MAKALAH
ASKEP MENINGITIS
Mata Kuliah : Keperawatan Medikal Bedah III
Disusun Oleh:
1.
Amilatul
Kamilah
2.
Dewi
Aisyah
3.
Dimas
Janu Pratama
4.
Ike
Kusuma Rimbani
5.
Mastini
Febiyanti
6.
Novi
Dewi Fatmaningsih
7.
Ratna
Faradila
8.
Sulton
Akbar NAfis
9.
U’un
Prapmaneta
2 REGULER B
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
PRODI D III KEPERAWATAN PEKALONGAN
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Penyakit
infeksi di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan yang utama. Salah satu
penyakit tersebut adalah infeksi susunan saraf pusat. Penyebab infeksi susunan
saraf pusat adalah virus, bakteri atau mikroorganisme lain. Meningitis
merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian berkisar antara 18-40% dan
angka kecacatan 30-50%.
Bakteri
penyebab meningitis ditemukan di seluruh dunia, dengan angka kejadian penyakit
yang bervariasi. Di Indonesia, dilaporkan bahwa Haemophilus influenzae tipe B
ditemukan pada 33% diantara kasus meningitis.
Pada penelitian
lanjutan, didapatkan 38% penyebab meningitis pada anak kurang dari 5 tahun. Di
Australia pada tahun 1995 meningitis yang disebabkan Neisseria meningitidis 2,1
kasus per 100.000 populasi, dengan puncaknya pada usia 0 – 4 tahun dan 15 – 19
tahun . Sedangkan kasus meningitis yang disebabkan Steptococcus pneumoniae
angka kejadian pertahun 10 – 100 per 100.000 populasi pada anak kurang dari 2
tahun dan diperkirakan ada 3000 kasus per tahun untuk seluruh kelompok usia,
dengan angka kematian pada anak sebesar 15%, retardasi mental 17%, kejang 14%
dan gangguan pendengaran 28%.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan meningitis?
2. Apakah
etiologi dari meningitis?
3. Bagaimana
patofisiologi dari meningitis?
4. Bagaimana
manifestasi klinis dari meningitis?
5. Bagaimana
cara pemeriksaan diagnosa dari meningitis?
6. Bagaimana
penatalaksanaan medisdari meningitis?
7. Bagaimana
cara pengkajian keperawatan dari meningitis?
8. Apa
diagnosa keperawatan yang muncul pada anak dengan meningitis?
9. Bagaimana
bentuk perencanaan keperawatan dari meningitis?
C. TUJUAN
PENULISAN
Setelah
dilakukan pembelajaran tentang Asuhan Keperawatan Anak dengan Meningitis,
diharapkan mahasiswa mampu:
1.
Memahami tentang
pengertian dari meningitis
2.
Memahami tentang
etiologi dari meningitis
3.
Memahami tentang
patofisiologi/pathway dari meningitis
4.
Memahami tentang
manifestasi klinis dari meningitis
5.
Memahami tentang
pemerikaan diagnosa dari meningitis
6.
Memahami tentang
penatalaksanaan medis dari meningitis
7.
Memahami tentang
pengkajian keperawatan meningitis
8.
Memahami tentang
diagnosa keperawatan yang muncul pada anak dengan meningitis
9.
Memahami tentang
perencanaan keperawatan meningitis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Meningitis
Meningitis
adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column
yang menyebabkan proses infeksi pada system saraf pusat. (Suriadi, dkk. Asuhan
Keperawatan pada Anak, ed.2, 2006)
Meningitis
adalah infeksi ruang subaraknoid dan leptomeningen yang disebabkan oleh
berbagai organisme pathogen. (Jay Tureen. Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1,
2006 ) .
Meningitis
merupakan infeksi parah pada selaput otak dan lebih sering ditemukan pada
anak-anak. Infeksi ini biasanya merupakan komplikasi dari penyakit lain,
seperti campak, gondong, batuk rejan atau infeksi telinga. (http://www.anneahira.com/pencegahan-penyakit/otak.htm)
Meningitis adalah
infeksi yang menular. Sama seperti flu, pengantar virus meningitis berasal dari
cairan yang berasal dari tenggorokan atau hidung. Virus tersebut dapat
berpindah melalui udara dan menularkan kepada orang lain yang menghirup udara
tersebut. (Anonim, 2007 dalam Juita, 2008).
