksi saluran pernapasan
merupakan penyebab.
·
Pemeriksaan
Neurologis
Gejala neurologis pada
ensefalitis akut tidak menggambarkan penyebab meskipun virus neurotropik
tertentu dapat mengenai area tertentu pada sistem saraf pusat.
Kelainan fokal yang
ditemukan adalah hemiparesis, afasia, ataksia, gejala piramidal (refleks tendon
dan respon plantar ekstensor), defisit saraf kranial (okulomotor dan fasial),
gerakan-gerakan involunter (nioklonus dan tremor), dan kejang parsial.
Perkembangan gejala klinis bergantung jenis virus, usia pasien dan status imun
pasien. Umumnya pasien yang terlalu muda atau terlalu tua memiliki manifestasi
klinis yang serius. Gejala frontotemporal dengan afasia, perubahan kepribadian
dan kejang fokal merupakan karakteristik dari HSE. Gejala otonom atau disfungsi
hipotalamus dapat terlihat pada ensefalitis akut dengan manifestasi hilangnya
kontrol vasomotor dan suhu (disotonomia), diabetes insipidus dan SIADH.
·
Pemeriksaan
Penunjang
a. Umum
Limfositosis relatif pada darah tepi umumnya terjadi pada ensefalitis akut dan bila ditemukan leukopenia/trombositopenia cenderung pada penyakit Ricketts dan demam berdarah viral. Pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik pada malaria serebral perlu pemeriksaan darah tepi tebal dan tipis. Monosit darah tepi dapat menunjukkan inklusii sitoplasmik karakteristik pada pasien Human Monocytic Ehrlichiosis, 10% dari antaranya akan berkembang menjuadi sindrom meningoensefalitik.
Limfositosis relatif pada darah tepi umumnya terjadi pada ensefalitis akut dan bila ditemukan leukopenia/trombositopenia cenderung pada penyakit Ricketts dan demam berdarah viral. Pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik pada malaria serebral perlu pemeriksaan darah tepi tebal dan tipis. Monosit darah tepi dapat menunjukkan inklusii sitoplasmik karakteristik pada pasien Human Monocytic Ehrlichiosis, 10% dari antaranya akan berkembang menjuadi sindrom meningoensefalitik.
b.
EEG
EEG sangat dianjurkan pada setiap kasus ensefalitis akut karena dapat membedakan ensefalitis fokal dan ensefalopati. Gambaran EEG menunjukkan bentuk gelombang lambat bihemisfer dan difus. EEG abnormal bervariasi pada HSE, meskipun awalnya perubahan tersebut bersifat non spesifik (lambat). Pada fase akhir terdapat setengah dari kasus yang menunjukkan perubahan karakteristik (epileptiform lateralisasi dengan periode 2-3 Hz yang disebabkan lesi di lobus temporal).
EEG sangat dianjurkan pada setiap kasus ensefalitis akut karena dapat membedakan ensefalitis fokal dan ensefalopati. Gambaran EEG menunjukkan bentuk gelombang lambat bihemisfer dan difus. EEG abnormal bervariasi pada HSE, meskipun awalnya perubahan tersebut bersifat non spesifik (lambat). Pada fase akhir terdapat setengah dari kasus yang menunjukkan perubahan karakteristik (epileptiform lateralisasi dengan periode 2-3 Hz yang disebabkan lesi di lobus temporal).
c. Pencitraan
Pencitraan otak saat ini dilakukan pada pasien yang dicurigai ensefalitis akut, dan biasanya mendahului pemeriksaan lain. MRI merupakan pencitraan pilihan, meskipun CT skening juga cukup berarti. Perubahan yang dilihat melalui pencitraan menjadi petunjuk etiologi infektif spesifik, sebagai contoh perubahan frontotemporal pada HSE dan pendarahan talamus pada Japanese Encephalitis. Pendarahan kecil dan lesi patognomonik di sistem limbik pada HSE lebih baik dilihat dengan MRI daripada CT. Pelebaran girus dan meningeal setelah pemberian Gd-DTPA pernah dilaporkan pada HSE. Pada Eastearn Equine Encephalitis terdapat lesi diseminata di batang otak dan ganglia basalis.
Pencitraan otak saat ini dilakukan pada pasien yang dicurigai ensefalitis akut, dan biasanya mendahului pemeriksaan lain. MRI merupakan pencitraan pilihan, meskipun CT skening juga cukup berarti. Perubahan yang dilihat melalui pencitraan menjadi petunjuk etiologi infektif spesifik, sebagai contoh perubahan frontotemporal pada HSE dan pendarahan talamus pada Japanese Encephalitis. Pendarahan kecil dan lesi patognomonik di sistem limbik pada HSE lebih baik dilihat dengan MRI daripada CT. Pelebaran girus dan meningeal setelah pemberian Gd-DTPA pernah dilaporkan pada HSE. Pada Eastearn Equine Encephalitis terdapat lesi diseminata di batang otak dan ganglia basalis.
d. Pencitraan Fungsional
Hiperperfusi bitemporal pada studi
aliran darah otak dengan menggunakan technetium labeled
hexamethylpropyleneamineoxime (99m TC-HmPAO) dan single photon emission
computed tomografi (SPECT) dapat mendukung diagnosis HSE. Hiperperfusi lobus
temporal dengan SPECT selebral menggunakan 99m TC-HmPAO merupakan petanda
sensitif dari HSE dan hal ini tetap bertahan saat gejala klinis telah membaik
pemeriksaan ini dapat dipertimbangkan jika tersedia fasilitas khususnya pada
pasien dengan gejala yang relatif sub akut karena MRI otak pada ensefalitis
limbik paraneoplastik dapat menyerupai HSE. Sebuah studi awal tentang localized
1H1 –Proton magnetic resonance spectroscopy cukup menjanjikan dalam menilai
hilangnya neuron pada HSE.
F9. Gangguan mental organik atau
simtomatik YTT (Yang
Tidak Tergolongkan atau (unspecified) )
Menurut Maramis, klasifikasi
gangguan mental organik adalah sebagai berikut:
1. Demensia dan Delirium
2. Sindrom otak organik karena
rudapaksa kepala.
3. Aterosklerosis otak
4. Demensia senilis
5. Demensia presenili.
6. Demensia paralitika
7. Sindrom otak organik karena epilepsi
8. Sindrom otak organik karena
defisiensi vitamin, gangguan metabolisme dan intoksikasi
9. Sindrom otak organik karena tumor
intra kranial
Menurut DSM IV, klasifikasi gangguan
mental organik sebagai berikut:
1.
Delirium
1.1.
Delirium karena kondisi medis umum.
1.2. Delirium
akibat zat.
1.3.
Delirium yang tidak ditentukan (YTT)
2.
Demensia
2.1.
Demensia tipe Alzheimer
2.2.
Demensia vaskular
2.3.
Demensia karena kondisi umum
2.3.1.
Demensia karena penyakit HIV
2.3.2.
Demensia karena penyakit trauma kepala
2.3.3.
Demensia karena penyakit Parkinson
2.3.4.
Demensia karena penyakit Huntington
2.3.5.
Demensia karena penyakit Pick
2.3.6. Demensia
karena penyakit Creutzfeldt – Jakob
2.4.
Demensia menetap akibat zat
2.5.
Demensia karena penyebab multipel
2.6.
Demensia yang tidak ditentukan (YTT)
3.
Gangguan amnestik
3.1.Gangguan
amnestik karena kondisi medis umum.
3.2
Gangguan amnestik menetap akibat zat
3.3
Gangguan amnestik yang tidak ditentukan ( YTT )
4.
Gangguan kognitif yang tidak ditentukan
PEMBAHASAN
1.
Delirium
A.
Pengertian
Delirium adalah suatu sindrom dengan
gejala pokok adanya gangguan kesadaran yang biasanya tampak dalam bentuk
hambatan pada fungsi kognitif.
B.
Etiologi
Delirium mempunyai berbagai macam
penyebab. Semuanya mempunyai pola gejala serupa yang berhubungan dengan tingkat
kesadaran dan kognitif pasien. Penyebab utama dapat berasal dari penyakit
susunan saraf pusat seperti ( sebagai contoh epilepsi ), penyakit sistemik, dan
intoksikasi atau reaksi putus obat maupun zat toksik. Penyebab
delirium terbanyak terletak di luar sistem pusat, misalnya gagal ginjal dan
hati. Neurotransmiter yang dianggap berperan adalah asetilkolin, serotonin,
serta glutamat Area yang terutama terkena adalah formasio retikularis.
Penyebab Delirium
-
Penyakit intracranial
1. Epilepsi atau keadaan pasca kejang
2. Trauma otak (terutama gegar otak)
3. Infeksi (meningitis.ensetalitis)
4. Neoplasma
5. Gangguan vascular
-
Penyebab ekstrakranial
1. Obat-obatan (di telan atau putus)
Obat antikolinergik, Antikonvulsan,
Obat antihipertensi, Obat antiparkinson. Obat antipsikotik, Cimetidine,
Klonidine. Disulfiram, Insulin, Opiat, Fensiklidine, Fenitoin, Ranitidin,
Sedatif(termasuk alkohol) dan hipnotik, Steroid.
2. Racun
Karbon monoksida, Logam berat dan
racun industri lain.
3. Disfungsi endokrin (hipofungsi atau
hiperfungsi)
Hipofisis, Pankreas, Adrenal,
Paratiroid, tiroid
4. Penyakit organ nonendokrin
Hati (ensefalopati hepatik), Ginjal
dan saluran kemih (ensefalopati uremik), Paru-paru (narkosis karbon dioksida,
hipoksia), Sistem kardiovaskular (gagal jantung, aritmia, hipotensi).
5. Penyakit defisiensi (defisiensi
tiamin, asam nikotinik, B12 atau asain folat)
6. Infeksi sistemik dengan demam dan
sepsis.
7. Ketidakseimbangan elektrolit dengan
penvebab apapun
8. Keadaan pasca operatif
9. Trauma (kepala atau seluruh tubuh)
10. Karbohidrat: hipoglikemi.
C.
Faktor predisposisi terjadinya delirium, antara lain:
·
Usia
·
Kerusakan otak
·
Riwayatdelirium
·
Ketergantungan alkohol
·
Diabetes
·
Kanker
·
Gangguan panca indera
·
Malnutrisi.3
D.
Diagnosis
Kriteria Diagiostik untuk Delirium
Karena Kondisi Medis Umum:
1.
Gangguan kesadaran (yaitu, penurunan kejernihan kesadaran
terhadap lingkungan) dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan,
mempertahankan, atau mengalihkan perhatian.
2.
Gangguan timbul setelah suatu periode waktu yang singkat
(biasanya beberapa jam sampai hari dan cenderung berfluktuasi selama perjalanan
hari.
3. Perubahan kognisi (seperti defisit
daya ingat disorientasi, gangguan bahasa) atau perkembangan gangguan persepsi
yang tidak lebih baik diterangkan demensia yang telah ada sebelumnya, yang
telah ditegakkan, atau yang sedang timbul.
4. Terdapat bukti-bukti dari riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan Iaboratorium bahwa gangguan adalah
disebabkan oleh akibat fisiologis langsung dan kondisi medis umum.
Catatan penulisan : Masukkan nama
kondisi medis umum dalam Aksis I, misalnya, delirium karena ensefalopati
hepatik, juga tuliskan kondisi medis umum pada Aksis III.
E.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan standar
a. Kimia darah (termasuk elektrolit, indeks ginjal dan hati,
dan glukosa)
b. Hitung darah lengkap (CBC) dengan defensial sel darah
putih
c. Tes fungsi tiroid
d. Tes serologis untuk sifilis
e. Tes antibodi HIV (human Immunodeficiency virus) f
Urinalisa
g. Elektrokardiogram (EKG)
h. Elektroensefalogram (EEG)
i. Sinar X dada
j. Skrining obat dalam darah dan urin
‘I’es tambahan jika diindikasikan :
1.
Kultur darah, urin, dan cairan serebrospinalis
2.
Konsentrasi B 12, asam folat
3.
Pencitraan otak dengan tomografi komputer (CT) atau
pencitraan resonansi magnetik (MRI)
4.
Pungsi lumbal dan pemetiksaan cairan serebrospinalis
F.
Gambaran klinis
1.
Kesadaran (Arousal)
Dua pola umum kelainan kesadaran
telah ditemukan pada pasien dengan delirium, satu pola ditandai oleh
hiperaktivitas yang berhubungan dengan peningkatan kesiagaan. Pola lain
ditandai oleh penurunan kesiagaan. Pasien dengan delirium yang berhubungan
dengan putus zat seringkali mempunyai delirium hiperaktif, yang juga dapat
disertai dengan tanda otonomik, seperti kemerahan kulit, pucat, berkeringat,
takikardia, pupil berdilatasi, mual, muntah, dan hipertermia. Pasien dengan
gejala hipoaktif kadang-kadang diklasifikasikan sebagai depresi, katatonik atau
mengalami demensia.
