Tuesday, 3 February 2015

ASKEP FRAKTUR



TUGAS KMB III
ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR




DISUSUN OLEH
1.      AMILATUL KAMILAH
2.      DIAH RINI SETYAWATI
3.      HIDAYATUL KHOSIDAH
4.      LATIFATUNNISA RUSIANA
5.      NAILATUL KHIKMAH
6.      RIMA OKTAVINDA P
7.      SUSIYANTI
8.      SURYA RAMADHAN


POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
PRODI DIII KEPERAWATAN PEKALONGAN
TAHUN 2015
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Pengertian
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Syamsuhidayat. 2004: 840).
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya (Donna L. Wong, 2004)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari pada yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah , jaringan di sekitarnya juga akan terpengaruh mengakibatkan edema jaringang lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang (Burner at all, 2002).
B.     Etiologi
1.      Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2.      Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3.      Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. (Oswari E, 1993)
C.     Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma (Long, 1996: 356). Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi. (Oswari, 2000: 147)
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit. (Mansjoer, 2000: 346).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati (Corwin, 2000: 299)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan pembengkakanyg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & suddarth, 2002: 2287)

















D.    Pathway
E.     Manifestasi Klinis
1.      Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2.      Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas. Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
3.      Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm
4.      Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
5.      Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera
F.      Komplikasi
1.      Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring
2.      Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal
3.      Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.
4.      Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan takanan yang berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu tempat.
5.      Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
G.    Penatalaksanaan
1.      Penatalaksanaan konservatif. Merupakan penatalaksanaan non pembedahan agar immobilisasi pada patah tulang dapat terpenuhi.
a.       Proteksi (tanpa reduksi atau immobilisasi). Proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan cara memberikan sling (mitela) pada anggota gerak atas atau tongkat pada anggota gerak bawah.
b.      Imobilisasi degan bidai eksterna (tanpa reduksi). Biasanya menggunakan plaster of paris (gips) atau dengan bermacam-macam bidai dari plastic atau metal. Metode ini digunakan pada fraktur yang perlu dipertahankan posisinya dalam proses penyembuhan.
c.        Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi dilakukan dengan pembiusan umum dan local. Reposisi yang dilakukan melawan kekuatan terjadinya fraktur.penggunaan gips untuk imobilisasi merupakan alat utama pada teknik ini.
d.      Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi. Tindakan ini mempunyai dua tujuan utama, yaitu berupa reduksi yang bertahap dan imobilisasi.
2.      Penatalaksanaan pembedahan.
a.       Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan dengan K-Wire (kawat kirschner), misalnya pada fraktur jari.
b.      Reduksi terbuka dengan fiksasi internal (ORIF:Open Reduction internal Fixation). Merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan insisi pada derah fraktur, kemudian melakukan implant pins, screw, wires, rods, plates dan protesa pada tulang yang patah.
ASUHAN KEPERAWATAN
A.    Pengkajian
1.      Pengumpulan Data
a.       Anamnesa
1)      Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2)      Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
§  Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
§  Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
§  Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
§  Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan  skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
§  Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari. (Ignatavicius, Donna D, 1995)
3)      Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
4)      Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
5)      Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
6)      Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
7)      Pola-Pola Fungsi Kesehatan
§  Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
§  Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan  penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.

§  Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
§  Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).\
§  Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
§  Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap  (Ignatavicius, Donna D, 1995).
§  Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image). (Ignatavicius, Donna D, 2000).
§  Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur. (Ignatavicius, Donna D, 1995).


§  Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 2000).
§  Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
§  Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien. (Ignatavicius, Donna D, 2000).
b.      Pemeriksaan Fisik
1)      Gambaran Umum
a)      Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti
§  Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
§  Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
§  Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
b)      Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
§  Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
§  Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.

§  Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
§  Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
§  Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
§  Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
§  Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
§  Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
§  Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
§  Paru
Ø  Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
Ø  Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
Ø  Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
Ø  Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
§  Jantung
Ø  Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
Ø  Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
Ø  Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
§  Abdomen
Ø  Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Ø  Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
Ø  Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
Ø  Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.