B. Etiologi
1. Bakteri:
a. Neonatus
sampai 2 bulan: GBS, basili gram negative, missal, Escherichia coli, Liateria
monocytogenes, S. agalactiae (streptokokus gram B)
b. 1
bulan sampai 6 tahun: Neisseria meningitidis (meningokokus), Streptococcus
pneumoniae, Hib
c. >
6 tahun: Neisseria meningitides, Streptococcus pneumoniae, parotitis (pre-MMR)
d. Mycobacterium
tuberculosis: dapat menyebabkan meningitis TB pada semua umur. Pling sering
pada anak umur 6 bulan sampai 6 tahun
2. Virus
Enterovirus (80%), CMV, arbovirus,
dan HSV
C. Faktor
resiko
1. Faktor
predisposisi: laki-laki lebih sering disbanding dengan wanita
2. Faktor
maternal: rupture membran fetal, infeksi metrnal pada minggu terakhir kehamilan
3. Faktor
imunologi: usia muda, defisiansi mekanisme imun, defek lien karena penyakit sel
sabit atau asplenia (rentan terhadap S. Pneumoniae dan Hib), anak-anak yang
mendapat obat-obat imunosupres.
4. Anak
dengan kelainan system saraf pusat, pembedahan atau injuri yang berhubungan
dengan system persarafan
5. Faktor
yang berkaitan dengan status sosial-ekonomi rendah: lingkungan padat,
kemiskinan, kontak erat dengan individu tang terkena (penularan melalui sekresi
pernapasan)
D. Klasifikasi
1. Meningitis
Purulenta :
Radang selaput otak ( araknoidea
dan piameter) yang menimbulkan eksudasi berupa pus, disebabkan oleh kuman
nonspesifik dan nonvirus.
2. Meningitis
Tuberkulosa :
Terjadi akibat komplikasi
penyebaran tuberculosis primer, biasanya dari paru. Meningitis terjadi bukan
karena terimfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, tetapi
biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsum
tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah ke rongga araknoid (Rich dan
McCordeck). Anak-anak yang ibunya menderita TBC kadang-kadang mendapatkan
meningitis tuberkolusa pada bulan-bulan pertama setelah lahir. (Ngastiyah,2005)
E. Patofisiologi
Meningitis
terjadi akibat masuknya bakteri ke ruang subaraknoid, baik melalui penyebaran
secara hematogen, perluasan langsung dari fokus yang berdekatan, atau sebagai
akibat kerusakan sawar anatomik normal secara konginetal, traumatik, atau
pembedahan. Bahan-bahan toksik bakteri akan menimbulkan reaksi radang berupa
kemerahan berlebih (hiperemi) dari pembuluh darah selaput otak disertai
infiltrasi sel-sel radang dan pembentukan eksudat. Perubahan ini terutama
terjadi pada infeksi bakteri streptococcus pneumoniae dan H. Influenzae dapat
terjadi pembengkakan jaringan otak, hidrosefalus dan infark dari jaringan otak.
Efek peradangan
akan menyebabkan peningkatan cairan cerebro spinalis yang dapat menyebabkan
obstruksi dan selanjutnya terjadi hidrosefalus dan peningkatan TIK. Efek
patologi dari peradangan tersebut adalah hiperemi pada meningen. Edem dan
eksudasi yang kesemuanya menyebabkan peningkatan intrakranial. (Ngastiyah.
Perawatan Anak Sakit, ed.2, 2005).
Penyebaran
hematogen merupakan penyebab tersering, dan biasa terjadi pada adanya fokus
penyakit lain (misalnya, pneumonia, otitis media, selulitis) atau akibat bakteremia
spontan. Oleh karena patogen-lazim menyebar melalui jalur pernapasan ,
peristiwa awalnya adalah kolonisasi traktus respiratorius bagian atas.
Meningitis yang
disebabkan oleh penyebaran nonhematogen mencakup penyebaran infeksi dari daerah
infeksi yang berdekatan ( otitis media, mastoiditis, sinusitis, osteomielitis
vertebralis atau tulang kranialis) serta kerusakan anatomi (fraktur dasar
tengkorak, pasca-prosedur bedah saraf, atau sinus dermal konginetal di
sepanjang aksis kraniospinalis). Gambaran lazim setiap penyebab infeksi adalah
masuknya bakteri patogen ke dalam ruang subaraknoid dan perbanyakan bakteri.