2.
Orientasi
Orientasi terhadap waktu, tempat dan
orang harus diuji pada seorang pasien dengan delirium. Orientasi terhadap waktu
seringkali hilang bahkan pada kasus delirium yang ringan. Orientasi terhadap
tempat dan kemampuan untuk mengenali orang lain (sebagai contohnya, dokter,
anggota keluarga) mungkin juga terganggu pada kasus yang berat Pasien delirium
jarang kehilangan orientasi terhadap dirinya sendiri.
3.
Bahasa dan Kognisi
Pasien dengan delirium seringkali
mempunyai kelainan dalam bahasa. Kelainan dapat berupa bicara yang melantur,
tidak relevan, atau membingungkan (inkoheren) dan gangguan kemampuan untuk
mengerti pembicaraan Fungsi kognitif lainnya yang mungkin terganggu pada pasien
delirium adalah fungsi ingatan dan kognitif umum Kemampuan untuk menyusun,
mempertahankan dan mengingat kenangan mungkin terganggu, walaupun ingatan
kenangan yang jauh mungkin dipertahankan. Disarnping penurunan perhatian,
pasien mungkin mempunyai penurunan kognitif yang dramatis sebagai suatu gejala
hipoaktif delirium yang karakteristik. Pasien delirium juga mempunyai gangguan
kemampuan memecahkan masalah dan mungkin mempunyai waham yang tidak sistematik,
kadang kadang paranoid.
4.
Persepsi
Pasien dengan delirium seringkali
mempunyai ketidak mampuan umum untuk membedakan stimuli sensorik dan untuk
mengintegrasikan persepsi sekarang dengan pengalaman masa lalu mereka.
Halusinasi relatif sering pada pasien delirium. Halusinasi paling sering adalah
visual atau auditoris walaupun halusinasi dapat taktil atau olfaktoris. Ilusi
visual dan auditoris adalah sering pada delirium.
5.
Suasana Perasaan
Pasien dengan delirium mempunyai
kelainan dalam pengaturan suasana Gejala yang paling sering adalah kemarahan,
kegusaran, dan rasa takut yang tidak beralasan. Kelainan suasana perasaan lain
adalah apati, depresi, dan euforia.
6.
Gejala Penyerta : Gangguan tidur-bangun
Tidur pada pasien delirium secara
karakteristik adalah tergangga Paling sedikit mengantuk selama siang hari dan
dapat ditemukan tidur sekejap di tempat tidurnya atau di ruang keluarga.
Seringkali keseluruhan siklus tidur-bangun pasien dengan delirium semata mata
terbalik. Pasien seringkali mengalami eksaserbasi gejala delirium tepat sebelum
tidur, situasi klinis yang dikenal luas sebagai sundowning.
7.
Gejala neurologis
Gejala neurologis yang menyertai,
termasuk disfagia, tremor, asteriksis, inkoordinasi, dan inkontinensia urin.
8. Diagnosis Banding
a. Demensia
b. Psikosis atau Depresi
G.
Pengobatan
Tujuan utama adalah mengobati
gangguan dasar yang menyebabkan delirium. Tujuan pengobatan yang penting
lainnya adalah memberikan bantuan fisik, sensorik, dan lingkungan. Dua gejala
utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis adalah psikosis
dan insomnia Obat yang terpilih untuk psikosis adalah haloperidol (Haldol),
suatu obat antipsikotik golongan butirofenon, dosis awal antara 2 – 10 mg IM,
diulang dalam satu jam jika pasien tetap teragitasi, segera setelah pasien
tenang, medikasi oral dalam cairan konsentrat atau bentuk tablet dapat dimulai,
dosis oral +I,5 kali lebih tinggi dibandingkan dosis parenteral. Dosis harian
efektif total haloperidol 5 – 50 mg untuk sebagian besar pasien delirium.
Droperidol (Inapsine) adalah suatu butirofenon yang tersedia sebagai suatu
formula intravena alternatif monitoring EKG sangat penting pada pengobatan ini.
Insomnia diobati dengan golongan benzodiazepin dengan waktu paruh pendek,
contohnva. hidroksizine (vistaril) dosis 25 – 100 mg.
H.
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Onset delirium biasanya mendadak,
gejala prodromal (kegelisahan dan ketakutan) dapat terjadi pada hari sebelum
onset gejala yang jelas. Gejala delirium biasanya berlangsung selama faktor
penyebab yang relevan ditemukan, walaupun delirium biasanya berlangsung kurang
dari I minggu setelah menghilangnya faktor penyebab, gejala delirium menghilang
dalam periode 3 – 7 hari, walaupun beberapa gejala mungkin memerlukan waktu 2
minggu untuk menghilang secara lengkap. Semakin lanjut usia pasien dan semakin
lama pasien mengalami delirium, semakin lama waktu yang diperlukan bagi
delirium untuk menghilang. Terjadinya delirium berhubungan dengan angka
mortalitas yang tinggi pada tahun selanjutnya, terutama disebabkan oleb sifat
serius dan kondisi medis penyerta.
2.
Demensia
A.
Pengertian
Demensia
merupakan suatu gangguan mental organik yang biasanya diakibatkan oleh proses
degeneratif yang progresif dan irreversible yang mengenai arus pikir. Demensia
merupakan sindroma yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif tanpa
gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dipengaruhi pada demensia adalah
inteligensia umum, belajar dan ingatan, bahasa, memecahkan masalah, orientasi,
persepsi, perhatian, dan konsentrasi, pertimbangan, dan kemampuan sosial. Kepribadian
pasien juga terpengaruh.
B.
Epidemiologi
Demensia
sebenarnya adalah penyakit penuaan. Dan semua pasien demensia, 50 – 60%
menderita demensia tipe Alzheimer yang merupakan ripe demensia yang paling
sering. Kira-kira 5% dari semua orang yang mencapai usia 65 tahun
menderita demensia tipe Alzhermer, dibandingkan 15 – 25% dan semua
orang yang berusia 85 tahun atau lebih. Tipe demensia yang paling sering kedua
adalah demensia vaskular yaitu demensia yang secara kausatif berhubungan dengan
penyakit serebrovaskular, berkisar antara 15 – 30% dari semua kasus demensia,
sering pada usia 60 – 70 tahun terutama pada laki-laki. Hipertensi merupakan
faktor predisposisi terhadap penyakit demensia vaskular.
Penyebab
demensia antara lain:
1. Penyakit Alzheimer
2.
Demensia Vaskular
3.
Infeksi
4.
Gangguan nutrisional
5.
Gangguan metabolik
6.
Gangguan peradangan kronis
Penyebab
yang lain yaitu:
1. Obat dan toksin (termasuk demensia
alkoholik kronis)
2.
Massa intrakranial : tumor, massa subdural, abses otak
3.
Anoksia
4.
Trauma (cedera kepala, demensia pugilistika (punch-drunk
syndrome))
5.
Hidrosefalus tekanan normal
C.
Diagnosis
Kriteria Diagnostik untuk Demensia
Tipe Alzheimer:
a. Perkembangan defisit kognitif
multipel yang dimanifestasikan oleh baik
1. Gangguan daya ingat (gangguan
kemampuan untuk mempelajari informasi baru dan untuk mengingat informasi yang
telah dipelajari sebelumnya).
2. Satu (atau lebih) gangguan kogntif
berikut:
·
Afasia (gangguan bahasa)
·
Apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas
motorik walaupun fungsi motorik adalah utuh)
·
Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentitikasi
benda walaupun fungsi sensorik adalah utuh)
·
Gangguan dalam fungsi
eksekutif (yaitu, merencanakan, mengorganisasi, mengurutkan, dan abstrak)
b. Defisit kognitif dalam kriteria al
dan a2 masing-masing menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial
atau pekerjaan dan menunjukkan suatu penurunan bermakna dari tingkat fungsi
sebelumnya.
c. Defisit tidak terjadi semata-mata
hanya selama perjalanan suatu delirium dan menetap
melebihi lama yang lazim dari intoksikasi atau putus
zat.
d. Terdapat bukti dari riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium bahwa defisit secara etiologis
berhubungan dengan efek menetap dari pemakaian zat (misalnya suatu obat yang
disalahgunakan).
Kondisi
akibat zat
Defisit tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan Aksis I lainnya (misalnya, gangguan depresif berat, skizofrenia)
Kode didasarkan pada tipe onset dan
ciri yang menonjol:
1. Dengan onset dini : jika
onset pada usia 65 tahun atau kurang
2.
Dengan delirium : jika delirium menumpang pada demensia
3.
Dengan waham : jika waham merupakan ciri yang
menonjol
1. Dengan suasana perasaan terdepresi :
jika suasana perasaan terdepresi (termasuk gambaran yang memenuhi kriteria
gejala lengkap untuk episode depresif berat) adalah ciri yang menonjol. Suatu
diagnosis terpisah gangguan suasana perasaan karena kondisi medis umum tidak
diberikan.
2. Tanpa penyulit : jika tidak ada
satupun diatas yang menonjol pada gambaran klinis sekarang
Sebutkan
jika : Dengan gangguan perilaku. Catatan penulisan juga tuliskan penyakit
Alzheimer pada aksis III.
Kriteria Diagnostik untuk Demensia Vaskular:
a.
Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan
oleh baik,
1. Gangguan daya ingat (ganguan
kemampuan untuk mempelajari informasi baru dan untuk mengingat informasi yang
telah dipelajari sebelumnya)
·
Afasia (gangguan bahasa)
·
Apraksia (gangguan untuk mengenali atau melakukan aktivitas
motorik ataupun fungsi motorik adalah utuh)
·
Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi
benda walaupun fungsi sensorik adalah utuh)
·
Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu, merencanakan,
mengorganisasi, mengurutkan, dan abstrak)
Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut :
b.
Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan A2 masing-masing
menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan
menunjukkan suatu penurunan bermakna dan tingkat fungsi sebelumnya.
c.
Tanda dan gejala neurologis fokal (misalnya, peninggian
refleks tendon dalam, respon ekstensor plantar, palsi pseudo bulbar, kelainan
gaya berjalan, kelemahan pada satu ekstremitas) atau tanda-tanda laboratorium
adalah indikatif untuk penyakit serebrovaskular (misalnya, infark multipel yang
mengenai korteks dan substansia putih di bawahnya) yang berhubungan secara
etiologi dengan gangguan.
d.
Defisit tidak terjadi semata-mata selama perjalanan delirium
Kode didasarkan pada ciri yang
menonjol
1.
Dengan delirium :jika delirium menumpang pada demensia
2.
Dengan waham jika waham merupakan ciri yang menonjol
3.
Dengan suasana perasaan terdepresi : jika suasana perasaan
terdepresi (termasuk gambaran yang memenuhi kriteria gejala lengkap untuk
episode depresif berat) adalah ciri yang menonjol. Suatu diagnosis terpisah
gangguan suasana perasaan karena kondisi medis umum tidak diberikan.
4.
Tanpa penyulit : jika tidak ada satupun di alas yang
menonjol pada gambaran klinis sekarang.
Sebutkan
jika : Dengan gangguan perilaku
Catalan
penulisan : juga tuliskan kondisi serebrovaskular pada Aksis III.
D.
Pemeriksaan lengkap
1.
Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan neorologis lengkap
2.
Tanda vital
3.
Mini – mental state exemenation ( MMSE )
4.
Pemeriksaan medikasi dan kadar obat
5.
Skrining darah dan urin untuk alcohol
6.
Pemeriksaan fisiologis, meliputi:
a.
Elektrolit, glukosa, Ca , Mg.
b.
Tes fungsi hati, ginjal
c.
SMA -12 atau kimia serum yang ekuivalen
d.
Urinalisa
e.
Hit sel darah lengkap dan sel deferensial
f.
Tes fungsi tiroid
g.
FTA – ABS
h.
B12
i.
Kadar folat
j.
Kortikosteroid urine
k.
Laju endap eritrosit
l.
Antibodi antinuklear, C3C4, anti DSDNA
m.
Gas darah Arterial
n.
Skrining H I V
o.
Porpobilinogen Urin.
7. Sinar-X dada
8. Elektrokardiogram (EKG)
9. Pemeriksaan neurologis, melputi:
a.
CT atau MRI kepala
b.
SPECT
c.
Pungsi lumbal
d.
EEG
10. Tes neuropsikologis
E.