§  Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
2)      Keadaan Lokal
a)      Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
§  Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
§   Cape au lait spot (birth mark).
§  Fistulae
§  Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
§  Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
§  Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
§  Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b)      Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Yang perlu dicatat adalah:
§  Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
§  Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
§  Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
c)      Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. (Reksoprodjo, Soelarto, 1995)



c.       Pemeriksaan Diagnostik
1)      Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi  kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
§  Bayangan jaringan lunak.
§  Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
§  Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
§  Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
§  Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
§  Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
§  Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
§  Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
2)      Pemeriksaan Laboratorium
§  Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
§  Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
§  Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase  (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
3)      Pemeriksaan lain-lain
§  Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
§  Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
§  Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
§  Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
§  Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
§  MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. (Ignatavicius, Donna D, 1995)
B.     Diagnosa Keperawatan
1.      Nyeri b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang,kerusakan sekunder terhadap fraktur
2.      Gangguan mobilitas fisik b/d  kerusakan rangka neuromuskuler, terapi restriktif (imobilisasi tungkai)
3.      Kerusakan Integritas jaringan kulit b/d fraktur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksi pen, kawat, sekrup
4.      Gangguan perfusi Jaringan b/d penurunan aliran darah, edema berlebihan, pembentukan trombus, hypovolemia
C.     Perencanaan Keperawatan
1.      Nyeri b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang,kerusakan sekunder terhadap fraktur
Tujuan : nyeri hilang atau berkurang
Kriteria Hasil :
§  Ekspresi wajah klien tidak meringis kesakitan
§  Klien menyatakan nyerinya berkuran
§  Klien mampu beraktivitas tanpa mengeluh nyeri.
Intervens:
1)      Pantau vital sign, intensitas nyeri dan tingkat kesadaran
R/ Untuk mengenal indikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang
diharapkan.
2)      Pertahankan tirah baring sampai fraktur berkurang
R/  Nyeri dan spasme otot dikontrol oleh immobilisasi.
3)      Bantu pasien untuk posisi yang nyaman
R/  Posisi tubuh yang nyaman dapat mengurangi penekanan dan mencegah ketegangan.
4)      Pakai kompres es atau kompres panas (jika tidak ada kontraindikasi)
R/ Dingin mencegah pembengkakan dan panas melemaskan otot-otot dan pembuluh darah berdilatasi untuk meningkatkan sirkulasi.
5)      Berikan istirahat sampai nyeri hilang
R/ Istirahat menurunkan pengeluaran energy
6)      Berikan obat analgetik sesuai dengan nyeri yang dirasakan pasien.
R/ Analgetik dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan oleh klien.
2.      Gangguan mobilitas fisik b/d  kerusakan rangka neuromuskuler, terapi restriktif (imobilisasi tungkai)
Tujuan : Mobilisasi fisik terpenuhi
Kriteria Hasil :
§  Klien dapat menggerakkan anggota tubuhnya yang lainnya yang masih ada.
§  Klien dapat merubah posisi dari posisi tidur ke posisi duduk.
§  ROM, tonus dan kekuatan otot terpelihara.