(Jay Tureen. Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1, 2006 )
Meningitis
biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau terdapat kenaikan suhu yang ringan
saja, jarang terjadi akut dengan panas yang tinggi. Sering dijumpai anak mudah
terangsang atau menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak besar dapat
mengeluh nyeri kepala. Anoreksia, obstipasi, dan muntah juga sering dijumpai.
Stadium ini kemudian
disusul dengan stadium transisi dengan kejang. Gejala di atas menjadi lebih
berat dan gejala rangsangan meningeal mulai nyata, kuduk kaku, seluruh tubuh
menjadi kaku dan timbul opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih tinggi,
ubun-ubun menonjol dan umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata
sehingga timbul gejala strabismus dan nistagmus. Sering tuberkel terdapat di
koroid. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran lebih menurun hingga
timbul stupor.
Stadium
terminal berupa kelumpuhan-kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam, pupil melebar
dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernapasan menjadi tidak teratur,
sering terjadi pernafasan `Cheyne-Stokes`.
Hiperpireksia timbul
dan anak meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali. Tiga stadium tersebut
biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan lainnya, namun
jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum anak meninggal.
(Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit, ed.2, 2005)
F. Komplikasi
1. Hidrosefalus
obstruktif
2. Meningococcal
septicemia (mengingocemia)
3. Sindrom
Water Friderichsen (septic syok, DIC, perdarahan adrenal bilateral)
4. SIADH
(Syndrome Inappropriate Antidiuretic Hormone)
5. Efusi
subdural
6. Kejang
7. Edema
dan herniasi serebral
8. Cerebral
Palsy
9. Gangguan
mental
10. Gangguan
belajar
11. Attention
deficit disorder
G. Manifestasi
klinis
Trias klasik
gejala meningitis adalah demam, sakit kepala, dan kaku kuduk. Namun pada anak
di bawah usia dua tahun, kaku kuduk atau tanda iritasi meningen lain mungkin
tidak ditemui. Peruban tingkat kesadaran lazim terjadi dan ditemukan pada
hingga 90% pasien. (Jay Tureen. Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1, 2006 )
Pada bukunya, Wong
menjabarkan manifestasi dari meningitis berdasarkan golongan usia sebagai
berikut:
Anak dan Remaja
1. Awitan
biasanya tiba-tiba
2. Demam
3. Mengigil
4. Sakit
kepala
5. Muntah
6. Perubahan
pada sensorium
7. Kejang
(seringkali merupakan tanda-tanda awal )
8. Peka
rangsang
9. Agitasi
10. Kekakuan
nukal
11. Dapat
berlanjut menjadi opistotonus
12. Tanda
Kernig dan Brudzinski positif
13. Hiperaktif
tetapi respons refleks bervariasi
14. Tanda
dan gejala bersifat khas untuk setiap organisme:
15. Ruam
ptekial atau purpurik (infeksi meningokokal), terutama bila berhubungan dengan
status seperti syok
16. Keterlibatan
sendi (infeksi meningokokal dan H. influenzae)
17. Drain
telinga kronis (meningitis pneumokokal)
18. Dapat
terjadi:
-
Fotofobia
-
Delirium
-
Halusinasi
-
Perilaku agresif atau
maniak
-
Mengantuk
-
Stupor
-
Koma
Bayi dan Anak Kecil
Gambaran
klasik jarang terlihat pada anaka-anak antara usia 3 bulan dan 2 tahun
1.
Muntah
2.
Peka rangsangan yang
nyata
3.
Sering kejang (seringkali
disertai dengan menangis nada tinggi)
4.
Fontanel menonjol
5.
Kaku kuduk dapat
terjadi dapat juga tidak
6.
Tanda Brudzinski dan
Kernig bersifat tidak membantu dalam diagnose
7.
Sulit untuk
dimunculkan dan dievaluasi dalam kelompok usia
8.