Gambaran Klinis
1. Gangguan Daya Ingat
Gangguan ingatan biasanya merupakan
ciri yang awal don menonjol pada demensia, khususnya pada demensia yang
mengenai korteks, seperti demensia tipe Alzheimer. Pada awal perjalanan
demensia, gangguan daya ingat adalah ringan dan paling jelas untuk peristiwa
yang baru terjadi
2. Orientasi
Karena daya ingat adalah penting
untuk orientasi terhadap orang, waktu dan tempat, orientasi dapat terganggu
secara progresif selama perialanan penyaki Demensia. Sebagai contohnya, pasien
dengan Demensia mungkin lupa bagaimana kembali ke ruangannya setelah pergi ke
kamar mandi. tetapi, tidak masalah bagaimana beratnya disorientasi, pasien
tidak menunjukkan gangguan pada tingkat kesadaran.
3. Gangguan Bahasa
Proses demensia yang mengenai
korteks, terutama demensia tipe Alzheimer dan demensia vaskular, dapat
mempengaruhi kemampuan berbahasa pasien. Kesulitan berbahasa ditandai oleh cara
berkata yang samar-samar, stereotipik tidak tepat, atau berputar-putar.
4. Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian merupakan
gambaran yang paling mengganggu bagi keluarga pasien yang terkena. Pasien
demensia mempunyai waham paranoid. Gangguan frontal dan temporal kemungkinan
mengalami perubahan keperibadian yang jelas, mudah marah dan m eledak – ledak.
5. Psikosis
Diperkirakan 20 -30% pasien demensia
tipe Alzheimer, memiliki halusinasi, dan 30 – 40% memiliki waham, terutama
dengan sifat paranoid atau persekutorik dan tidak sistematik
F.
Gangguan Lain
1. Psikiatrik
Pasien demensia juga menunjukkan
tertawa atau menangis yang patologis yaitu, emosi yang ekstrim tanpa provokasi
yang terlihat.
2. Neurologis
Disamping afasia, apraksia dan
afmosia pada pasien demensia adalah sering.
Tanda neurologis lain adalah kejang
pada demensia tipe Alzheimer clan
demensia vaskular.
Pasien demensia vaskular mempunyai
gejala neurologis tambahan seperti
nyeri kepala, pusing, pingsan,
kelemahan, tanda neurologis fokal, dan
gangguan tidur. Palsi serebrobulbar,
disartria, dan disfagia lebih sering pada
demensia vaskular.
3. Reaksi yang katastropik
Ditandai oleh agitasi sekunder
karena kesadaran subjektif tentang defisit intelektualnya di bawah keadaan yang
menegangkan, pasien biasanya berusaha untuk mengkompensasi defek tersebut
dengan menggunakan strategi untuk menghindari terlihatnya kegagalan dalam daya
intelektual, seperti mengubah subjek, membuat lelucon, atau mengalihkan
pewawancara dengan cara lain.
4. Sindroma Sundowner
Ditandai oleh mengantuk, konfusi,
ataksia, dan terjatuh secara tidak disengaja. Keadaan ini terjadi pada pasien
lanjut usia yang mengalami sedasi berat dan pada pasien demensia yang bereaksi
secara menyimpang bahkan terhadap dosis kecil obat psikoaktif.
G.
Diagnosis Banding
1. Serangan iskemik transien
2.
Depresi
3.
Penuaan normal
4.
Delirium
5.
Gangguan Buatan (Factitious Disorders)
6.
Skizofrenia
H.
Pengobatan
Pendekatan pengobatan umum adalah
untuk memberikan perawatan medis suportit, bantuan emosional untuk pasien dan
keluarganya, dan pengobatan farmakologis untuk gejala spesifik (perilaku yang
mengganggu). Pengobatan farmakologis dengan obat yang mempunyai aktivitas
antikolinergik yang tinggi harus dihindari. Walaupun thioridazine (Mellaril),
yang mempunyai aktivitas antikolinergik yang tinggi, merupakan obat yang
efektif dalam mengontrol perilaku pasien demensia jika diberikan dalam dosis
kecil. Benzodiazepim kerja singkat dalam dosis kecil adalah medikasi anxiolitik
dan sedatif yang lebih disukai untuk pasien demensia. Zolpidem (Ambient) dapat
digunakan untuk tujuan sedatif. TetrahidroaminoKridin (Tacrine) sebagai suatu
pengobatan untuk penyakit Alzheimer, obat ini merupakan inhibitor aktivitas
antikolinesterase dengan lama kerja yang agak panjang.
I.
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Perjalanan klasik dan demensia
adalah onset pada pasien usia 50 – 60 tahun dengan pemburukan bertahap selama 5
– 10 tahun, yang akhirnya menyebabkan kematian. usia saat onset dan kecepatan
pemburukannya adalah bervariasi diantara tipe demensia yang berbeda dan dalam
kategori diagnostik individual.
3.
Gangguan Amnestik
A.
Pengertian
Gangguan amnestik ditandai terutama
oleh gejala tunggal suatu gangguan daya ingat yang menyebabkan gangguan
bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan. Diagnosis gangguan amnestik tidak
dapat dibuat jika mempunyai tanda lain dari gangguan kognitif, seperti yang
terlihat pada demensia, atau jika mempunyai gangguan perhatian (attention) atau
kesadaran, seperti yang terlihat pada delirium.
B.
Epidemiologi
Beberapa penelitian melaporkan insiden
atau prevalensi gangguan ingatan pada gangguan spesifik (sebagai contohnya
sklerosis multipel). Amnesia paling sering ditemukan pada gangguan penggunaan
alkohol dan cedera kepala.
Penyebab gangguan amnestik yaitu:
1. Kondisi medis sistemik
a. Defisiensi tiamin (Sindroma
Korsakoff)
b. Hipoglikemia
2. Kondisi otak primer
a. Kejang
b. Trauma kepala (tertutup dan tembus)
c. Tumor serebrovaskular (terutama
thalamik dan lobus temporalis)
d. Prosedur bedah pada otak
e. Ensefalitis karena herpes simpleks
f. Hipoksia (terutama usaha pencekikan
yang tidak mematikan dan keracunan karbonmonoksida)
g. Amnesia global transien
h. Terapi elektrokonvulsif
i.
Sklerosis multiple
3. Penyebab berhubungan dengan zat
a. Gangguan pengguanan alcohol
b. Neurotoksin
c. Benzodiazepin (dan sedatif- hipnotik
lain)
Banyak preparat yang dijual bebas.
C.
Diagnosis
Kriteria Diagnosis untuk Gangguan
Amnestik Karena Kondisi Medis Umum.
1.
Perkembangan gangguan daya ingat seperti yang
dimanifestasikan oleh gangguan kemampuan untuk mempelajari informasi baru atau
ketidak mampuan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya.
2.
Ganguan daya ingat menyebabkan gangguan bermakna dalam
fungsi sosial atau pekerjaan dan merupakan penurunan bermakna dan tingkat
fungsi sebelumnya.
3.
Gangguan daya ingat tidak terjadi semata-mata selama
perjalanan suatu delirium atau suatu demensia.
4.
Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
atau temuan laboratorium bahwa gangguan adalah akibat fisiologis langsung dari
kondisi medis umum (termasuk trauma fisik)
Sebutkan jika :
Transien :
jika gangguan daya ingat berlangsung selama 1 bulan atau kurang
Kronis
: jika gangguan daya ingat berlangsung lebih dari 1
bulan.
Catatan penulisan: Masukkan juga nama kondisi medis
umum pada Aksis I, misalnya, gangguan amnestik karena trauma kepala, juga
tuliskan kondisi pada Aksis III.
D.
Gambaran Klinis
Pusat gejala dan gangguan amnestik
adalah perkembangan gangguan daya ingat yang ditandai oleh gangguan pada
kemampuan untuk mempelajari informasi baru (amnesia anterograd) dan
ketidakmampuan untuk mengingat pengetahuan yang sebelumnya diingat (amnesia
retrograd). Periode waktu dimana pasien terjadi amnesia kemungkinan dimulai
langsung pada saat trauma atau beberapa saat sebelum trauma. Ingatan tentang
waktu saat gangguan fisik mungkin juga hilang. Daya ingat jangka pendek
(short-term memory) dan daya ingat baru saja (recent memory) biasanya
terganggu. Daya ingat jangka jauh (remote post memory) untuk informasi atau
yang dipelajari secara mendalam (overlearned) seperti pengalaman maka anak-anak
adalah baik, tetapi daya ingat untuk peristiwa yang kurang lama ( Iewat dart 10
tahun) adalah terganggu.
E.
Diagnosis Banding
1. Demensia dan Delirium
2. Penuaan normal
3. Gangguan disosiatif
4. Gangguan buatan
F.
Pengobatan
Pendekatan utama adalah mengobati
penyebab dasar dari gangguan amnestik Setelah resolusi episode amnestik, suatu
jenis psikoterapi (sebagai contohnya, kognitif, psikodinamika, atau suportif
dapat membantu pasien menerima pangalaman amnestik kedalam kehidupannya.
G.
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Onset mungkin tiba-tiba atau
bertahap; gejala dapat sementara atau menetap dan hasil akhir dapat terentang
dari tanpa perbaikan sampai pemulihan lengkap.
4.
Gancguan Mental Organik Lain (Epilepsi)
A.
Pengertian
Suatu kejang (seizure) adalah suatu
gangguan patologis paroksismal sementara dalam gangguan patologis paroksismal
sementara dalam fungsi cerebral yang disebabkan oleh pelepasan neuron yang
spontan dan luas Pasien dikatakan menderita epilepsi jika mereka mempunyai
keadaan kronis yang ditandai dengan kejang yang rekuren.
B.
Klasifikasi
Dua kategori utama kejang adalah
parsial dan umum (generalized). Kejang parsial melibatkan aktivitas
epileptiformis di daerah otak setempat; kejang umum melibatkan keseluruhan
otak. Suatu sistem klasifikasi untuk kejang.
1. Kejang
umum
Kejang tonik klonik umum mempunyai
gejala klasik hilangnya kesadaran, gerakan tonik klonik umum pada tungkai,
menggigit lidah, dan inkotinensia. Walaupun diagnosis peristiwa kilat dari
kejang adalah relatif langsung, keadaan pascaiktal yang ditandai oleh pemulihan
kesadaran dan kognisi yang lambat dan bertahap kadang-kadang memberikan suatu
dilema diagnostik bagi dokter psiktatrik di ruang gawat darurat. Periode
pemulihan dan kejang tonik klonik umum terentang dari beberapa menit sampai
berjam-jam. Gambaran klinis adalah delirium yang menghilang secara bertahap.
Masalah psikiatrik yang paling sering berhubungan dengan kejang umum adalah
membantu pasien menyesuaikan gangguan neurologis kronis dan menilai efek
kognitif atau perilaku dan obat antiepileptik.
2. Absences
(Petit Mal)
Suatu tipe kejang umum yang sulit
didiagnosis bagi dokter psikiatrik adalah absence atau kejang petitmal. Sifat
epileptik dari episode mungkin berjalan tanpa diketahui, karena manifestasi
motorik atau sensorik karakteristik dari epilepsi tidak ada atau sangat ringan
sehingga tidak membangkitkan kecurigaan dokter. Epilepsi petit mal biasanya
mulai pada masa anak-anak antara usia 5 dan 7 tahun dan menghilang pada
pubertas. Kehilangan kesadaran singkat, selama mana pasien tiba-tiba kehilangan
kontak dengan hngkungan, adalah karakteristik untuk epilepsi petit mal;
tetapi, pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran atau gerakan kejang yang
sesungguhnya selama episode. Elektroensefalogerafi ( EEG) menghasilkan
pola karakteristik aktivitas paku dan gelombang (spike and wave) tiga kali
perdetik Pada keadaan yang jarang, epilepsi petitmal dengan onset dewasa dapat
ditandai oleh episode psikotik atau delirium yang tiba-tiba dan rekuren yang
tampak dan menghilane secara tiba-tiba Gejala dapat disertai dengan riwayat
terjatuh atau pingsan.
3. Kejang parsial liziane parsial
diklasitikasikan sebagai sederhana (tanpa perubahan kesadaran) atau kompleks
(dengan perubahan kesadaran) Sedikit lebih banyak dari setengah semua pasien
dengan kelane parsial mengalami kejang parsial kompleks; istilah lain yang
digunakan untuk kejang parsial kompleks adalah epilepsi lobus temporalis,
kejang psikomotor, dan epilepsi limbik tetapi istilah tersebut bukan merupakan
penjelasan situasi klinis yang akurat. Epilepsi parsial kompleks adalah bentuk
epilepsi pada orang dewasa yang paling senngcang mengenai 3 dan 1.000 orang.
C.
Diagnosis
1.