§  Klien dapat melakukan ambulasi.
Intervensi :
1)      Kaji ketidakmampuan bergerak klien yang diakibatkan oleh prosedur pengobatan dan catat persepsi klien terhadap immobilisasi.
R/ Dengan mengetahui derajat ketidakmampuan bergerak klien dan persepsi klien terhadap immobilisasi akan dapat menemukan aktivitas mana saja yang perlu dilakukan.
2)      Latih klien untuk menggerakkan anggota badan yang masih ada.
R/ Pergerakan dapat meningkatkan aliran darah ke otot, memelihara pergerakan sendi dan mencegah kontraktur, atropi.
3)      Tingkatkan ambulasi klien seperti mengajarkan menggunakan tongkat dan kursi roda.
R/  Dengan ambulasi demikian klien dapat mengenal dan menggunakan alat-alat yang perlu digunakan oleh klien dan juga untuk memenuhi aktivitas klien.
4)      Ganti posisi klien setiap 3 – 4 jam secara periodik
R/  Pergantian posisi setiap 3 – 4 jam dapat mencegah terjadinya kontraktur.
5)      Bantu klien mengganti posisi dari tidur ke duduk dan turun dari tempat tidur.
R/  Membantu klien untuk meningkatkan kemampuan dalam duduk dan turun dari tempat tidur.
3.      Kerusakan Integritas jaringan kulit b/d fraktur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksi pen, kawat, sekrup
Tujuan : Klien dapat sembuh tanpa komplikasi seperti infeksi.
Kriteria Hasil :
§  Kulit bersih dan kelembaban cukup.
§  Kulit tidak berwarna merah.
§  Kulit pada bokong tidak terasa ngilu.
§  Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu / penyembuhan lesi terjadi
Intervensi:
1)      Observasi kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna, kelabu, memutih
R/ Mendeteksi pembentukan edema dan observasi sirkulasi kulit dan masalah yang disebabkan oleh adanya pemasangan bebat.
2)      Ubah posisi tiap 2- 3 jam sekali
R/ Mengurangi tekanan konstan pada area yang sama dan meminimalkan resiko kerusakan kulit.
3)      Bersihakn kulit dengan sabun dan air. Gosok perlahan dengan alkohol dan atau/ bedak
R/ Sabun mengandung antiseptik yang dapat menghilangkan kuman dan kotoran pada kulit sehingga kulit bersih dan tetap lembab.
4)      Observasi untuk potensial area yang tertekan, khususnya pada akhir pemasangan dan bawah bebatan
R/ Tekanan dapat menyebabkan ulserasi, nekrosis, dan / atau kelumpuhan saraf
5)      Gunakan tempat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi
R/ Meningkatkan sirkulasi darah
4.      Gangguan perfusi Jaringan b/d penurunan aliran darah, edema berlebihan, pembentukan trombus, hypovolemia
Tujuan : Mempertahankan perfusi jaringan secara adekuat
Kriteria hasil :
§  Nadi teraba kuat
§  Kulit hangat / kering
§  Sensasi normal
§  Sensori biasa
§  Tanda – tanda vital stabil
§  Haluaran urin adekuat
Intervensi:
1)      Obsevasi kualitas nadi perifer distal terhadap cedera melalui palpasi / doppler. Bandingkan dengan ekstermitas yang sakit
R/ Penurunan / tak adanya nadi dapat menggambarkan cedera vaskuler 
2)      Observasi aliran kapiler, warna kulit, dan kehangatan distal pada fraktur
R/ CRT > 3 detik, warna kulit pucat menunjukkan adanya gangguan arterial, sianosis menunjukkan adanya gangguan vena
3)      Lakukan tes saraf perifer dengan menusuk pada kedua selaput antara ibu jari pertama dan kedua dan observasi kemampuan untuk dorsofleksi ibu jari  bila diindikasikan.
R/  Panjang dan posisi saraf perineal meningkatkan risiko cedera pada adanya  fraktur kaki. Edema / sindroma kompartemen atau malposisi alat traksi.
4)       Pertahankan peninggian ekstermitas yang cedera kecuali dikontraindikasikan dengan menyakinkan adanya sindrom kompartemen.
R/ Meningkatkan drainase vena / menurunkan edema.
5)      Observasi tanda iskemia ekstermitas tiba – tiba, misal penurunan suhu kulit dan peningkatan nyeri.
R/  Dislokasi fraktur sendi dapat menyebabkan kerusakan arteri yang berdekatan, dengan akibat hilangnya aliran darah ke distal.




Daftar Pustaka

Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
Dudley (1992), Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi 11, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Dunphy & Botsford (1985), Pemeriksaan Fisik Bedah, Yayasan Essentia Medica, Jakarta.

No comments:

Post a Comment