Empihema subdural (infeksi
Haemophilus influenza)
Neonatus: Tanda-tanda
Spesifik
1. Secara
khusus sulit untuk didiagnosa
2. Manifestasi
tidak jelas dan tidak spesifik
3. Baik
pada saat lahir tetapi mulai terlihatmenyedihkan dan berperilaku buruk dalam
beberapa hari
4. Menolak
untuk makan
5. Kemampuan
menghisap buruk
6. Muntah
atau diare
7. Tonus
buruk
8. Kurang
gerakan
9. Menangis
buruk
10. Fontanel
penuh, tegang, dan menonjol dapat terlihat pada akhir perjalanan penyakit
11. Leher
biasanya lemas
Tanda-tanda
Nonspesifik yang Mungkin Terjadi pada Neonatus
a. Hipotermia
atau demam (tergantung pada maturitas bayi)
b. Ikterik
c. Peka
rangsang
d. Mengantuk
e. Kejang
f. Ketidakteraturan
pernapasan atau apnea
g. Sianosis
h. Penurunan
berat badan
(Donna L. Wong. Pedoman
Keperawatan Pediatrik,ed.4,2003 )
H. Pemeriksaan
diagnose
1. Punksi
Lumbal : tekanan cairan meningkat, jumlah sel darah putih meningkat, glukosa
menurun, protein meningkat.
Indikasi Punksi Lumbal:
a. Setiap
pasien dengan kejang atau twitching baik yang diketahui dari anamnesis atau
yang dilihat sendiri.
b. Adanya
paresis atau paralysis. Dalam hal ini termasuk strabismus karena paresis N.VI.
c. Koma.
d. Ubun-ubun
besar menonjol.
e. Kuduk
kaku dengan kesadaran menurun.
f. Tuberkulosis
miliaris dan spondilitis tuberculosis.
g. Leukemia.
h. Kultur
swab hidung dan tenggorokan (Suriadi, dkk. Asuhan Keperawatan pada Anak, ed.2,
2006)
2. Darah:
leukosit meningkat, CRP meningkat, U&E, glukosa, pemeriksaan factor
pembekuan, golongan darah dan penyimpanan.
3. Mikroskopik,
biakan dan sensitivitas: darah, tinja, usap tenggorok, urin, rapid antigen
screen.
4. CT
scan: jika curiga TIK meningkat hindari pengambilan sample dengan LP.
5. LP
untuk CSS: merupakan kontra indikasi jika dicurigai tanda neurologist fokal
atau TIK meningkat.
6. CSS
pada meningitis bakteri: netrofil, protein meningkat (1-5g/L), glukosa menurun
(kadar serum <50%) 8. CSS pada meningitis virus: limfosit (pada mulainya
netrofil), protein normal/meningkat ringan, glukosa normal, PCR untuk
diagnosis. 9. CSS: mikroskopik (pulasan Gram, misal, untuk basil tahan asam
pada meningitis TB), biakan dan sensitivitas.
I. Penatalaksanaan
medis
Penatalaksanaan
efektif untuk meningitis bergantung pada terapi suportif agresif yang dini dan
pemilihan antimikroba empirik yang tepat untuk kemungkinan patogen. Tindakan
suportif umum diindikasikan bagi setiap pasien yang menderita patologi
intrakranium berat. Pasien dengan Meningitis purulenta pada umumnya dalam
keadaan kesadaran yang menurun dan seringkali disertai muntah-muntah atau
diare. Untuk menghindari kekurangan cairan/elektrolit, pasien perlu langsung
dipasang cairan intavena. Jika terdapat gejala asidosis harus dilakukan
koreksi. Pengelolaan cairan merupakan hal yang sangat penting pada pasien
meningitis. Sindrom sekresi hormon antidiuretik yang tidak tepat (SIADH,
syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion) terjadi pada sekitar
30% pasien meningitis, dan jika ditemukan, harus dilakukan pembatasan cairan.