Diagnosis epilepsi yang tepat dapat sulit khususnya jika
gejala iktal dan interiktal dari epilepsi merupakan
manifestasi berat dari gejala psikiatrik tanpa adanya perubahan yang bemakna
pada kesadaran dan kemampuan kognitif Gejala
Praiktal
Peristiwa praiktal (aura) pada
epilepsi parsial kompleks adalah termasuk sensasi otonomik (sebagai contohnya
rasa penuh di perut, kemerahan, dan perubahan pada pernafasan), sensasi
kognitif(sebagai contohnya, deja vu, jamais vu, pikiran dipaksakan, dan keadaan
seperti mimpi). keadaan afektif (sebagai contohnya, rasa takut, panik, depresi,
dan elasi) dan secara klasik. automatisme (sebagai contohnya, mengecapkan
bibir, menggosok, dan mengayah)
2.
Gejala Iktal
Perilaku yang tidak terinhibisi,
terdisorganisasi, dan singkat menandai serangan iktal. Walaupun beberapa
pengacara pembela mungkin mengklaim yang sebaliknya, jarang sesorang
menunjukkan perilaku kekerasan yang terarah dan tersusun selama episode
epileptik Gejala kognitif adalah termasuk amnesia untuk waktu selama kejang dan
suatu periode delirium yang menghilang setelah kejang. Pada pasien dengan epilepsi
parsial kompleks, suatu fokus kejang dapat ditemukan pada pemeriksaan EEG pada
25 sampai 50 % dari semua pasien. Penggunaan elektroda sfenoid atau temporalis
anterior dan EEG pada saat tidak tidur dapat meningkatkan kemungkinan
ditemukannya kelainan EEG. EEG normal multipel seringkali ditemukan dart
seorang pasien dengan epilepsi parsial kompleks; dengan
demikian EEG normal tidak dapat digunakan untuk mneyingkirkan diagnosis
epilepsi parsial. kompleks- Penggunaan perekaman EEG jangka panjang (24 sampai
72 jam) dapat membantu klinisi mendeteksi suatu fokus kejang pada beberapa
pasien. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lead nasofaring tidak
menambah banyakkepekaan pada EEG, dan yang jelas menambahkan
ketidaknyamanan prosedur bagi pasien.
3.
Gejala Interiktal
Gangguan kepribadian Kelainan
psikiatrik yang paling sering dilaporkan pada pasien epileptik adalah gangguan
kepribadian, dan biasanya kemungkinan terjadi pada pasien dengan epilepsi
dengan asal lobus temporalis. Ciri yang paling sering adalah perubahan perilaku
seksual, suatu kualitas yang biasanya disebut viskositas kepribadian,
religiositas, dan pengalaman emosi yang melambung. Sindroma dalam bentuk
komplitnya relatif jarang, bahkan pada mereka dengan kejang parsialkompleks dengan
asal lobus temporalis. Banyak pasien tidak mengalami perubahan kepribadian,
yang lainnya mengalami berbagai gangguan yang jelas berbeda dari sindroma klasik.
Perubahan pada perilaku seksual
dapat dimanifestasikan sebagai hiperseksualitas; penyimpangan dalam minat seksual,
seperti fetihisme dan transfetihisme; dan yang paling sering, hiposeksualitas
Hiposeksualitas ditandai oleh hilangnya minat dalam masalah seksual dan dengan
menolak rangsangan seksual Beberapa pasien dengan onset epilepsi parsial
kompleks sebelum pubertas mungkin tidak dapat mencapai tingkat minat seksual
yang normal setelah pubertas, walaupun karakteristik tersebut
mungkin tidak mengganggu pasien. Untuk pasien dengan onset epilepsi parsial
kompleks setelah pubertas. perubahan dalam minat seksual mungkin mengganggu dan
mengkhawatirkan.
4.
Gejala viskositas kepribadian
Biasanya paling dapat diperhatikan
pada percakapan pasien, yang kemungkinan adalah lambat serius, berat dan
lamban, suka menonjolkan keilmuan, penuh dengan rincian-rincian yang tidak
penting, dan seringkali berputar-putar. Pendengar mungkin menjadi bosan tetapi
tidak mampu menemukan cara yang sopan dan berhasil untuk melepaskan diri
dari percakapan. Kecenderungan pembicaraan seringkali dicerminkan dalam
tulisan pasien, yang menyebabkan suatu gejala yang dikenal sebaga hipergrafia
yang dianggap oleh beberapa klinisi sebagai patognomonik untuk epilepsi parsial
komplaks.
5.
Religiositas
Mungkin jelas dan dapat
dimanifestasikan bukan hanya dengan meningkatny peran serta pada aktivitas yang
sangat religius tetapi juga oleh permasalahan moral dan etik yang tidak umum,
keasyikan dengan benar dan salah, dan meningkatnya minat pada perlahamasalahan
global dan filosofi Ciri hiperreligius kadang-kadang dapat tampak seperti
gejala prodromal skizofrenia dan dapat menyebabkan mnasalah diagnositik pada
seorang remaja atau dewasa muda.
6.
Gejala psikotik
Keadaan psikotik interiktal adalah
lebih sering dari psikosis iktal. Episode interpsikotik yang mirip skizofrenia
dapat terjadi pada pasien dengan epilepsi, khususnya yang berasal dan lobus
temporalis Diperkirakan 10 sampal 30 persen dari semua pasien dengan apilepsi
partial kompleks mempunyai gejala psikotik Faktor risiko untuk gejala tersebut
adalah jenis kelamin wanita kidal onset kejang selama pubertas, dan lesi di
sisi kiri.
Onset gelala psikotik pada epilepsi
adalah bervariasi. Biasanya, gejala psikotik tarnpak pada pasien yang telah
menderita epilepsi untuk jangka waktu yang lama, dan onset gejala psikotik di
dahului oleh perkembangan perubahan kepribadian yang berhubungan dengan
aktivitas otak epileptik gejala psikosis yang paling karakteristik adalah
halusinasi dan waham paranoid. Biasanya. pasien tetap hangat dan sesuai pada
afeknya, berbeda dengan kelainan yang sering ditemukan pada pasien skizofrenik
Gejala gangguan pikiran pada pasien epilepsi psikotik paling sering merupakan
gejala yang melibatkan konseptualisasi dan sirkumstansialitas, ketimbang gejala
skizofrenik klasik berupa penghambatan (blocking) dan kekenduran (looseness),
kekerasan. kekerasan episodik merupakan masalah pada beberapa pasien dengan
epilepsi khususnya epilepsi lobus temporalis dan frontalis. Apakah kekerasan
merupakan manifestasi dan kejang itu sendiri atau merupakan psikopatologi
interiktal adalah tidak pasti. Sampai sekarang ini, sebagian besar data
menunjukkan sangat jarangnya kekerasan sebagai suatu fenomena iktal. Hanya pada
kasus yang jarang suatu kekerasan pasien epileptik dapat disebabkan oleh kejang
itu sendiri.
7.
Gejala Gangguan perasaan.
Gejala gangguan perasaan, seperti depresi
dan mania, terlihat lebih jarang pada epilepsi dibandingkan gejala mirip
skizofrenia. Gejala gangguan mood yang terjadi cenderung bersifat episodik dan
terjadi paling sering jika fokus epileptik mengenai lobus temporalis dan
hemisfer serebral non dominan. Kepentingan gejala gangguan perasaan pada
epilepsi mungkin diperlihatkan oleh meningkatnya insidensi usaha bunuh diri
pada orang dengan epilepsi.
Dengan
demikian, dokter psikiatrik harus menjaga tingkat kecurigaan yang tinggi selama
memeriksa seorang pasien baru dan harus mempertimbangkan kemungkman gangguan
epileptik, bahkan jika tidak ada tanda dan gejala klasik. Diagnosis banding
lain yang dipertimbangkan adalah kejang semu (psudoseizure), dimana pasien
mempunyai suatu kontrol kesadaran atas gejala kejang yang mirip.
Pada
pasien yang sebelumnya mendapatkan suatu diagnosis epilepsi, timbulnya gejala
psikiatrik yang baru harus dianggap sebagai kemungkinan mewakili suatu evolusi,
timbulnya gejala epileptiknya. timbulnya gejala psikotik, gejala gangguan mood,
perubahan kepribadian, atau gejala kecemasan (sebagai contohnya, serangan
panik) harus menyebabkan klinisi menilai pengendalian epilepsi pasien dan
memeriksa pasien untuk kemungkinan adanya gangguan mental yang tersendiri. Pada
keadaan tersebut klinisi harus menilai kepatuhan pasien terhadap regimen obat
antiepileptik dan harus mempertimbangkan apakah gejala psikotik merupakan efek
toksik dari obat antipileptik itu sendiri. Jika gejala psikotik tampak pada
seorang pasien yang pernah mempunyai epilepsi yang telah didiagnosis atau
dipertimbangkan sebagai diagnosis di masa lalu, klinisi harus mendapatkan satu
atau lebih pemeriksaan EEG.
Pada
pasien yang sebelumnya belum pernah mendapatkan diagnosis epilepsi. empat
karakteristik hams menyebabkan klinisi mencurigai kemungkinan tersebut; onset
psikosis yang tiba-tiba pada seseorang yang sebelumnya dianggap sehat secara
psikologis, onset delirium yang tiba-tiba tanpa penyebab yang diketahui,
riwayat episode yang serupa dengan onset yang mendadak dan pemulihan spontan,
dan riwayat terjatuh atau pingsan sebelumnya yang tidak dapat dijelaskan.
D.
Pengobatan
Karbamazepin ( tegretol) dan Asam
valproik (Depakene) mungkin membantu dalam mengendalikan gejala iritabilitas
dan meledaknya agresi, karena mereka adalah obat antipsikotik tipikal
Psikoterapi, konseling keluarga, dan terapi kelompok mungkin berguna dalam
menjawab masalah psikososial yang berhubungan dengan epilepsi. Disamping itu,
klinisi haru; menyadari bahwa banyak obat antiepileptik mempunyai suatu gangguan
kognitif derajat ringan sampai sedang dan penyesuaian dosis atau penggantian
medikasi harus dipertimbangkan jika gejala gangguan kognitif merupakan suatu
masalah pada pasien tertentu.
10.
GANGGUAN
MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN ALKOHOL
A.
Definisi Gangguan Penggunaan Zat
Gangguan penggunaan zat adalah suatu
gangguan jiwa berupa penyimpangan perilaku yang berhubungan dengan pemakaian
zat yang dapat mempengaruhi sususan saraf pusat secara kurang lebih teratur
sehingga menimbulkan gangguan fungsi sosial.
Klasifikasi gangguan penggunaan zat
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Penyalahgunaan zat, merupakan suatu
pola penggunaan zat yang bersifat patologik, paling sedikit satu bulan lamanya,
sehingga menimbulkan gangguan fungsi sosial atau okupasional. Pola penggunaan
zat yang bersifat patologik dapat berupa intoksikasi sepanjang hari, terus
menggunakan zat tersebut walaupun penderita mengetahui dirinya sedang menderita
sakit fisik berat akibat zat tersebut, atau adanya kenyataan bahwa ia tidak
dapat berfungsi dengan baik tanpa menggunakan zat tersebut.
2) Ketergantungan zat, merupakan suatu
bentuk gangguan penggunaan zat yang pada umunya lebih berat. Terdapat
ketergantungan fisik yang ditandai dengan adanya toleransi atau sindroma putus
zat. Zat-zat yang sering dipakai, yang dapat menyebabkan gangguan penggunaan
zat salah satunya yaitu alcohol (etillkohol) yang terdapat dalam minuman keras.
B.
Definisi Alkohol
Alkohol merupakan suatu bahan/zat
yang berpengaruh psikoaktif diluar Narkotika dan Psikotropika. Mengandung
etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan syaraf pusat,dan sering
menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam kebudayaan tertentu.
Jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika atau psikotropika, akan
memperkuat pengaruh obat atau zat itu dalam tubuh manusia.
Ada 3 golongan minuman berakohol,
yaitu :
1) Golongan A : kadar etanol 1-5%,
(Bir)
2) Golongan B : kadar etanol 5-20%,
(Berbagai jenis minuman anggur)
3) Golongan C : kadar etanol 20-45 %,
(Whiskey, Vodca, TKW, Manson House,Johny Walker, Kamput).
Alkohol merupakan salah satu zat
psikoaktif yang sering digunakan manusia. Diperoleh dari proses fermentasi
madu, gula, sari buah dan umbi-umbian. Dari proses fermentasi diperoleh alkohol
dengan kadar tidak lebih dari 15%, dengan proses penyulingan di pabrik dapat
dihasilkan kadar alkohol yang lebih tinggi bahkan mencapai 100%.
Nama jalanan alkohol : booze, drink.
Konsentrasi maksimum alkohol dicapai 30-90 menit setelah tegukan terakhir.