Meskipun demikian, sebuah studi klinis telah membuktikan pentingnya memelihara
tekanan perfusi otak yang adekuat pada penyakit ini. Pembatasan cairan secara tidak
tepat dapat menimbulkan deplesi volume, yang jika ekstrim, dapat menuju pada
ketidakadekuatan volume sirkulasi. Sebaiknya cairan mula-mula dibatasi,
sementara menunggu pemeriksaan elektrolit urin dan serum. Bila terdapat SIADH,
pembatasan cairan sampai dua pertiga cairan pemeliharaan merupakan tindakan
yang tepat, sampai kelebihan hormon antidiuretuk pulih; bila tidak terdapat
SIADH, cairan harus diberikan dalam jumlah yang sesuai dengan derajat
kekurangan cairan, dan elektrolit diawasi secara seksama. Terapi peningkatan
tekanan intrakranium harus diarahkan pada pemeliharaan derajat tekanan perfusi
otak yang adekuat, seperti pada kondisi lain yang dipersulit oleh hipertensi
intrakranium. Cara yang ada bisa termasuk hiperventilasi, pengambilan CSS melalui
kateter intraventrikel, atau mungkin pemakaian obat diuretikosmotik secara
hati-hati. Pada kecurigaan meningitis, antibiotik intravena diberikan secara
empiric sementara menunggu hasil biakan. Pemilihan antibiotik awal didasarkan
pada kemungkinan pathogen menurut kelompok usia, pajanan yang diketahui, dan
setiap faktor resiko yang tidak lazim bagi pasien. Prinsip terapi antimikroba
meningitis mencakup pemilihan antibiotik yang bersifat bakterisid terhadap
pathogen yang dicurigai dan yang mampu mencapai konsentrasi CSS setidaknya
sepuluh konsentrasi bakterisid minimal untuk organisme tersebut, karena inilah
konsentrasi yang dalam penelitian hewan telah terbukti berkolerasi dengan
sterilisasi CSS paling efektif. (Jay Tureen. Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1,
2006 ) Bila pasien masuk dalam keadaan status konvulsivus, diberikan diazepam
0,5 mg/kg BB/kali IV, dan dapat diulang dengan dosis yang sama 15 menit
kemudian bila kejang belum berhenti. Ulangan pemberian diazepam berikutnya
(yang ketiga kali) dengan dosis sama tetapi diberikan secara IM. Setelah kejang
dapat diatasi, diberikan fenobarbital dosis awal untuk neonatus 30 mg; anak
< 1 tahun 50 mg dan anak > 1 tahun 75 mg. Selanjutnya untuk pengobatan
rumat diberikan fenobarbital dengan dosis 8-10 mg/kg BB/hr dibagi dalam 2
dosis, diberikan selama 2 hari (dimulai 4 jam setelah pemberian dosis awal).
Hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hr dibagi dalam 2 dosis. Bila tidak
tersedia diazepam, fenobarbital dapat langsung diberikan dengan dosis awal dan
selanjutnya dosis rumat.
Penyebab utama
meningitis purulenta pada bayi atau anak di Indonesia(Jakarta) ialah H.
influenzae dan pneumoccocus sedangkan meningococcus jarang sekali,maka
diberikan ampisilin IV sebanyak 400mg/kg BB/hr dibagi 6 dosis ditambah
kloramfenikol 100mg/kg BB/hr iv dibagi dalam 4 dosis. Pada hari ke 10
pengobatan dilakukan pungsi lumbal ulangan dan bila ternyata menunjukkan hasil
yang normal pengobatan tesebut dilanjutkan 2 hari lagi. Tetapi jika masih belum
dan pengobatan dilanjutkan dengan obat dan cara yang sama seperti di atas dan
diganti dngan obat yang sesuai dengan hasil biakan dan uji resistensi kuman.
Meningitis paru
pada neunatus berbeda,karena biasa dan disebabkan oleh baksil colifom dan
staphylococcus, maka pengobatan pada neonatus sebagai berikut:
Pilihan
pertama: Sefalosporin 200mg/kg BB/hr IV dibagi dalam 2 dosis, dikombinasi
dengan amikasin dengan dosis awal 10 mg/kg BB/hr IV,dilanjutkan dengan dosis 15
mg/kg BB/hr atau dengan gentamisin 6 mg/kg BB/hr masing-masing dibagi dalam 2 dosis.
Pilihan kedua :
Amphisilin 300-400 mg/kg BB/hr IV dibagi dalam 6 dosis,dikombinasi dengan
kloramfenikol 50 mg/kg BB/hr IV dibagi dalam 4 dosis. Pada bayi kurang bulan
dosis kloramfenikol tidak boleh melebihi 30 mg/kg Bb/hr (dapat terjadi grey
baby).