Sekali diabsorbsi, etanol didistribusikan keseluruh jaringan tubuh dan cairan
tubuh. Sering dengan peningkatan kadar alkohol dalam darah maka orang akan
menjadi euforia, namun sering dengan penurunannya pula orang menjadi depresi.
C.
Gangguan Mental Dan Perilaku Akibat Alkohol
1. Efek
Jangka Pendek Alkohol
Pada
dasarnya, alkohol memang mampu menghilangkan rasa sakit dan dalam dosis yang
lebih besar, bersifat sedatif, menyebabkan orang tertidur, bahkan kematian.
Alkohol menghasilkan berbagai efeknya melalui interaksinya dengan beberapa
sistem neural di dalam otak.
Alkohol
merangsang berbagai reseptor GABA, yang berperan dalam kemampuannya mengurangi
ketegangan. (GABA adalah neurotransmitter penghambat utama, berbagai obat
benzodiazepin, seperti vallium, memiliki efek pada reseptor GABA sama dengan
efek alkohol). Alkohol juga menaikkan kadar serotonim dan dopamin, dan efek ini
mungkin merupakan sumber dari kemampuannya untuk menciptakan efek yang
menyenangkan. Terakhir, alkohol menghambat berbagai reseptor glutamat yang
dapat menimbulkan efek kognitif intoksikasi alkohol, seperti berbicara dengan
tidak jelas dan hilangnya memori (U.S.Departement of Health and Human Service,
1994).
Terdapat
banyak keyakinan mengenai efek alkohol. Alkohol dianggap mengurangi kecemasan,
meningkatkan sosiabilitas, melenturkan hambatan, dans ebagainya. Namun ternyata
beberapa efek jangka pendek mengonsumsi sedikit alkohol berhubungan erat dengan
ekspektasi si peminum mengenai efek obat tersebut sebagaimana efeknya terhadap
aksi kimiawi pada tubuh.
2. Efek
Jangka Panjang Penyalahgunaan Alkohol Yang berkepanjangan
Efek
jangka panjang mengonsumsi alkohol dalam waktu lama secara gamblang digambarkan
dalam banyak kasus. Kebiasaan minum yang kronis menimbulkan kerusakan biologis
parah selain kemunduran psikologis. Konsumsi alkohol dalam waktu lama
memberikan efek negatif bagi hampir setiap jaringan dan organ tubuh. Malnutrisi
parah dapat terjadi, karena alkohol mengandung kalori tinggi – sekitar setengah
liter minuman kadar – 80 memasok sekitar separuh kebutuhan kalori dalam sehari-
para peminum berat seringkali mengurangi asupan makanan mereka. Namun, kalori
yang dipasok alkohol tidak ada. Alkohol tidak mengandung berbagai zat gizi yang
penting bagi kesehatan. Bahkan penyalahgunaan untuk waktu yang tidak lamapun
dapat mempengaruhi performa kognitif. Para mahasiswa yang menyalahgunakan
alkohol menunjukkan kelemahan dalam berbagai test neuropsikologis (Sher dkk.,
1997).
Alkohol
juga juga mengurangi efektifitas sistem imun, mengakibatkan meningkatnya
kerentanan terhadap infeksi dan kanker. Dan bagi wanita hamil, konsumsi alkohol
yang sangat banyak semasa hamil diketahui merupakan penyebab utama retardasi
mental. Pertumbuhan janin melambat dan terjadi kelainan tempurung kepala, wajah
serta anggota tubuh.
D.
Bahaya-Bahaya Penggunaan Alkohol
Ketika dibandingkan dengan
penggunaan alkohol oleh orang dewasa, penggunaan alkohol oleh remaja diketahui
frekuensinya lebih sering dilakukan dan volumenya lebih banyak sehingga
penggunaan alkohol pada usia remaja ini telah dianggap sangat berbahaya.
Pesta miras yang semakin cepat
bertambah, kemungkinan besar terkait dengan budaya taruhan dan uji nyali di
antara para remaja ini yang menempatkan mereka pada resiko tinggi overdosis
alkohol atau keracunan alkohol, seperti tersumbatnya aliran pernafasan yang
fatal.
Pesta miras orang dewasa
didefinisikan sebagai mengkonsumsi 5 atau lebih minuman beralkohol dalam
rentang rata-rata 2 jam secara berturut-turut. Definisi tersebut akhir-akhir
ini sering pula digunakan untuk menggambarkan penggunaan alkohol pada remaja.
Namun dalam literatur terbaru lebih
berpendapat menempatkan pesta miras pada remaja terjadi pada usia 9-13 tahun
pada anak-anak dan 14-17 tahun pada gadis dengan jumlah konsumsi 3 atau lebih
minuman beralkohol. Sedangkan untuk anak laki-laki berusia 14-15 tahun dengan
jumlah 4 atau lebih minuman beralkohol, dan usia 16-17 tahun sebanyak 5 atau
lebih minuman beralkohol. Penggunaan alkohol menjadi kontributor utama penyebab
kematian para remaja di Amerika Serikat seperti kecelakaan kendaraan, bunuh
diri, dan pembunuhan. Kecelakaan tabrakan kendaraan bermotor menempati
urutan teratas dalam penyebab kematian para remaja Amerika Serikat. Pada tahun
2007 sebuah survei tentang Youth Risk Behavior mengungkapkan
bahwa selama selang waktu 30 hari digelarnya survei tersebut, sebanyak 29,1%
para siswa di Amerika Serikat setidaknya pernah satu kali atau lebih menjadi
penumpang sebuah mobil yang dikendarai oleh supir yang sedang minum alkohol,
dan sebanyak 10,5% dari mereka sedikitnya pernah sesekali mengendarai sendiri
kendaraannya sambil minum alkohol. Setelah Amerika Serikat mengubah aturan
batasan minimal mengkonsumsi alkohol menjadi 21 tahun, jumlah kecelakaan
berkendaraan yang fatal secara individual di bawah usia 21 tahun menjadi
menurun secara signifikan. Hal ini memperlihatkan adanya sebuah keterkaitan
erat antara penggunaan alkohol dan kecelakaan berkendaraan yang melibatkan para
remaja. Bila dilakukan perbandingan, kasus remaja yang mengendarai mobil dalam
keadaan mabuk frekuensinya masih rendah di bawah para orang dewasa, namun,
tingkat resiko kecelakaan motor para remaja lebih besar dibandingkan orang
dewasa saat mereka mabuk, khususnya ketika kadar alkohol dalam tubuh para
remaja ini berada pada level rendah dan menengah. Batasan minimal mengkonsumsi
alkohol secara legal di Amerika Serikat juga telah diasosiasikan dengan laju
bunuh diri yang tinggi pada remaja.
Beberapa literatur penelitian secara konsisten melaporkan hubungan keterkaitan yang erat antara penggunaan dan penyalahgunaan alkohol dengan perilaku yang beresiko termasuk penyerangan, aktifitas seksual yang riskan dan mengembang kepada penyalahgunaan obat-obatan. Sehingga bagaimana pun juga penggunaan alkohol oleh para remaja tetap tidak aman sekalipun di saat sedang tidak mengendarai. Dampak buruk lainnya yang juga tercatat adalah gangguan mental dan fisik pada remaja itu sendiri. Gangguan-gangguan akibat penggunaan alkohol menjadi sebuah faktor resiko terjadinya percobaan bunuh diri pada remaja.
Beberapa literatur penelitian secara konsisten melaporkan hubungan keterkaitan yang erat antara penggunaan dan penyalahgunaan alkohol dengan perilaku yang beresiko termasuk penyerangan, aktifitas seksual yang riskan dan mengembang kepada penyalahgunaan obat-obatan. Sehingga bagaimana pun juga penggunaan alkohol oleh para remaja tetap tidak aman sekalipun di saat sedang tidak mengendarai. Dampak buruk lainnya yang juga tercatat adalah gangguan mental dan fisik pada remaja itu sendiri. Gangguan-gangguan akibat penggunaan alkohol menjadi sebuah faktor resiko terjadinya percobaan bunuh diri pada remaja.
Beberapa gangguan akibat penggunaan
alkohol pada remaja secara psikologis di antaranya tidak adanya gairah semangat
(mood disorders), terutama depresi; kegelisahan atau
fobia; kurang fokus atau konsentrasi hingga gangguan attention deficit/hyperactivity
disorder (ADHD);
perilaku atau tabiat menjadi terganggu; bulimia; dan schizophrenia. Sedangkan gangguan secara fisik di
antaranya trauma sequelae (semacam gangguan pada
ginjal),gangguan tidur, konsentrasi tinggi serum enzim hati, gigi dan organ
oral yang abnormal,meskipun kondisi abnormal tersebut relatif sedikit ditemukan
saat pemeriksaan fisik.
E.
Faktor Yang Berkontribusi Dalam Bahaya Penggunaan Alkohol Dan
Obat-Obatan
1) Faktor
Genetik dan Keluarga
Studi-studi
pada saudara kembar di lingkungan populasi orang dewasa telah secara konsisten
mendemonstrasikan pengaruh genetik dalam penggunaan dan penyalahgunaan
alkohol, namun masih sedikit penelitian yang meneliti pengaruh genetik
secara spesifik menurut rentang usia pada para remaja. Penelitian pada remaja
melalui subjek saudara kembar, kembar identik ataupun yang diadopsi, sekelompok
peneliti di antaranya Rhee dan kawan-kawan meneliti relatifitas kontribusi
dari genetik dan lingkungan terhadap inisiasi pencobaan pertama mengkonsumsi
alkohol, penggunaannya secara berkala dan masalah-masalah umum yang berkaitan
dengan penyalahgunaan zat kimia. Hasil dari penelitian ini mendemonstrasikan
bahwasannya para remaja, dibandingkan dengan temuan studi pada kembar dewasa,
tingkat pengaruh genetiknya lebih tinggi, sedangkan pengaruh lingkungan lebih
rendah untuk penggunaan alkohol atau obat-obatan ketimbang kejadian inisiasi
penggunaan awal.
Keluarga
memainkan peranan penting dalam perkembangan masalah alkohol dan obat-obatan
pada remaja. Penggunaan obat-obatan oleh orang tua atau saudara yang lebih tua
serta perilaku orang tua yang membebaskan anaknya (tidak terkontrol) terhadap
penyalahgunaan obat-obatan pada remaja, akan beresiko tinggi terjadinya penggunaan
alkohol dan obat-obatan pada para remaja.Pengawasan orang tua terhadap apa yang
akan digunakan oleh anak-anaknya, dan memastikan berlakunya aturan dan etika
dalam rumah tangga akan menghalangi atau menekan penggunaan alkohol di antara
para remaja.
Di
Amerika Serikat tercatat sebanyak 7 juta anak-anak yang berusia di bawah 18
tahun adalah anak-anak yang hidup dengan orang tua yang alkoholik. Anak-anak
yang orang tuanya melakukan penyalahgunaan alkohol sangat beresiko dengan
masalah-masalah perilaku dan kesehatannya, termasuk kriminal, gangguan
kecerdasan, ADHD, keluhan-keluhan kejiwaan, dan masalah alkoholisme sebagaimana
yang terjadi pada orang dewasa.
2) Faktor-faktor
Lainnya
Keadaan
lingkungan dan mempunyai teman-teman yang pengguna alkohol, tembakau atau
obat-obatan, merupakan pendorong terkuat kemungkinan besar terjadinya perilaku
penggunaan zat-zat kimiawi oleh para remaja. Peluang terjadinya penyalahgunaan
ini lebih tinggi lagi terjadi bila di dalam komunitas tersebut alkohol dan
obat-obatan terlarang murah biayanya dan mudah didapatkan.
Faktor
resiko lainnya yang juga ikut mendorong terjadinya penyalahgunaan zat-zat
kimiawi di antaranya kinerja sekolah yang buruk, tidak adanya penanganan ADHD,
dan penyimpangan perilaku. Media berpengaruh besar pula terhadap terjadinya
penggunaan alkohol oleh para remaja. Jernigan et al meneliti para anak
laki-laki dan perempuan yang diberikan ekspos majalah yang menampilkan
iklan-iklan alkohol dibandingkan dengan respon orang dewasa, menemukan
bahwasannya dibandingkan dengan orang dewasa yang berusia 21 tahun atau lebih,
sebesar 45% para remaja di bawah usia lebih cenderung untuk melihat iklan bir,
sebanyak 12% lebih cenderung melihat iklan minuman campur alkohol sulingan, 65%
lebih cenderung untuk melihat iklan minuman penyegar berkadar alkohol rendah (alcopop atau lemonade, ice tea, atau minuman buah-buahan yang mengandung
alkohol), dan 69% cenderung kepada iklan minuman berkadar air anggur rendah.
Ekspos iklan-iklan alkohol kepada para gadis lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Media lainnya seperti televisi, film, papan reklame, dan internet, dikenal sangat mempengaruhi dalam promosi alkohol menggunakan gambaran yang atraktif tanpa menyinggung atau mengasosiasikannya dengan konsekuensi negatifnya. Sejumlah penelitian telah memperlihatkan bahwa ekspos media dapat membuat anak-anak dan para remaja lebih cenderung untuk bereksperimen dengan alkohol.
Ekspos iklan-iklan alkohol kepada para gadis lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Media lainnya seperti televisi, film, papan reklame, dan internet, dikenal sangat mempengaruhi dalam promosi alkohol menggunakan gambaran yang atraktif tanpa menyinggung atau mengasosiasikannya dengan konsekuensi negatifnya. Sejumlah penelitian telah memperlihatkan bahwa ekspos media dapat membuat anak-anak dan para remaja lebih cenderung untuk bereksperimen dengan alkohol.
3) Faktor
Perkembangan Sistem Saraf Pada Remaja
Lebih
dari satu dekade yang lalu, terjadi lompatan besar dalam pemahaman ilmu
pengetahuan tentang kecanduan yang dikaitkan dengan sistem saraf biologis (neurobiological). Studi-studi yang menginvestigasi
perkembangan normal dari otak telah memberikan informasi yang luas tentang
dampak dari alkohol dan obat-obatan terhadap otak para remaja.
Terdapat
beberapa kemungkinan dampak dari alkohol dan obat-obatan terhadap otak remaja,
kondisi ini disebabkan karena belum sempurnanya proses perkembangan pada otak
mereka sehingga mengkondisikannya rawan terhadap keracunan dan kencanduan
obat-obatan, dan penggunaan obat-obatan itu sendiri dapat mempengaruhi secara
langsung perkembangan otak mereka.
Penggunaan
alkohol dan obat-obatan selama masa-masa awal usia remaja, ditambah pula dengan
kecenderungan secara genetik dari orang tuanya yang juga menyalahgunakan dan
kecanduan obat-obatan, dapat beresiko meningkatkan potensi penggunaan alkohol
dan obat-obatan dalam periode keremajaan mereka.
F.
Terapi Untuk Peminum Alkohol
Penanganan Tradisional di rumah
sakit umum dan swasta di seluruh dunia selama bertahun-tahun telah menyediakan
tempat bagi para penyalahgna alkohol, berupa ruang-ruang rawat di mana individu
dapat menghentikan kebiasaan minumnya dan mengikuti berbagai terapi individual
dan kelompok. Penghentian alkohol, yaitu detoksifikasi, dapat berjalan sulit,
baik secara fisik maupun psikologis, dan biasanya memerlukan waktu sekitar
sebulan. Obat-obat penenang terkadang diberikan untuk menghilangkan kecemasan
dan rasa tidak nyaman karena putus zat. Karena banyak penyalahguna alkohol yang
menyalahgunakan obat penenang tersebut, beberapa klinik mencoba menggunakan
cara penghentian secara bertahap tanpa obat-obatan penenang daripada
mengehentikan alkohol secara total. Proses penghentian tanpa bantuan obat
tersebut berhasil bagi sebagian besar peminum bermasalah (Wartenburg, 1990).
Penanganan biologis paling baik bila
dipandang sebagai suatu penanganan tambahan. Yaitu penanganan yang dapat
memberikan manfaat bila dikombinasikan dengan suatu intervensi psikologis.
Meskipun demikian, saat ini terdapat beberapa data mengenai terapi yang
mencakup kombinasi terapi obat dan psikoterapi maupun kombinasi beberapa obat
yang berbeda (Myrick dkk, 2000). Beberapa peminum bermasalah yang sedang dalam
penanganan, baik rawat inap maupun rawat jalan, menggunakan disulfiram atau
antabuse, obat yang mencegah minum dengan cara menyebabkan muntah-muntah hebat
jika alkohol diminum. Obat tersebut menghambat metabolisme alkohol sehingga tercipta
produk sampingan yang sangat tidak mengenakkan.
Alcoholics anonymous, kelompok
terapi mandiri terbesar dan paling terkenal di seluruh dunia adalah Alcoholic
Anonymous (AA), yang didirikan tahun 1935 oleh dua orang mantan pecandu
alkohol. Pada intinya ialah, bahwa dorongan semangat dari suatu kelompok untuk
tidak kembali kepada kebiasaan minum alkohol, tentunya dengan berbagai cara dan
tahapan yang terstruktur dengan baik. Setiap orang dalam kelompok ini
ditanamkan keyakinan bahwa penyalahgunaan alkohol merupakan penyakit yang tidak
pernah dapat disembuhkan, dan diperlukan kewaspadaan yang terus menerus agar
dapat menahan diri untuk tidak minum walaupun hanya sekali karena bila terjadi
demikian, kebiasaan minum yang tidak terkendali akan terjadi lagi.
Terapi pasangan dan keluarga,
alkohol sangat merusak hidup para peminum bermasalah, oleh karena itu, banyak
yang hidup hampir menyendiri, dan tidak diragukan lagi bahwa kurangnya dukungan
sosial tersebut memperparah masalah minum mereka. Terkait dengan dukungan
pasangan, pentingnya dukungan pasangan dalam upaya peminum bermasalah untuk
mengatasi berbagai stres yang tidak terhindarkan dalam hidup tidak boleh
diremehkan. Namun, yang juga tidak boleh diremehkan adalah sulitnya menjaga
agar tetap minum dalam jumlah yang wajar atau berhenti minum dalam pemantauan
selama satu dan dua tahun terlepas dari jenis intervensi perkawinan dan efek
positifnya dalam jangka pendek (Alexander, 1994).
Penanganan kognitif dan perilaku,
secara umum terapi kognitif dan behavioral merupakan penanganan psikologis yang
paling efektif bagi penyalahgunaan alkohol (Finney & Moos, 1998).
Terapi Aversi, dalam terapi ini
seorang peminum bermasalah dikejutkan atau dibuat menjadi mual ketika melihat,
meraih, atau memulai minum alkohol. Dalam satu prosedur yang disebut
sensitisasi tertutup (Cautela, 1966), si peminum bermasalah diinstruksikan
untuk membayangkan dirinya mengalami mual yang hebat dan luar biasa karena
minum alkohol.
Pendekatan manajemen peristiwa dan
penguatan komunitas, terapi manajemen peristiwa
bagi penyalahguna alkohol mencakup mengajari pasien dan orang-orang dekatnya
untuk menguatkan perilaku yang tidak berkaitan dengan minum.
Minum secara wajar, mengingat sulitnya masyarakat
menghindari alkohol sama sekali, mungkin lebih baik mengajari seorang pemium
bermasalah, setidak-tidaknya yang tidak menyalahgunakan secara ekstrem, untuk
minum secara wajar. Harga diri seorang peminum pasti akan bertambah karena
mampu mengendalikan suatu masalah dan karena merasa memiliki kendali atas
hidupnya.
F11.
GANGGUAN MENTAL dan PERILAKUAKIBAT PENGGUNAAN OPIOIDA
1.
Definisi Opioida
Opioida adalah nama segolongan zat, baik
alamiah, semisintetik, maupun sintetik yang mempunyai khasiat seperti morfin.
Menurut asalnya opioida terbagi menjadi
3,yaitu :
1) Opioida alamiah, seperti : opium,
morfin, dan kodein.
2) Opioida semisintetik, yaitu opioida
yang diperoleh dari opium yang diolah melalui proses atau perubahan kimiawi.
Sebagai contoh, heroin (diasetil-morfin) dan hidromonfon (dilaudid)
3) Opioida sintetik, yang dibuat di
pabrik,misalnya meperidin (petidin), metadon, propoksifen, levorfanol, dan
levalorfan.
Selain mempunyai khasiat analgesic
(menghilangkan rasa sakit ), opioida juga mempunyai khasiat hipnotik (
menidurkan ) dan eufona ( menimbulkan rasa gembira dan sejahtera ). Penggunaan
opoioida berulang kali dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan. Bila
sudah terjadi ketergantungan terhadap opoioida, lalu jumlah penggunaan di
kurangi atau di hentikan, maka akan timbul gejala putus zat ( withdrawal ).
Pada umumnya, opoioida dikonsumsi melalui suntikan intravena, inhalasi,
dicampur dalam rokok, tembakau, atau zat oral.
2. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pemakaian opoioida antara lain
:
1) Euforia awal diikuti oleh suatu
periode sedasi, dikenal dengan istilah jalanan sebagai “nodding off’
2) Euforik yang tinggi (“rush”)
3) Rasa berat pada anggota gerak
4) Mulut kering
5) Wajah gatal (khususnya hidung)
6) Kemerahan pada wajah
7) Untuk orang awam yang pertama kali
memakai opioida dapat menyebabkan disforia, mual, dan muntah
Efek flsik: depresi pernafasan, konstriksi pupil, kontraksi
otot polos (termasuk ureter dan saluran empedu), konstipasi, perubahan tekanan
darah, kecepatan denyut jantung dan temperatur tubuh.
3. lntoksikasi
dan Overdosis Oploida
-
Intoksikasi opioida ditandai
dengan :
1.
Pemakaian opioida yang belum lama terjadi
2.
Perubahan perilaku maladaptif yang bermakna secara klinis
3.
Perubahan mood
4.
Retardasi psikomotor
5.
Mengantuk
6.
Bicara cadel (slurred speech).
7.
Gangguan daya ingat dan perhatian
-
Gejala overdosis opioida ditandai dengan :
1) Hilangnya responsivitas yang nyata
2) Koma
3) Pin point pupil
4) Depresi pernafasan
5) Hipotermia
6) Hipotensi
7) Bradikardia
4. Putus
Oploida
Gejala putus opioida ditandai dengan :
1)
Penghentian (atau penurunan) opioida yang telah lama atau
berat
2)
Mood disforik
3)
Mual atau muntah
4)
Nyeri otot
5)
Lakrimasi atau rinorea
6)
Dilatasi pupil, piloreksi, atau berkeringat
7)
Diare
8)
Menguap
9)
Demam
10)
Insomnia
5. Penatalaksanaan
lntoksikasi, Overdosis, dan Putus Opioida
Ø Penatalaksanaan intoksikasi opioida
:
1) Beri nalokson HCI (Narcan) sebanyak
0,2-0,4 mg atau 0,01 mg/kg berat badan secara intravena, intermuskular, atau
subkutan.
2) Bila belum berhasil, dapat diulang
sesudah 3-10 menit sampai 2-3 kali.
3) Oleh karena narcan mempunyai jangka
waktu kerja hanya 2-3 jam, sebaiknya pasien tetap dipantau selama
sekurang-kurangnya 24 jam bila pasien menggunakan heroin dan 72 jam bila pasien
menggunakan metadon.
Waspada terhadap kemungkinan
timbulnya gejala putus opioida akibat pemberian narcan.
Ø Penatalaksanaan overdosis opoioida :
1) Pastikan jalan nafas yang terbuka.
2) Jaga tanda vital.
3) Usahakan peredaran darah berjalan
lancar: bila jantung berhenti berdenyut, lakukan masase jantung ekstemal dan
berikan adrenalin intrakardial; bila terjadi fibrilasi, gunakan defifrilator;
bila sirkulasi darah tidak memadai, beri infus 50 cc sodium bikarbonat (3,75
gr)guna mengatasi asidosis.
4) Awasi kemungkinan terjadinya kejang.
5) Bila tekanan darah tidak kunjung
naik menjadi normal, pertimbangkan untuk memberi plasma expander atau
vasopresor.
6) Beri antagonis opiat, nalokson: 0,4
mg intravena. Dosis tersebut dapat diulang empat sampai lima kali dalam 30
sampai 45 menit pertama sampai menunjukkan respons yang adekuat.
7) Observasi ketat dan awasi
kemungkinan relaps ke keadaan semikoma dalam empat sampai lima jam.
Ø Penatalaksanaan putus opioida dapat
ditempuh melalui beberapa cara antara lain :
1) Terapi putus opioida seketika (abrupt
withdrawal), yaitu tanpa memberi obat apa pun. Pasien merasakan semua
gejala putus opiolda. Terapi ini diberikan dengan harapan pasien akan jera dan
tidak akan menggunakan opiolda lagi. Cara ini tidak disukai pasien, tidak
efektif, dan hampir tidak pernah dilakukan lagi di fasilitas kesehatan.
2) Terapi putus opioida dengan terapi
simtomatik: untuk menghilangkan rasa nyeri berikan analgetik yang kuat; untuk
gelisah berikan tranquilizer, untuk mual dan muntah berikan antiemetik; untuk
kolik berikan spasmolitik; untuk rinore berikan dekongestan; untuk insomnia
berikan hipnotik; untuk memperbaiki kondisi badan dapat ditambahkan vitamin.