Pilihan
selanjutnya kotrimoksazol 10 mg TMP/kg BB/hr IV dibagi dalam 2 dosis selama 3
hari dilanjutkan dengan dosis 6 mg TMP/kg BB/hr IV dibagi dalam 2 dosis. Lama
pengobatan neonatus adalah 2 hr.
Sefalosporin
dan kotrimaksozol tidak diberikan pada bayi yang berumur kurang 1 minggu.
Ulangan pungsi
lumbal pada meningitis paru anak dilakukan pada hari ke 10 pengobatan sedang
pada neunatus pada hari ke 21. (Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit, ed.2, 2005)
Terapi pilihan
pada bayi yang telah mengalami meningitis bakterial dengan komplikasi
hidrocephalus adalah dilakukan pembedahan dengan tujuan untuk pemasangan shunt
guna mengalirkan cerebrospinal fluid yang tersumbat di dalam otak. Ada beberapa
jenis shunt antara lain (VP) ventrikulo peritoneal shunt dan (VA)
ventriculoatrial shunt.
Penatalaksanaan pada
bayi dengan hidrocehalus adalah pemberian posisi head up dan pengawasan
pemberian cairan yang adekuat.
FOKUS KEPERAWATAN
A. Pengkajian
keperawatan
1. Riwayat
keperawatan: riwayat kelahiran, penyakit kronis, neoplasma riwayat pembedahan
pada otak, cedera kepala
2. Pada
Neonatus: kaji adanya perilaku menolak untuk makan, reflek menghisap kurang,
muntah atau diare, tonus otot kurang, kurang gerak dan menangis lemah
3. Pada
anak-anak dan remaja: kaji adanya demam tinggi, sakit kepala, muntah yang
diikuti dengan perubahan sensori, kejang mudah terstimulasi dan teragitasi,
fotofobia, delirium, halusinasi, perilaku agresif atau maniak, penurunan
kesadaran, kaku kuduk, opistotonus, tanda Kernig dan Brudzinsky positif,
refleks fisiologis hiperaktif, ptechiae atau pruritus
4. Bayi
dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun): kaji adanya demam, malas makan,
muntah, mudah terstimulasi, kejang, menangis dengan merintih, ubun-ubun
menonjol, kaku kuduk, dan tanda Kernig dan Brudzinsky positif
B. Diagnosa
keperawatan
1.
Nyeri berhubungan
dengan proses inflamasi
2.
Resiko terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan infeksi pada selaput otak
3.
Resiko tinggi cedera
berhubungan dengan kejang,reflek meningkat
C. Perencanaan
1.
Nyeri berhubungan
dengan proses inflamasi
Tujuan :
Pasien
tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat yang dapat diterima
anak
Intervensi
keperawatan/Rasional :
a. Biarkan
anak mengambil posisi yang nyaman:
-
Gunakan posisi miring,
bila ditoleransi, karena kaku kuduk
-
Tinggikan sedikit
kepala tempat tidur tanpa menggunakan bantal karena hal ini seringkali menjadi
posisi yang paling tidak nyaman
b. Berikan
analgesik sesuai ketentuan, terutama asetaminofen dengan kodein
Hasil yang diharapkan :
Anak
tidak menunjukkan tanda-tanda nyeri atau tanda-tanda nyeri yang dialami anak
minimum
2.
Resiko terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan infeksi pada selaput otak.
Tujuan :
Tekanan
intra karanial (TIK) tetap atau berkurang menuju normal
Intervensi
keperawatan/rasional :
a. Kaji
tanda vital, GCS (jika dapat dilakukan) dan tanda-tanda dari terjadinya
penurunan kesadaran
b. Ciptakan
dan pertahankan lingkungan yang tenang dan nyaman
c. Beri
posisi head up ± 3 cm
d. Ukur
lingkar kepala setiap hari
e. Olaborasi
dalam pemberian cairan adekuat
f. Berikan
obat sesuai dengan program; antibiotic, antipiretik, dan antikonvulsan
g. Ikut
sertakan keluarga dalam perawatan bayi secara aktif
Hasil yang diharapkan :
Tidak
terjadi peningkatan tekanan intrakranial selama dalam masa perawatan, dengan
kriteria; reaksi pupil terhadap cahaya (+), refleks normal, gerak dan tangis
yang kuat, respirasi spontan, suhu dalam batas normal.
3.
Resiko tinggi cedera
berhubungan dengan kejang,reflek meningkat
Tujuan :
Pasien
tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
Intervensi
keperawatan/Rasional :
a. Bantu
praktisi kesehatan mendapat kultur yang diperlukan untuk mengidentifikasikan
organisme penyebab
b. Berikan
antibiotic, sesuai resep, dan segera setelah diinstruksikan
c. Pertahankan
rute intravena untuk pemberian obat
d. Implementasikan
pengendalian infeksi yang tepat:
- Tempatkan anak di ruang isolasi
selama sedikitnya 24 jam setelah awal terapi antibiotic
- Pantau tanda-tanda vital untuk
tanda awal proses infeksi
- Observasi adanya tanda-tanda
infeksi khusus pada penyakit anak
e. Instruksikan
orang lain (keluarga, anggota staf) tentang kewaspadaan yang tepat
f. Berikan vaksinasi yang rutin dan tepat sesuai
usia (mis., vaksin untuk mencegah H. influenzae tipe B [Hib])
Hasil yang diharapkan :
Anak
menunjukkan bukti-bukti penurunan gejala
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Otak dan sumsum
otak belakang diselimuti meningea yang melindungi struktur syaraf yang halus,
membawa pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis cairan yaitu cairan
serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu:
1.
Pia meter, merupakan
lapisan yang menyelipkan dirinya ke dalam celah pada otak dan sumsum tulang
belakang dan sebagai akibat dari kontak yang sangat erat akan menyediakan darah
untuk struktur-struktur ini.
2.
Arachnoid, merupakan
selaput halus yang memisahkan pia meter dan dura meter.
3.
Dura meter, merupakan
lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari jaringan ikat tebal dan
kuat.
Komponen intrakaranial terdiri dari: parenkim otak, sistem
pembuluh darah, dan CSF. Apabila salah satu komponen terganggu, akan
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, yang akhirnya akan menurunkan
fungsi neurologis.
Meningitis merupakan salah satu jenis infeksi yang
menyeranga susunan saraf pusat, dimana angka kejadiannya masih tinggi di
Indonesia. Pada banyak penyakit yang mempunyai mobiditas dan mortalitas yang
tinggi, prognosis penyakit sangat ditentukan pada permulaan pengobatan.
Beberapa bakteri penyebab meningitis ini tidak mudah menular seperti penyakit
flu, pasien meningitis tidak menularkan penyakit melalui saluran pernapasan.
Resiko terjadinya penularan sangat tinggi pada anggota keluarga serumah,
penitipan anak, kontak langsung cairan ludah seperti berciuman. Perlu diketahui
juga bahwa bayi dengan ibu yang menderita TBC sangat rentan terhadap penyakit
ini.
Diagnose keperawatan yang muncul tergantung dengan kondisi
saat pengkajian, tapi yang utama adalah Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi;
resiko terjadi peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan Infeksi pada
selaput otak; resiko cedera berhubungan dengan kejang, reflek meningkat;
perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita penyakit
serius.
B. SARAN
Pembaca diharapkan
dapat mengerti dan memahami gejala meningitis sangat penting untuk dapat
menegakkan diagnosis sedini mungkin karena diagnosis dan pengobatan dini dapat
mencegah terjadinya komplikasi yang bersifat fatal serta mengetahui penyebab
meningitis sangat penting untuk menentukan jenis pengobatan yang diberikan.
Sekedar menambah informasi, vaksin untuk mencegah terjadinya meningitis
bakterial telah tersedia, dan sangat dianjurkan untuk diberikan jika berada
atau akan berkunjung ke daerah epidemik.
DAFTAR PUSTAKA
·
Alpers,Ann.2006.Buku
Ajar Pediatri Rudolph. Ed.20.Jakarta:EGC.
·
Http://www.anneahira.com
·
Brough,Hellen,et
al.2007.Rujukan Cepat Pediatri dan Kesehatan Anak.Jakarta:EGC.
·
Ngastiyah.2005.Perawatan
Anak Sakit.Ed.2.Jakarta:EGC
·
Suriadi, Rita
Yuliani.2006.Asuhan keperawatan pada Anak Ed.2.Jakarta:Percetakan Penebar
Swadaya
No comments:
Post a Comment