3) Terapi putus opioida bertahap (gradual
withdrawal): dengan memberikan opioida yang secara hukum boleh digunakan
untuk pengobatan,misalnya morfin, petidin, kodein, atau metadon. Kebanyakan
metadon digunakan secana oral. Biasanya diberikan dosis awal 10-40 mg,
bergantung pada berat ringannya ketergantungan pasien terhadap opioida,
diberikan dalam dosis terbagi (start low go slow). Pada hari kedua dan
seterusnya, dosis dikurangi 10 mg setiap hari sampai jumlah dosis sehari 10 mg.
Sesudah itu, diturunkan menjadi 5 mg sehari selama 1-3 hari
Buprenorfin juga dapat dipakai untuk detoksiflkasi dengan cara yang sama dengan metadon, dengan dosis awal 4-8 mg. Dapat pula dipakai kodein dengan dosis 3-4 kali sehari @ 60-100 mg. Dosis diturunkan 5-10 mg tiap hari menjadi 3-4 kali sehari @ 55mg dan seterusnya.
Buprenorfin juga dapat dipakai untuk detoksiflkasi dengan cara yang sama dengan metadon, dengan dosis awal 4-8 mg. Dapat pula dipakai kodein dengan dosis 3-4 kali sehari @ 60-100 mg. Dosis diturunkan 5-10 mg tiap hari menjadi 3-4 kali sehari @ 55mg dan seterusnya.
4) Terapi putus opioida bertahap dengan
substitut non-opioida, misalnya klonidin. Dosis yang diberikan 0,01 - 0,3 mg
tiga atau empat kali sehari atau 17 mikrogram per kg berat badan per hari
dibagi dalam tiga atau empat kali pemberian.
5) Terapi dengan memberikan antagonis
opioida di bawah anestesi umum (rapid detoxification). Gejala putus zat
timbul dalam waktu pendek dan hebat, tetapi pasien tidak merasakan karena
pasien dalam keadaan terbius. Keadaan ini hanya berlangsung sekitar enam jam
dan perlu dirawat satu sampai dua hari.
6. Terapi
Pasca-detoksifikasi
Setelah detoksifikasi selesai,
terapis harus memberitahukan bahwa proses penyembuhan belum selesai, pasien
baru menyelesaikan tahap awal dan proses penyembuhan. Terapis harus senantiasa
menyadarkan pasien bahwa perilaku penggunaan zat psikoaktif oleh pasien adalah
perilaku yang merugikan kesehatan pasien, merugikan kehidupan sosial, dan
merugikan keluarganya.
Sama seperti penyakit kronis
lainnya, setelah diobati pasien harus mengubah pola hidupnya.Untuk mengubah
perilaku, pasien masih harus mengikuti program pasca-detoksifikasi.Program
pasca-detoksifikasi banyak ragamnya, yang pada umumnya menggunakan pendekatan
farmakologi, non-farmakologi, konseling, dan psikoterapi. Bila pasien telah
memutuskan akan mengikuti terapi pascadetoksifikasi, terapis bersama pasien
dan keluarganya membicarakan terapi pasca-detoksifikasi mana yang sesuai untuk
pasien.
Keberhasilan terapi
pasca-detoksifikasi sangat dipengaruhi oleh motivasi pasien.Pasien yang dapat
menyelesaikan program terapi pasca-detoksiflkasi biasanya hasilnya lebih baik
daripada mereka yang tidak menyelesaikan program tersebut.Kemungkinan kambuh
lebih kecil, dan bila kambuh, terjadi setelah abstinensi yang lebih
lama.Program terapi pasca-detoksiflkasi ada yang non panti dan panti.
7. After Care
After care adalah perawatan lanjutan
bagi seseorang yang telah mengikuti program terapi yang terstruktur.Hal ini
perlu dilakukan mengingat eks-pasien rentan terpapar pada lingkungan yang
mendorong mereka untuk kembali menggunakannya. Seringkaii pula eks-pasien
berharap terlalu cepat dan terlalu yakin diri bahwa ia mampu melepaskan dirinya
dan kebiasaan menggunakan zat psikoaktif saat ini. Dalam after care ini,
eks-pasien selalu dikuatkan kembali dan didukung terus-menerus agar tetap tidak
menggunakan zat psikoaktif lagi.
FI2.
GANGGUAN MENTAL dan PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN KANABINOIDA
Gangguan mental
atau penyakit kejiwaan adalah pola psikologis atau perilaku yang pada
umumnya terkait dengan stres
atau kelainan mental yang tidak dianggap sebagai bagian dari perkembangan
normal manusia. Gangguan tersebut didefinisikan sebagai kombinasi afektif,
perilaku, komponen kognitif atau persepsi yang
berhubungan dengan fungsi tertentu pada daerah otak
atau sistem saraf
yang menjalankan fungsi sosial manusia. Penemuan dan pengetahuan tentang
kondisi kesehatan mental telah berubah sepanjang perubahan waktu dan perubahan
budaya, dan saat ini masih terdapat perbdaan tentang definisi, penilaan dan
klasifikasi, meskipun kriteria pedoman standar telah digunakan secara luas.
Lebih dari sepertiga orang di sebagian besar negara-negara melaporkan masalah
pada satu waktu pada hidup mereka yang memenuhi kriteria salah satu atau
beberapa tipe umum dari kelainan mental.
Kanabinoid:
Ganja
Ganja atau kanabis atau marihuana atau hasis, dengan
zat psikoaktifnya adalah tetrahidrocannabinol (THC). Biasanya dipakai sebagai
obat stress, cemas dan depresi. Di beberapa wilayah Indonesia, ganja dipakai
sebagai penyedap makanan atau perangsang nafsu makan. Menurut UU nomor 5 tahun 1997
tentang Narkotika, jenis ini termasuk narkotika golongan 1 (satu). Penggunaan
ganja hanya untuk tujuan ilmu pengetahuan.
●
Intoksikasi: mata merah, detak jantung cepat, mulut kering, perasaan melambung
/ high, rasa percaya diri, depersonalisasi, dereliasi, elasi/ ketawa,
halusinasi, inkoherensi, waham.
● Putus
Zat: gejalanya ringan insomnia, mual, nafsu makan kurang, otot-otot terasa
sakit, berkeringat, cemas, gelisah, bingung dan depresi. Pada pemakai awal /
pemula biasanya dapat reaksi panik.
Ganja atau kanabis berasal dari tanaman cannabis sativa. Nama lainnya adalah
charas, grass, dope, pot, weed, mull, bhang, dan hashish. Ganja telah digunakan
berates-ratus tahun untuk kepentingan ritual. Efek psikoaktif ganja karena
mengandung tetrahidrokanabinol atau THC.THC termasuk depresan SSP yang
mempunyai efek halusinogenik. ada 3 bentuk kanabis yang disalahgunakan, yaitu
mariuana daun atau bunga yang dikeringkan, harshish (resin THC) dan minyak
harsish.
Sedemikian berbahayanya unsur THC
dalam ganja itu, sehingga untuk orang yang baru pertama kali menyalahgunakan
ganja saja, akan segera mengalami intoksikasi (keracunan) ganja yang secara
fisik yaitu : jantung berdebar (denyut jantung menjadi bertambah cepat 50% dari
sebelumnya), bola mata memerah (disebabkan pelebaran pembuluh darah kapiler
pada bola mata), mulut kering (karena kandungan THC mengganggu sistem syaraf
otonom yang mengendalikan kelenjar air liur), nafsu makan bertambah (karena
kandungan THC merangsang pusat nafsu makan di otak), dan tertidur (setelah
bangun dari tidur, dampak fisik akan hilang).
Efek dari penggunaan ganja
1.
Efek ganja pada dosis rendah
Efek timbul setelah 2-3 jam setelah merokok ganja, yaitu berupa:
a. Rilex, tenang, kalm, dan bahkan
tertawa sendiri.
b. Pada awal pemakaian merangsang nafsu
makan (the munchies effect)
c. Daya ingat berkurang atau hilang.
d. Mata merah, dan tekanan darah turun.
2.
Efek ganja pada dosis besar
Dosis
besar akan menimbulkan efek seperti diatas tetapi dengan intensitas yang lebih
tinggi dan masih disertai efek lain seperti dingin, kelelahan, euphoria,
halusinasi, gelisah, panic, dan paranoid.
3.
Efek jangka panjang
Dari
berbagai penelitian, efek jangka panjang pemakaian ganja berupa:
a.
gangguan saluran pernapasan
pemakaian kanabisumumnya dirokok
atau dihisap. Kanabis mengandung tar lebih banyak dibandingkan tembakau, maka
perokok ganja akan lebih besar kemungkinannya terserang brongkhitis.
b.
Hilang motivasi
Pengguna ganja akan mengalami lemah
fisik, halusinasi sehingga prestasi kerja atau belajar sangat menurun.
c.
Fungsi otak menurun
Kanabis dapat menghilangkan
kemampuan mengingat, konsentrasi, dan dampaknya baru kembali setelahbeberapa
bulan berhenti menggunakan.
d.
Gangguan hormone
Terjadi gangguan hormone reproduksi
baik pada wanita atau laki-lakiyang dapat berakibat gairah seks menurun,
menstruasi tidak teratur dan jumlah sperma menurun.
e.
Gangguan system saraf
Telah banyak ditemukan pengguna
jangka panjang kanabis dapat mengalami psikosis (gangguan jiwa) yang ditandai
dengan halusinasi, delusi, dan paranoid.
Penyebab
narkoba disebabkan oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal:
1.
Faktor Internal
Adalah faktor yang berasal dari diri seseorang.
a. Keluarga : Jika hubungan dengan
keluarga kurang harmonis (Broken Home) maka seseorang akan mudah merasa putus
asa dan frustasi. Akibat lebih jauh, orang akhirnya mencari kompensasi diluar
rumah dengan menjadi konsumen narkoba.
b. Ekonomi : Kesulitan mencari
pekerjaan menimbulkan keinginan untuk bekerja menjadi pengedar narkoba.
Seseorang yang ekonomi cukup mampu, tetapi kurang perhatian yang cukup dari
keluarga atau masuk dalam lingkungan yang salah lebih mudah terjerumus jadi
pengguna narkoba.
c. Kepribadian :Apabila kepribadian
seseorang labil, kurang baik, dan mudah dipengaruhi orang lain maka lebih mudah
terjerumus kejurang narkoba.
2.
Faktor Eksternal
Adalah faktor yang berasal dari luar seseorang, faktor yang
cukup kuat untuk mempengaruhi seseorang.
a. Pergaulan : Teman sebaya mempunyai
pengaruh cukup kuat bagi terjerumusnya seseorang kelembah narkoba, biasanya
berawal dari ikut-ikutan teman. Terlebih bagi seseorang yang memiliki
mental dan keperibadian cukup lemah, akan mudah terjerumus.
b. Sosial /Masyarakat : Lingkungan
masyarakat yang baik terkontrol dan memiliki organisasi yang baik akan mencegah
terjadinya penyalahgunaan narkoba
F13.Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Sedativa
atau Hipnotika
F14. Gangguan Mental danPerilaku akibat Penggunaan Kokain
• Multi Axial Diagnosis
Aksis I : F13.Gangguan mental dan perilaku akiba tpenggunaan sedative atau hipnotika
F14. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain
Aksis II : Z03.2 tidak ada diagnosis
Aksis III : tidak ada (none)
Aksis IV : tidak ada (none)
Aksis V : tergantung denganmgejala yang dialami pada kasus
Aksis I : F13.Gangguan mental dan perilaku akiba tpenggunaan sedative atau hipnotika
F14. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain
Aksis II : Z03.2 tidak ada diagnosis
Aksis III : tidak ada (none)
Aksis IV : tidak ada (none)
Aksis V : tergantung denganmgejala yang dialami pada kasus
A.Definisi
Penyalah gunaan NAPZA adalah
pemakaian NAPZA yang bukan untuk tujuan pengobatan atau yang digunakan tanpa
mengikuti aturan atau pengawasan dokter, digunakan secara berkali-kali,
Kadang-kadang atau terus menerus, sering kali menyebabkan ketagihan atau ketergantungan,
baik secara fisik/jasmani, maupun mental emosional sehingga menimbulkan
gangguan fisik, mental- emosional dan fungsisosial.
B. Etiologi
B. Etiologi
1.
Faktor individu
Kebanyakan penyalah gunaan NAPZA
dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebabremaja yang sedang mengalami
perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang
rentan.
2. Faktor Lingkungan Fakto rlingkungan
meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan, baik disekitar rumah,
sekolah, teman sebaya maupu nmasyarakat.
3. Faktor keluarga
Terutama
faktor orang tua, antara lain :
• lingkungan keluarga,
• komunikasi orang tua – anak kurang baik/efektif,
• hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga,
• orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh, orang tua otoriter atau serba belarang,
• orang tua yang serba membolehkan (permisif),
• kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan,
• orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah NAPZA,
• tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah ( kurang konsisten )
• kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam keluarga.
• Orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalah guna NAPZA
• kurang disiplin, terletak dekat tempat hiburan dan penjual NAPZA,
• kurang member kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri.
• Ada murid yang menyalahgunakan NAPZA.
Lingkungan Teman Sebaya
• berteman dengan penyalahguna.
• Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar.
Lingkungan masyarakat/sosial
• Lemah nya penegakan hukum
• Situasi politik, social dan ekonomi yang kurang mendukung
Faktor NAPZA
• Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga “terjangkau”,
• Banyak nya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba.
• Khasiat farmakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri, menidurkan, membuat euphoria/fly/stone/hogh/telerdan lain-lain.
• lingkungan keluarga,
• komunikasi orang tua – anak kurang baik/efektif,
• hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga,
• orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh, orang tua otoriter atau serba belarang,
• orang tua yang serba membolehkan (permisif),
• kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan,
• orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah NAPZA,
• tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah ( kurang konsisten )
• kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam keluarga.
• Orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalah guna NAPZA
• kurang disiplin, terletak dekat tempat hiburan dan penjual NAPZA,
• kurang member kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri.
• Ada murid yang menyalahgunakan NAPZA.
Lingkungan Teman Sebaya
• berteman dengan penyalahguna.
• Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar.
Lingkungan masyarakat/sosial
• Lemah nya penegakan hukum
• Situasi politik, social dan ekonomi yang kurang mendukung
Faktor NAPZA
• Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga “terjangkau”,
• Banyak nya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba.
• Khasiat farmakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri, menidurkan, membuat euphoria/fly/stone/hogh/telerdan lain-lain.
C.Epidemiologi
Menjelang akhir millennium kedua,
diseluruh dunia terdapat 1.100.000.000 orang yang mengalami ketergantungan
nikotin, 250.000.000 orang yang mengalami ketergantungan alkohol, dan
15.000.000 orang yang mengalami ketergantungan zatp sikoaktif lain.
Penggunaan zat psikoaktif terdapat padas emua golongan umur, pada kedua gender, pada semua golongan etnik, dan pada semuat ingka tsosial ekonomi. Namun demikian, terdapat kecenderungan tertentu seperti angka prevalensi yang berbeda-beda pada golongan umur, atau zat psikoaktif tertentu lebih banyak penggunanya pada kelompok tertentu.
Penggunaan zat psikoaktif terdapat padas emua golongan umur, pada kedua gender, pada semua golongan etnik, dan pada semuat ingka tsosial ekonomi. Namun demikian, terdapat kecenderungan tertentu seperti angka prevalensi yang berbeda-beda pada golongan umur, atau zat psikoaktif tertentu lebih banyak penggunanya pada kelompok tertentu.
D.ManifestasiKlinis
1. Kokain
a. Gejala – gejala umum
a. Gejala – gejala umum
1) Agitasi psikomotor (perilakugelisah,
tidakdapatdiam)
2) Rasa gembira (elation)
3) Rasa harga diri meningkat
4) Banyak bicara
5) Kewaspadaan menignkat (kecurigaan, prasangka
buruk, paranoid)
6) Jantung berdebar-debar
7) Pupil mata melebar
8) Berkeringat berlebihan atau memrasa
kedinginan
9) Mual/muntah
10) Perilaku Maladaptif : Perkelahian,
gangguan daya nilai realitas, gangguan dalam fungsi social dan pekerjaan
b. gejala putus zat
1) Alam perasaan epresif (murung, sedih, tidak dapat merasa senang,
keinginan untuk bunuhdiri)
2) Rasa letih, lesu, tidak berdaya,
kehilangan semangat
3) Gangguan tidur
4) Gangguan mimpi bertambah
2. Sedativa atau hipnotika
a. Gejala psikologik
a. Gejala psikologik
1)
Emosi labil
2) Hilangnya hambatan impuls seksual dan agresif
3) Mudah tersinggung
4) Banyak bicara (tidak nyambung)
2) Hilangnya hambatan impuls seksual dan agresif
3) Mudah tersinggung
4) Banyak bicara (tidak nyambung)
b.
Gejalaneurologik
1)
Bicara cadel
2) Gangguan koordinasi
3) Cara jalan tida kmantap
4) Gangguan perhatian atau daya ingat
2) Gangguan koordinasi
3) Cara jalan tida kmantap
4) Gangguan perhatian atau daya ingat
c.
Efek perilaku maladaptive
1)
Secara umum
a)
Gangguan daya nilai realitas
b) Halangan dalam fungsi sosial/pekerjaan
c) Gagal bertanggung jawab
b) Halangan dalam fungsi sosial/pekerjaan
c) Gagal bertanggung jawab
2)
Secara khusus
a) Mual/muntah
b) Kelelahan unum atau kelebihan
c) Hiperaktivitas autonomik (mis: berdebar-ebar, tekanan darah naik,
berkeringat )
d) Kecemasan (rasa takut dan gelisah)
e) Depresif atau iritabel (rasa murung,
sedih, mudah tersinggung, dan marah)
f) Hipotensi orostatik (tekanan darah rendah)
g) Tremor kasar pada tangan, lidah dan
kelopak mata
E. FaktorResiko
1. Konflik keluarga yang berat
2. Kesulitan Akademik
3. Adanya komorbiditas dengan gangguan
psikiatrik lain, seperti gangguan tingkah laku dan depresi.
4. Penyalah gunaan NAPZA oleh orang
–tua dan teman
5. Impulsivitas
6. Merokok pada usia terlalu muda.
F.
Patogenesis dan Patofisiologi
faktor predisposisi faktor
kontribusi
1. Gangguan Kepribadian
2. Kondisi Keluarga antisocial
3. Kecemasan
4. Depresi
G. Pemeriksaan tambahan
Diagnosis penggunaan NAPZA pada remaja dimua tmelalui
wawancara yang hati -hati, observasi, temuan laboratorium, dan riwayat yang
diberikan oleh sumber yang dapat dipercaya.
H. Diagnosis Banding
Gangguan yang disebabkan oleh zat
psikotik lainnya, antara lain :
1. gangguan mental dan perilaku akiba
tpenggunaan alcohol
2. gangguan mental dan perilaku akibat
opioida
3. gangguan mental dan perilaku akibat
kanabinoida
I. Penatalaksanaan
Tujuan Terapi dan Rehabilitas
1. Abstinensia atau menghentikan sama
sekali penggunaan NAPZA
2. Pengurungan frekuensi dan keparahan
relaps (kekambuhan). Sasaran utamanya adalah pencegahan kekambuhan. Pelatihan
relapse prevention programme, program terapi kognitif, opiate antaginist
maintenance therapy dengan naltrexon merupakan beberapa alternative untuk
mencegah kekambuha
3.
Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi social.
Dalam kelompok ini, abstinesia bukan merupakan sasaran utama. Terapi rumatan
(maintenance) metadon merupakan pilihan untuk mencapai sasaran terapi golongan
ini.
·
Penanganan gawat darurat :
Pada kondisi over
dosis sedativa, stimulansia, opiate atau halusinogen biasanya akan dibawa
keruang gawat darurat. Remaja yang dibawa keruang gawat darurat dalam keadaan
perilaku kacau, Psikosis akut, koma, kolaps saluran pernafasan atau peredaran
darah, biasanya karena overdosis obat-obatan .Keadaan ini dapat menjadi fatal
bila salah diagnosis atau mendapat penanganan yang tidak tepat. Oleh karena itu
tenaga medis dan paramedis yang bekerja diruang gawa tdarurat haruslah
mempunyai pengetahuan tentangobat-obatan yang sering dipakai oleh penyalah guna
NAPZA dan mampu mengatasi intoksikasi yang disebabkan olehberbagai macam zat
tersebut. Contoh : Naloxone, antagonisopiat, diberikan pada intoksikasiopiat
akut, dengan dosis 0,1 mg/kg i.m. atau i.v. setiap 2 – 4 jam selama masih
dibutuhkan.
·
Terapi dan Referal
Program terapi untuk pasienr awat –
inap dan rawat-jalan bagi remaja dengan penyalah gunaan NAPZA cukup banyak
macamnya. Program yang komprehenti fsangat diperlukan untuk remaja denga
nketergantungan zat. Kebanyakan program ini memberikan konseling atau
psikoterapi, disertai dengan teknik farmakoterapi, misalnya dengan menggunakan
methadone, namun ada juga yang memakai pendekatan bebas-obat
(drug–freeapproach). Keberhasilan berbagai metode pendekatan juga sangat tergantung
pada kondisi remaja itu sendiri, akut – kronis, lamanya pemakaian NAPZA, jenis
NAPZA yang dipakai ,juga kondisi keluarga. Untuk pencegahan terjadiny apenyalah
gunaan NAPZA sebaiknya diberikan penyuluhan kepad amasyarakat luastentang NAPZA
dan berbagai persoalan yang ditimbulkan nya.Usaha ini juga dapat dipakai
sebagai deteksi dini penyalahgunaan NAPZA oleh anggota keluarga dan masyarakat.
J.
Komplikasi
1. Toleransi dan ketergantungan
2. Gangguan dan perubahan mood
3. Gangguan daya ingat dan perhatian
F.15 Gangguan Mental Dan Perilaku Akibat Penggunaan
Stimulansia Lain Termasuk Kafein
keadaan
putus stimulan lain termasuk, kafein
kriteria
diagnostik:
a. Harus
memenuhi kriteria umum keadaan putus zat
b. Terdapat
suasana perasaan disforia ( misalnya,kesedihan atau anhedonia
c. Terdapat
dua dari gejala dibawah ini:
1. Lesu
dan letih
2. Hambatan
psikomotor atau agitasi
3. Keinginan
kuat untuk mengkonsumsi stimulansia
4. Nafsu
makan bertambah
5. Insomnia
atau hipersomnia
6. Mimpi
bizare atau yang tidak menyenangkan
Catatan
tidak dikenal adamya keadaan putus halusinogen
F.16 Gangguan Mental Dan Perilaku Akibat Penggunaan
Halusinogenika
intoksikasi akut halusinogen
kriteria
diagnostik:
a. Harus
memenuhi kriteria umum intoksikasi
b. Harus
ada disfungsi perilaku atau persepsi tidak normal yang dibuktikan dengan adanya
paling sedikit satu dari gejala dibawah ini:
1. Kecemasan
dan ketakutan
2. Ilusi
pendengaran, penglihatan atau perabaan, atau halusinasi dalam keadaan terjaga
dan sadar
3. Depersonalisasi
4. Derealisasi
5. Ide
paranoid
6. Keyakinan
bahwa dirinya menjadi pusat perhatian atau pembicaraan orang
7. Suasanan
perasaan yang labil
8. Hiperaktif
9. Impulsif
10. Gangguan
memusatkan perhatian
11. Interferensi
fungsi personal
c. Harus
ada paling sedikit dua dari gejala dibawah ini:
1. Denyut
jantung cepat
2. Berdebar-debar
3. Berkeringat
dan menggigil
4. Tremor
5. Penglihatan
kabur
6. Pupil
melebar
7. Gangguan
koordinasi
DAFTAR
PUSTAKA
Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis
Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, edisi ketujuh, jilid
satu. Binarupa Aksara, Jakarta 1997. hal 502-540.
Ingram.I.M, Timbury.G.C,
Mowbray.R.M, Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam, cetakan ke dua, Penerbit
Buku kedokteran, Jakarta 1995. hal 28-42.
Kapita Selekta Kedokteran, Edisi
ketiga, jilid 1. Penerbit Media Aesculapsius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta 2001. hal 189-192.
Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan
ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, RusdiMaslim.1993. hal 3
Maramis. W.F, Catatan Ilmu
Kedokteran Jiwa, Cetakan ke VI, Airlangga University Press, Surabaya 1992. hal
179-211
Declerg. L. 1994. Tingkah Laku
Abnormal, Sudut Pandang Perkembangan. Jakarta: Grasindo
Soekadji, S. 1990. Pengantar Psikologi.Jakarta
Soekadji, S. 1990. Pengantar Psikologi.Jakarta
Sulistyaningsih. 2002. Psikologi
Abnormal dan Psikopatologi. Malang: STIT Malang
Davidson, Gerald C. Psikologi
Abnormal. 2006. Abnormal Psychology. Telah diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia dengan judul Psikologi Abnormal oleh Noermalasari Fajar.
Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
·
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete